PEMERINTAH Indonesia mengatakan pada Jumat (28/6) bahwa pihaknya telah menangkap lebih dari 100 warga Taiwan di Bali minggu ini atas dugaan penipuan daring dan akan mendeportasi mereka atas tuduhan penyalahgunaan izin tinggal.
Direktorat Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian melalui Satuan Tugas (Satgas) Bali Becik memastikan akan mendeportasi 103 warga Taiwan yang ditangkap pada Rabu (26/6) karena diduga terlibat kejahatan siber dan sejumlah pelanggaran keimigrasian.
Direktur Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian Saffar Muhammad Godam mengatakan sulit mendakwa warga Taiwan tersebut atas kejahatan dunia maya karena para tersangka yang ditangkap mengaku bahwa korban mereka berada di Malaysia, yang berada di luar yurisdiksi Indonesia.
“Para WNA (warga negara asing) tersebut datang ke Indonesia tidak secara bersamaan (dan) melalui beberapa bandara,” kata Godam dalam konferensi pers, Jumat.
“Kegiatan mereka diduga tidak sesuai dengan izin tinggalnya, yakni diduga melakukan kejahatan siber, di mana seluruh target operasi mereka ada di luar Indonesia, termasuk Malaysia.”
Godam memastikan penangkapan ini tidak berkaitan dengan bobolnya Pusat Data Nasional oleh kelompok Ransomware Lock Bit pada Senin lalu yang meminta tebusan sebesar US$8 juta (Rp131 miliar) seperti diungkapkan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi. Pemerintah Indonesia tidak membayar tebusan itu.
Dari seluruh warga Taiwan yang diamankan itu, 12 orang perempuan dan 91 orang laki-laki.
“Saat ini mereka ditempatkan di pusat detensi imigrasi di Denpasar sebelum dideportasi,” tambah Godam.
Dalam penangkapan para warga asing pada Rabu di sebuah vila di Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan itu, petugas mengamankan beberapa barang bukti yang diduga digunakan untuk melancarkan kegiatan mereka di Indonesia, antara lain 450 unit telepon genggam, puluhan laptop, printer, dan kartu identitas.
Sebelumnya, Satgas Bali Becik juga mengamankan beberapa WNA lainnya dalam penertiban kegiatan dan izin tinggal di Bali.
Godam mengatakan bahwa operasi pengawasan secara rutin tidak hanya digalakkan di Bali, melainkan juga oleh kantor-kantor imigrasi seluruh Indonesia.
“Untuk selanjutnya, saya tegaskan kembali kepada seluruh orang asing yang berada di Indonesia terutama di wilayah Bali untuk selalu mentaati peraturan dan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia,” ujarnya.
Marak
Staf Taipei Economic and Trade Office (TETO), perwakilan pemerintah Taiwan di Jakarta, Mepi Lin mengakui adanya laporan tersebut, dan awalnya mengatakan bahwa warganya yang terlibat tidak sebanyak itu.
“Yang menangani itu divisi TETO Surabaya. Sebelumnya warga Taiwan cuma sekitar 14 orang. Namun menurut data ter-update ternyata memang banyak warga Taiwan yang terlibat,” kata dia.
Pengamat keamanan siber, Alfons Tanujaya, mengatakan penangkapan scammers ini merupakan fenomena yang terjadi di seluruh dunia dan sedang marak terjadi akhir-akhir ini.
“Tidak hanya di Indonesia saja, scamming itu targetnya terhadap negara tertentu based-nya di negara lain. Itu biasa. Seperti di Kamboja saja yang banyak scammer-scammer,” ujar dia kepada BenarNews.
Trik tersebut, kata dia, biasanya dilakukan scammers untuk menghindari hukuman yang berat.
“Kalau misal di negaranya sendiri tentunya undang-undangnya akan berat menghukum mereka, tapi kalau di negara lain, paling tidak, dideportasi,” ujar dia.
Seperti klaim pemerintah Indonesia, Alfons menampik maraknya patroli dan penangkapan yang dilakukan imigrasi karena adanya peretasan pusat data beberapa hari lalu.
“Rasanya nggak, yang terjadi biasanya kepolisian dari negara yang bersangkutan meminta bantuan polisi Indonesia untuk menangkap scammers tersebut, karena banyak laporan di sana,” ujar dia.
Menurut dia, tidak ada dampak signifikan dari maraknya penangkapan scammers ini. Namun, kata dia, banyaknya kejahatan tersebut bisa memperburuk citra suatu negara.
“Seperti di Kamboja yang sekarang citranya dikenal negatif sebagai surganya bandar judi,” ujarnya.
“Menyaring turis”
Pakar keamanan siber sekaligus ketua dan pendiri Indonesia Cyber Security Forum (ICSF), Ardi Sutedja, mengatakan problem siber akan silih berganti karena langkah kolektif dari pemerintah minim.
“Terbukti turis tidak jelas datang dari mana, tujuan apa, bisa-bisa yang datang kriminal semua karena nggak ada mekanisme memilah turis yang datang ke Indonesia,” ujar dia kepada BenarNews.
Akibatnya, kata Ardi, kualitas turis yang datang ke Indonesia rendah. Contohnya, dengan hidup berutang dan tidak memberikan dampak apa pun terhadap masyarakat lokal.
“Sudah saatnya pemerintah buka mata untuk lakukan pembatasan. Jangan karena hanya satu sisi menargetkan basis pariwisata besar tapi kualitas wisman (wisatawan manca negara) menurun,” kata Ardi.
“Kita lupa menyaring. Padahal kalau kita ke luar negeri ditanya ketat sekali bahkan buku tabungan kita berapa ditanya,” ujar dia.
Kendalanya, tambahnya, selama ini banyak aturan tumpang tindih sehingga tidak sengaja mengancam keamanan siber nasional Indonesia.
“Harus bisa profiling, dalam siber tapi SDM Indonesia belum bisa. Oleh karenanya pemerintah didorong untuk bisa kerja sama organisasi masyarakat. Misalnya di Bali, dengan pecalang, melibatkan masyarakat,” kata dia.