PEMERINTAH menyerah untuk menjual minyak goreng dalam kemasan sesuai Harga Eceran Tertinggi (HET) dan memutuskan untuk melepas harga sesuai mekanisme pasar. Imbasnya, harga minyak goreng kemasan melonjak mengikuti harga pasar saat ini
Menurut Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, kondisi ini menunjukan pemerintah telah menyerah ke mekanisme pasar setelah masyarakat dibuat bagaikan menjadi kelinci percobaan.
“Pemerintah seperti bertekuk lutut dalam memasok minyak goreng ke konsumen. Kami melihat masyarakat ini seperti kelinci percobaan, pemerintah coba kebijakan a, b, c, dan akhirnya gagal. Klimaksnya akhirnya pemerintah gagal dan menyerah pada market mechanism,” ungkap Tulus dalam sebuah diskusi virtual bersama MIPI, Sabtu (19/3/2022).
Dia menyebutkan, ketika aturan HET dilepas, bahkan aturan kewajiban domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) di tingkat produsen juga dilepas, baru lah minyak goreng membanjiri pasar.
“HET dilepas, DMO dan DPO juga dilepas. Akhirnya, kemudian harga minyak goreng dilepas ke pasar dan baru banjiri kita setelah langka. Tapi harganya jadi mahal,” sebut Tulus.
Ia pun heran mengapa sampai saat ini setelah gonjang ganjing besar di tengah masyarakat, Presiden Joko Widodo nampak diam saja. Menurutnya, Presiden tidak banyak turun tangan dan mengambil langkah signifikan ke masalah minyak goreng.
Menurutnya, masalah minyak goreng di Indonesia sudah masuk ke ranah kartel. Maka dari itu seharusnya Presiden mengambil langkah
strategis.
“Ini juga aneh kalau gonjang ganjing begini Pak Presiden biasanya turun tangan, tapi saya lihat Presiden belum turun tangan, belum bicara signifikan soal fenomena ini. Kalau sudah bicara kartel dan mafia ini levelnya harusnya Presiden memang,” papar Tulus.
“Tapi dalam hal ini Presiden seolah-olah jadikan Mendag bemper,” ucapnya.
Menurutnya, ada 3 komoditas yang tidak bisa disentuh pemerintah. Kelapa sawit yang jadi bahan baku minyak goreng masuk ke salah satunya, dua lainnya adalah tembakau dan batu bara. Hal itu karena di lingkaran bisnis ini terdapat banyak pengusaha kuat yang juga memiliki koneksi ke pemerintahan.
“Komoditas ini libatkan oligarki kuat di Parpol, eksekutif, legislatif. Kenapa Presiden diam? Jadi tanda tanya besar juga,” ungkap Tulus.
(*)
sumber: detik.com