PULAU Rempang yang terletak di gugus kepulauan besar Batam – Rempang – Galang, sudah didiami orang sejak lama. Sebuah catatan jurnalis Singapura, Beck Swee Hoon, dalam laporannya yang terbit di surat kabar The Strait Times pada 7 Oktober 1946 : “Kepala Jernih: a story of the Rhio Archipelago”, melaporkan tentang kisah pengungsian warga setempat di sana karena kedatangan serdadu Jepang.
SEKITAR 1.000 penduduk Rempang, terdiri dari 400 jiwa Melayu dan 600 jiwa Tionghoa, terpaksa mengungsi ke Pulau Kepala Jeri saat itu. Peristiwa terjadi pada bulan Oktober 1945, dipicu oleh rencana kedatangan pasukan Jepang ke Pulau Rempang paska kekalahan mereka dalam Perang Dunia II.
Pengungsian massal ini diberlakukan atas perintah tentara Inggris yang saat itu menguasai wilayah tersebut. Hanya dalam waktu 4 hari, penduduk Rempang diharuskan meninggalkan rumah dan kampung halaman mereka.
Jurnalis Singapura, Beck Swee Hoon , mendokumentasikan peristiwa ini dalam laporannya setahun kemudian, terbit tanggal 7 Oktober 1946 menceritakan bagaimana penduduk Rempang diberitahu tentang rencana pengungsian dan dijanjikan bantuan logistik selama berada di Kepala Jeri.
Pulau Kepala Jeri (dalam artikel disebut oleh Beck Swee Hoon sebagai Kepala Jernih, pen) adalah sebuah pulau lain di sekitar perairan Batam, berada lebih dekat dengan selat Singapura. Saat ini masuk dalam tata wilayah pemerintahan Batam di kecamatan Belakangpadang.
Meskipun diliputi kecemasan, dalam laporannya, Beck Swee Hoon menyebut bisa menenangkan warga dan membantu mereka mempersiapkan kepindahan dalam waktu singkat. Ia turut merasakan dilema, di satu sisi harus menyampaikan kabar pahit pengusiran, di sisi lain harus mencari perlindungan dari penduduk yang ia bantu pindahkan.
Pada tanggal 8 Oktober 1945, seribu penduduk Rempang beserta barang bawaan mereka dievakuasi dengan kapal cepat ke Pulau Kepala Jeri. Setibanya di sana, mereka menerima pemeriksaan kesehatan, terutama obat malaria, dan bantuan medis dari dokter yang disediakan tentara Inggris.
Saat itu, harta benda yang ditinggalkan di Rempang dihitung dan dinominalkan sebagai kompensasi yang diberikan kepada penduduk setiap bulan. Mereka diyakinkan bahwa pengungsian ini bersifat sementara, hanya sampai seluruh pasukan Jepang kembali ke negara asal mereka.
Berikut catatan Beck Swee Hoon seperti dinukil tim GoWest.ID dari perpustakaan nasional Singapura:
Kami sampai di Rempang setelah bermalam di laut, dan setelah menyelidiki kondisi di pulau tersebut, terutama persediaan air, fasilitas untuk kapal pendarat, dll. Kami kemudian kembali ke Singapura untuk membuat pengaturan lebih lanjut.
Saya tinggal di Seranggong, di Rempang, bersama tentara negara. Tugas saya menyebarkan berita kepada masyarakat sungai Raya, selat Tiong, Dapur Anam, Goba, Sembulang,. Pasir Panjang, Rempang, Monggak dan telok Dalam, serta Seranggong bahwa mereka harus meninggalkan daerah tersebut dalam waktu empat hari agar tawanan perang Jepang dapat masuk.
Itu merupakan kejutan yang mengerikan bagi semua penduduk desa, tapi saya berhasil menjaga suasana hati mereka tetap ramah. Semua warga di sini diberikan jatah makanan dan kartu yang memungkinkan mereka meminta jatah dari pihak militer ketika mereka berada jauh dari pulau Rempang.
Evakuasi tersebut melibatkan sekitar 600 orang Tionghoa dan 400 orang Melayu. Mata pencaharian mereka adalah pancang ikan (kelong) yang dibangun di dekat pantai, dan membuka hutan untuk dijadikan perkebunan pohon karet, kelapa, gambir dan buah-buahan yang tumbuh subur. Mereka juga memelihara ternak seperti babi, bebek dan ayam.
Arang diproduksi terutama di Dapor Anam yang namanya diambil dari oven arang besar di sana. Bagi saya itu adalah hal yang sulit dan bahkan berbahaya – berbahaya bagi orang asing bagi penduduk desa tersebut – karena harus mengusir mereka dari rumah dan kebun mereka dalam waktu singkat seperti empat hari. Saya harus berbicara beberapa dialek seperti teo-chew, loo-chiu, Hokien, Hylam, Kanton, dan Melayu agar mereka mengerti apa yang ingin dilakukan otoritas Inggris.
Kesalahan penanganan apa pun yang saya lakukan mungkin akan menimbulkan perasaan tidak enak dan juga menimbulkan bahaya bagi saya mengingat posisi saya yang saat itu bermukim di tempat tinggal mereka pada malam hari saat menjalankan misi saya ke berbagai desa.
Pada suatu kesempatan saya bertanya kepada seorang Tionghoa apa yang ingin dia lakukan terhadap kawanan babinya. Dia menjawab: “Saya ingin tentara membeli semuanya karena saya tidak dapat membawanya, dan jika Anda tidak membelinya, saya harus meninggalkan mereka untuk memberi makan orang Jepang”.
Saya senang bisa berjanji kepadanya bahwa hal ini akan terlaksana. Orang Cina malang lainnya harus meninggalkan sekawanan anjing Aisatian yang ia pelihara untuk mencegah tanamannya dirusak oleh babi hutan dan satwa liar lainnya.
Tempat berkumpul yang telah ditentukan ditandai untuk para pengungsi pada tanggal 8 Oktober 1945, para pengungsi dibawa dengan kapal pendarat cepat ke pulau Kepala Jernih. Setibanya di lokasi baru, diberikan obat-obatan gratis – terutama pil malaria – dan yang sakit ditangani oleh dokter khusus tentara.
Selain itu, jatah juga diberikan, harta benda yang ditinggalkan di Rempang dinilai oleh penguasa militer dan pembayaran kompensasi diberikan kepada mereka setiap bulan. Mereka diberitahu bahwa mereka hanya perlu menjalani kehidupan di pulau Kepala Jernih untuk sementara waktu, dan akan diperbolehkan kembali ke rumah segera setelah orang Jepang tersebut telah dikirim kembali ke Jepang.
Berkat kecepatan yang dilakukan pihak berwenang Inggris dalam melakukan proses repatriasi, masyarakat Rempang kini dengan gembira bisa kembali ke rumah dan kebun mereka.
Sementara itu, surat kabar Indian Daily Mail terbitan 18 Februari 1946 menyebutkan bahwa 18 kampung di Rempang akan menerima kompensasi dari Inggris saat itu. Kampung-kampung tersebut antara lain Seranggong, Tioeng, Goba, Semboelang, Mangga Landjoet, Rempang, Telok Dalam, Tanjung Datar, Kampung Tengah, Tandjoeng Kedoeng, Dapoer Anam, Tandjoeng Batoe, Tandjoeng Dondang, Tanjoeng Kertang, Telok Kapaok, Air Nanti, Soengai Atih, dan Klingking.
(ham)