RENCANA pemerintah pusat memperluas wilayah kerja Badan Pengusahaan (BP) Batam untuk menambah cakupan ke pulau-pulau di sekitarnya, sepertinya masih belum bisa diterima oleh sebagian kalangan masyarakat Kota Batam.
Melansir rri.co.id, Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kepri, Distrawandi, menilai kebijakan perluasan wilayah kerja BP Batam tersebut berpotensi menimbulkan konflik sosial.
Ia menyebut kebijakan tersebut terkesan dipaksakan tanpa memperhatikan kearifan lokal dan kondisi masyarakat pesisir.
Menurutnya, kebutuhan mendesak masyarakat pulau bukan soal tata ruang atau status wilayah, melainkan akses terhadap pangan.
Saat ini banyak pulau non-FTZ di Kepri kesulitan mendapatkan beras dan sembako. Kondisi tersebut lebih mendesak untuk segera diselesaikan ketimbang memperluas kekuasaan BP Batam.
“Nampaknya BP Batam secara tidak langsung dipaksakan menjadi raja kecil yang tidak memperhatikan aspek kearifan lokal dan pesisir. Selain itu, konsultasi publik seolah di paksakan yang tak pasti urgentnya seperti apa,” jelas Distriwandi, Selasa (28/8/2025).
Sebagaimana diketahui, berdasarkan PP Nomor 46 Tahun 2007, daftar pulau yang masuk dalam perluasan wilayah kerja BP Batam mencapai 8 pulau, kemudian ditambah 14 pulau sehingga 22 pulau.
Total luasnya tercatat 152.686,44 hektare. Pulau-pulau itu termasuk kawasan pesisir yang selama ini dihuni nelayan tradisional. Dengan adanya kebijakan baru, mereka khawatir hak hidupnya akan terpinggirkan.
Dalam kebijakan perluasan tersebut, semua pulau yang masuk delineasi wilayah kerja BP Batam ditetapkan sebagai Hak Pengelolaan Lahan (HPL) BP Batam. Namun, hak milik masyarakat yang sudah ada tetap diakui sampai masa berlaku habis.
Meski begitu, status HPL ini dikhawatirkan akan menimbulkan ketidakpastian hukum di masa depan. Warga pesisir disebut berpotensi tersingkir jika investasi besar masuk ke pulau-pulau.
Selain itu, hak atas tanah di pulau-pulau yang sudah diberikan sebelumnya tetap berlaku. Hanya saja, ketika masa berlaku habis, otomatis masuk ke HPL BP Batam.
Hal ini memunculkan kekhawatiran masyarakat akan kehilangan kontrol terhadap tanah adat dan lahan turun-temurun.
Ketentuan lain juga menyebut seluruh perizinan dan perjanjian investasi di pulau-pulau tetap berlaku hingga masa kontraknya berakhir. Setelah itu, seluruh proses akan berada di bawah kendali BP Batam.
Skema ini dikhawatirkan membuat masyarakat semakin tidak memiliki ruang tawar. Menurut HNSI, pola kebijakan tersebut berisiko memperlebar jurang sosial.
(*/rri)