TAK ada yang menyangka festival Halloween di Itaewon, Seoul, Korea Selatan, Sabtu (29/10/2022) malam, berubah menjadi tragedi. Pesta Halloween yang kembali digelar setelah dua tahun tidak diadakan akibat pandemi Covid-19 itu ramai didatangi pengunjung, tak hanya warga lokal tetapi juga wisatawan dari berbagai negara.
Ribuan orang mengunjungi Itaewon, salah satu distrik paling sibuk di Seoul, untuk merayakan pesta Halloween. Mereka berkumpul di restoran dan bar. Saat malam makin larut, kawasan Itaewon makin ramai didatangi pengunjung hingga menyebabkan kepadatan. Di salah satu jalan sempit para pengunjung berdesakan yang mengakibatkan banyak orang kesulitan bernapas hingga jatuh dan terinjak. Insiden itu menyebabkan 154 orang tewas dan beberapa orang terluka menjalani perawatan intensif di rumah sakit.
Itaewon yang terletak di wilayah Yongsan-gu merupakan salah satu distrik yang populer di Seoul, ibu kota Korea Selatan. Kawasan yang dipenuhi beragam restoran, bar, dan pertokoan ini kerap menjadi lokasi penyelenggaraan berbagai festival. Oleh karena itu, Itaewon masuk dalam daftar wajib dikunjungi para pelancong yang berwisata ke Seoul.
Sebagai kawasan wisata, Itaewon menjadi tempat bertemu orang-orang dari berbagai negara dan latar belakang. Itaewon telah menjadi tujuan para pelancong sejak zaman dulu. Korea Magazine terbitan Korean Culture and Information Service tahun 2015 menyebut nama Itaewon berasal dari tempat penginapan bagi para pelancong yang sudah ada sejak zaman Goryeo (918–1392).
Setelah Jepang menginvasi Korea di bawah pimpinan Toyotomi Hideyoshi pada 1592–1598, Itaewon disebut “Itain” yang berarti “desa orang asing”, karena tentara Jepang di tempatkan di sana. Ketika perang berakhir tahun 1598, beberapa tentara Jepang menetap di sana.
Sementara itu, Song Doyoung dalam Migration and Diversity in Asian Contexts menulis, nama Itaewon mulai muncul dalam catatan sejarah pada abad ke-16 sebagai titik penghubung Seoul dengan wilayah selatan Korea. Pada akhir abad ke-19, wilayah Itaewon pernah diduduki tentara Cina kemudian dikuasai tentara Jepang hingga tahun 1945. Pada masa pendudukannya, Jepang mendirikan markas militer di daerah Yongsan.
Wilayah Itaewon juga pernah menjadi rumah bagi sejumlah orang Amerika setelah Perang Dunia II dan Perang Korea (1950–1953) karena di wilayah tersebut terdapat pangkalan militer Amerika Serikat. Jieheerah Yun dalam Globalizing Seoul The City’s Cultural and Urban Change menyebut penggunaan awal daerah Yongsan –termasuk wilayah Itaewon– sebagai pangkalan militer karena lokasinya dekat dengan dermaga sungai. Selain itu, di masa perang, militer cenderung menggunakan kembali infrastruktur yang sudah ada.
Terletak tepat di pinggiran kamp tentara, Itaewon menjadi distrik komersial yang mendukung berbagai kebutuhan pasukan Amerika. Sejak 1950-an, toko dan klub di Itaewon telah berfungsi sebagai tempat rekreasi bagi personel militer Amerika. Di sisi lain, Itaewon pun menjadi gerbang masuknya budaya Amerika dan negara asing lainnya yang diperkenalkan kepada penduduk Korea Selatan.
Seiring berjalannya waktu, distrik Itaewon tak hanya didominasi budaya Amerika. Wilayah itu berkembang menjadi melting pot, yang tak hanya dikenal sebagai pusat pariwisata, tetapi juga pusat pertukaran budaya. Menurut Doyoung, globalisasi menjadi salah satu faktor yang memungkinkan pertukaran budaya terjadi di wilayah Itaewon.
Popularitas Itaewon sebagai pusat pariwisata kian meningkat setelah diselenggarakannya Asian Games 1986 dan Olimpiade Seoul 1988. Secara khusus turis dari Barat dan Jepang mulai sering mengunjungi Itaewon di mana mereka dapat berbelanja tanpa khawatir terkendala bahasa karena bahasa utama di jalan-jalan Itaewon adalah bahasa Inggris dan Jepang.
Gelombang kedatangan pekerja migran dari Indonesia, Pakistan, dan Bangladesh ke Korea Selatan sejak awal 1990-an turut memberi warna baru bagi Itaewon. Wilayah itu juga menjadi tujuan wisata populer bagi wisatawan muslim terlebih di Itaewon terdapat Masjid Pusat Seoul (Seoul Central Mosque) yang dibangun pada 1976. Meningkatnya jumlah pengunjung muslim berdampak pada berdirinya restoran-restoran halal di Itaewon. Restoran yang menyediakan makanan halal pertama kali di Seoul pada awal 1990-an berada di distrik Itaewon.
Setelah lebih dari tiga dekade Itaewon didominasi budaya Amerika, kawasan itu kini menjelma menjadi semacam “zona internasional” yang beragam secara budaya dan terbuka bagi orang asing di Korea Selatan.
Jieheerah Yun dalam A Foreign Country in Seoul: Itaewon’s Multicultural Streets menulis, perkembangan yang beragam dalam lingkup komersial di distrik Itaewon membuat pemerintah Metropolitan Seoul menetapkan wilayah itu sebagai Zona Wisata Khusus pada 1997. Reputasi Itaewon sebagai pusat hiburan yang trendi dan kosmopolitan menjadi magnet bagi wisatawan lokal maupun mancanegara. Tak heran Itaewon kerap disebut sebagai “pintu gerbang menuju dunia”.
(*)
Sumber: historia.id