INDUSTRI kecantikan kini tak hanya didominasi perempuan. Semakin banyak laki-laki yang menunjukkan minat terhadap produk perawatan kulit dan kecantikan.
Menurut Allied Market Research, industri perawatan diri laki-laki nilainya diprediksi mencapai $166 miliar (sekitar Rp2,4 triliun) pada 2022.
Peneliti pasar NPD Group mengungkap, pada 2018, produk perawatan kulit laki-laki saja mengalami lonjakan penjualan lebih dari 7 persen. Kategorinya saat ini bernilai $122 juta.
“Dalam beberapa tahun terakhir, gagasan bahwa laki-laki tidak bisa atau tidak boleh menggunakan produk perawatan kulit atau lebih peduli secara umum tentang semua aspek penampilan mereka mulai surut,” kata Andrew Stablein, analis riset di Euromonitor International dalam catatan penelitian.
Ada beberapa faktor yang meningkatkan permintaan produk perawatan diri laki-laki. Dua di antaranya adalah perubahan gaya hidup dan peningkatan pendapatan.
Kini, semakin banyak laki-laki yang merasa lebih percaya diri dengan merawat diri. Kaum Adam tak membatasi diri hanya pada produk-produk seperti deodoran, dan krim cukur. Mereka rutin menggunakan losion, hingga pelembap wajah dan tabir surya.
Dari aspek kesehatan, merawat kulit adalah hal yang sangat masuk akal. Sebab, kulit adalah organ terbesar pada tubuh manusia. Fungsinya sama-sama melindungi, baik untuk laki-laki maupun perempuan.
Masalah yang dihadapi dalam keseharian pun sama. Paparan sinar ultra violet yang jahat, juga polusi. Jadi, bisa dikatakan laki-laki juga butuh merawat kulit.
Memang, cara laki-laki merawat kulit mungkin berbeda dari perempuan masa kini. Bukan dengan 10 langkah perawatan kulit, tapi perubahan itu memang ada dan sedang terjadi.
Pergeseran definisi maskulinitas juga dipercepat oleh kemajuan teknologi. Media sosial membuat paparan informasi seputar perawatan diri laki-laki semakin luas.
Peran e-dagang pun tak lepas dari majunya industri perawatan diri laki-laki. Penetrasi pasar daring meningkat, memudahkan akses para lelaki menjangkau berbagai produk untuk dipilih.
Gayung bersambut, kesempatan ini dimanfaatkan oleh produsen kosmetik dan produk perawatan kulit.
Jenama drugstore menawarkan produk perawatan kulit untuk laki-laki, seperti L’oreal dan Kiehls’s. Bahkan rumah mode Chanel pun ikut tren dengan meluncurkan produk khusus laki-laki, Boy De Chanel.
“Tampaknya para pemain mencoba memperluas pasar dan mendapatkan pangsa pasar yang melambat dengan menumbuhkan basis pengguna mereka,” kata Alison Gaither, analis kecantikan dan perawatan pribadi di Mintel.
Ini terlihat melalui upaya seperti tutorial dari perias asal Inggris, Charlotte Tilbury. Juga jenama Fenty milik Rihanna yang memberi instruksi berias tipis untuk laki-laki.
Dalam laporan Allied Market Research, ada beberapa temuan menarik. Misal, Asia-Pasifik diperkirakan akan menghasilkan pendapatan maksimum pada akhir periode analisis (2022).
Tren laki-laki merawat diri berawal dari Korea Selatan. Negeri ginseng ini lah yang membuat industri perawatan diri laki-laki berkembang pesat.
Setidaknya dalam satu dekade terakhir, laki-laki Korsel adalah yang terbanyak keluar uang untuk merawat diri. Obsesi kaum Adam di Korsel akan produk kecantikan adalah hal kompleks.
Pemicunya adalah ketidaksetaraan gender. Mundur ke tahun 1997, peran gender tradisional dipertanyakan lantaran ketimpangan di berbagai aspek hidup.
Ini membuat perempuan di Korsel mengidamkan sosok laki-laki yang lebih lembut. Kehadiran mereka dianggap bisa membuat lawan jenis merasa lebih kuat.
Namun, pada akhirnya tren K-Pop tak lepas dari fenomena majunya industri perawatan diri laki-laki di Korsel.
Tak hanya di Korsel, kini Tiongkok bahkan kewalahan memenuhi permintaan produk rias laki-laki yang melonjak tinggi. Demikian diungkap Jason Chen, manajer situs ritel daring Tmall, milik Alibaba pada Coresight Research.
Lambat laun, batasan produk kecantikan mulai memudar. Apalagi bagi generasi baru yang punya kecenderungan memilih pendekatan non-biner dalam hal berias dan merawat diri, laki-laki dan perempuan punya kebutuhan sama.
Sumber : Allied Market Research / CNBC / National Geographic / Euromonitor