AKHIR-akhir ini, lidah saya semakin dimanjakan dengan aneka jenis makanan. Jika beberapa tahun lalu, karena keterbatasan makanan halal, saya hanya bisa nikmati makanan itu-itu saja, kini keterbatasan itu kian melonggar.
Oleh: Sultan Yohana
KINI, saya dengan mudah bisa datang ke resto Korea atau Jepang. Andok di warung China. Atau sekedar ngemil kue-kue basah berteman kopi pahit kegemaran saya. Saya bisa menikmati semua makanan itu, karena, tiba-tiba saja, banyak restoran yang memilih “menghalalkan” diri. Terutama dalam tiga-empat tahun terakhir.
Alhamdulillah…
Banyaknya restoran yang tiba-tiba menjadi halal ini, mengapungkan tanda tanya di pikiran saya. Pertanyaan awal yang muncul, apakah resto-resto itu membidik pasar warga Muslim yang hanya 15 persen dari populasi masyarakat Singapura? Bisa jadi iya. Tapi pertanyaan lanjutan yang muncul, “jika alasannya demikian, kenapa tidak dari dulu-dulu mereka ‘menghalalkan’ diri?”
Juga, apakah ketika memaksa diri membidik 15 persen pasar warga Muslim, “apakah mereka justru tidak takut akan potensi kehilangan 85 persen pelanggan non muslim, jika menu mereka diubah menjadi halal?” Lagipula, kenapa fenomena “menghalalkan diri” ini baru-baru ini saja muncul?”
Sederet pertanyaan yang muncul itu justru menggiring saya pada kenyataan lainnya yang saya alami secara langsung, dan lebih masuk akal. Saya menduga, alasan sesungguhnya mereka terpaksa “menghalalkan diri” karena sulitnya mencari karyawan! Lho? Apa hubungannya?
Begini:
Dua bulan lalu, saya dapat kiriman pesan WA dari kawan lama, Kawan saya bertanya , bosnya, bos kami dulu, ingin saya kembali kerja di resto cepat saji? Tempat kerja yang sudah saya tinggalkan empat tahun silam. Persoalan lama, yakni sulitnya mencari karyawan, menjadi penyebab kawan saya kembali minta saya bekerja. Apalagi dengan status PR, itu membuat saya dihitung sebagai “karyawan lokal”, dan itu sangat menguntungkan pihak perusahaan dalam memenuhi kuota karyawan lokal mereka. Perusahaan juga dikenai pajak ringan jika mempekerjakan karyawan lokal.

Singapura memang sedang mengalami persoalan kekurangan tenaga kerja produktif. Hingga banyak restoran yang tutup. Dalam laporan Channel News Asia September 2025 lalu, tahun lalu ada 3000 restoran tutup, dengan rata-rata 250 restoran terpaksa tutup tiap bulannya. Tutupnya ini, selain karena faktor kenaikan sewa tempat yang sangat tinggi, hal yang paling sulit adalah mencari karyawan. Mcdonald, dalam setahun terakhir ini, saya memperhatikan, bahkan menaikkan besaran gaji hingga tiga kali.
Susahnya mencari karyawan, terutama di sektor pekerja “kerah biru”, justru menjadi berkah tersendiri bagi negara tetangga Singapura. Batas kuota karyawan asing yang rata-rata 35 persen bagi sebuah unit usaha, kerapkali “terlanggar” karena mereka tidak bisa mendapatkan 65 persen orang Singapura sebagai karyawan mereka. Jika demikian kondisinya, sebuah unit usaha terpaksa membayar antara $300 hingga $600 per bulan ke pemerintah, untuk setiap kelebihan karyawan asing yang mereka pekerjakan. Ironisnya, itu menjadi satu-satunya pilihan, terutama di sektor-sektor unit usaha kecil seperti rumah makan dan restoran.
Masalah berikutnya, Malaysia lah negara yang paling mudah menyediakan karyawan. Selain karena faktor kedekatan wilayah, kultur, serta bahasa yang sama, warga Malaysia juga punya keistimewaan khusus yang memudahkan bekerja di Singapura.
Jika Anda melongok dapur-dapur hampir semua restoran di Singapura, saya bisa pastikan, Anda pasti akan menemukan banyak orang Malaysia sebagai karyawannya. Bahkan di rata-rata restoran sea-food se-Singapura, kokinya hampir pasti orang Malaysia. Di tempat kerja lama saya, 70 persen karyawannya dari Malaysia.
Sebagai catatan, Malaysian Employers Federation (MEF) mencatat ada sekitar 900 ribu pekerja Malaysia tiap hari pulang-pergi untuk bekerja di Singapura (meski ada laporan lain jumlahnya sekitar 400 ribu). 1.1 juta orang Malaysia lainnya, tercatat tinggal dan bekerja di Singapura.
Banyaknya warga Malaysia yang ingin bekerja di Singapura, tentu saja karena besaran gaji. Sebagai perbandingan, setahun lalu ketika saya jalan-jalan ke Johor, saya melihat iklan lowongan kerja di J-co, yang menawarkan gaji 1800 ringgit per bulan (sekitar $S600). Sementara karyawan tetap di Mcdonald Singapura, mereka bisa membawa pulang 2400 dolar per bulan.
Jadi, jika misalnya Anda punya usaha kedai makan di Singapura, hal paling masuk akal dan paling mudah agar bisnis Anda tetap jalan adalah mempekerjakan karyawan dari Malaysia. Menariknya, kita semua tahu, sebagian besar orang Malaysia adalah Muslim.

Agar warga Malaysia mau bekerja, salah satu syaratnya, tentu saja kedai Anda harus halal. Mau tak mau, jika tidak ingin kedai Anda tutup, Anda terpaksa “menghalalkan” kedai Anda. Di sinilah kemudian, saya menduga, kedai-kedai yang sebelumnya tidak halal, akhirnya memutuskan menjadi halal. Sebuah “barkah” untuk Malaysia yang muncul justru dari kesulitan yang dialami Singapura.
Semesta (baca Gusti Allah) memang punya segala cara untuk menyamaratakan rejeki dan keseimbangan kehidupan. Singapura yang mati-matian bekerja keras dan menjadikan diri mereka sendiri kaya raya, sampai-sampai banyak warganya yang stress ndak mau punya anak, ehhh…, makplekenyik hasil kerja keras mereka “terpaksa” dibayarkan untuk warga-warga negara tetangga yang mereka butuhkan. Akibat lanjutannya, banyak kedai-kedai makan yang berubah menjadi halal, menjadi berkah lebih lanjut pada orang-orang Muslim seperti saya, yang tinggal di sini.
Alhamdulillah…
(*)
Penulis/ Vlogger : Sultan Yohana, Citizen Indonesia berdomisili di Singapura. Menulis di berbagai platform, mengelola blog www.sultanyohana.id


