SABTU pagi, 27 Juli 1996. Pada hari itu terjadi peristiwa “Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli” atau Kudatuli di Kantor DPP PDI, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat.
————
KALA itu seperti banyak ditulis media, terjadi pengambilalihan paksa Kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jakarta Pusat oleh massa pendukung Soerjadi.
Kejadian ini ditengarai karena tidak terimanya kelompok pendukung Soerjadi (PDI Kongres Medan) dengan keputusan Kongres Jakarta yang memenangkan Megawati Soekarnoputri sebagai ketua umum.
Harian Kompas, 23 Juli 1993 memberitakan, Soerjadi secara aklamasi terpilih menjadi Ketua Umum PDI sekaligus menjadi ketua formatur penyusunan komposisi DPP.
Namun, Soerjadi disebut terlibat dalam penculikan kader sehingga PDI mengadakan Kongres Luar Biasa (KLB) di Surabaya.
Dalam kongres itu, Megawati dinyatakan sebagai Ketua Umum PDI.
Selanjutnya diadakan Musyawarah Nasional (Munas) di Jakarta pada 22 Desember 1993 yang akhirnya menetapkan Megawati sebagai ketua umum untuk kepengurusan 1993-1998.
Adapun Soerjadi terpilih berdasarkan hasil Kongres Medan pada 22 Juni 1996 untuk periode 1996-1998.
Menurut Kepala Staf Sosial Politik ABRI saat itu, Letjen Syarwan Hamid, pemerintah mengakui DPP PDI hasil Kongres Medan. Dengan demikian, pemerintah tidak mengakui adanya DPP PDI pimpinan Megawati.
Namun, dukungan untuk Megawati mengalir, terutama dari aktivis dan mahasiswa yang menentang pemerintahan Soeharto kala itu.
Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro menjadi salah satu lokasi utama untuk pemberian dukungan kepada Megawati.
Berbagai upaya penyelesaian sengketa tidak berhasil hingga akhirnya terjadilah bentrokan pada Sabtu, 27 Juli 1996.
Kronologi
SEPERTI dikutip dari harian Kompas, 29 Juli 1996, bentrokan diawali saat massa PDI pendukung Soerjadi mulai berdatangan pada pukul 06.20 WIB.
Massa pendukung Soerjadi saat itu mengenakan kaus berwarna merah bertuliskan “DPP PDI Pendukung Kongres Medan” serta ikat kepala. Mereka datang dengan menggunakan delapan kendaraan truk mini bercat kuning.
Sebelumnya, massa melakukan dialog dengan massa pendukung Megawati yang meminta agar kantor dinyatakan status quo. Namun, kesepakatan tidak tercapai.
Setelah itu, pada 06.35 WIB terjadi bentrokan di antara kedua kubu. Massa pendukung Soerjadi melempari Kantor DPP PDI dengan batu dan paving block. Massa pendukung Megawati pun membalas dengan benda seadanya di sekitar halaman kantor.
Kemudian, mereka berlindung di dalam gedung kantor sebelum akhirnya diduduki massa pendukung Soerjadi.
Tepat pukul 08.00 WIB, aparat keamanan mengambil alih dan menguasai Kantor DPP PDI.
Sebelumnya, bangunan kantor dikuasai oleh massa pendukung Megawati sejak awal Juni 1996.
Selanjutnya, Kantor DPP PDI dinyatakan sebagai area tertutup dan tidak dapat dilewati. Bahkan, pers tidak diperkenankan melewati garis polisi. Kantor DPP PDI juga dijaga pasukan anti huru-hara.
Pada pukul 08.45 WIB, aparat mulai mengangkut sekitar 50 warga pendukung Megawati yang tertahan di kantor dengan menggunakan tiga truk, sementara 9 orang lainnya diangkut dengan dua ambulans.
Selepas itu, pada pukul 11.00 WIB, massa yang memadati ruas Jalan Diponegoro dan sekitarnya terus membengkak dari ratusan orang menjadi ribuan.
Sejumlah aktivis LSM serta mahasiswa menggelar aksi mimbar bebas di bawah jembatan layang kereta api di dekat Stasiun Cikini.
Mimbar ini lalu beralih ke Jalan Diponegoro dan dengan cepat berubah menjadi bentrokan dengan aparat keamanan.
Bentrokan terbuka akhirnya meningkat pada pukul 13.00 WIB, yang membuat aparat menambah kekuatan.
Kemudian, massa terdesak mundur ke arah Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan Jalan Salemba.
Dua jam setelahnya, massa mulai membakar tiga bus kota dan beberapa bus tingkat di Jalan Salemba.
Tak hanya itu, mereka juga membakar beberapa gedung yang ada di Jalan Salemba.
Merespons keadaan ini, aparat mendatangkan lima panser, tiga kendaraan militer khusus pemadam kebakaran, 17 truk, dan sejumlah kendaraan militer lain pada pukul 16.35 WIB.
Setelah itu, massa membubarkan diri dan akhirnya pada pukul 19.00 WIB, api dapat dipadamkan.
Setelah kejadian, sebanyak 171 orang ditangkap karena melakukan perusakan dan pembakaran.
Dari jumlah tersebut, 146 orang merupakan massa pendukung Megawati dan oknum lain, sementara 25 orang merupakan massa pro-Soerjadi.
Kerusuhan hari itu mengakibatkan 22 bangunan rusak, seperti Gedung Persit Chandra Kartika milik Angkatan Darat lalu Bank Kesawan dan Bank Exim.
Massa juga membakar bangunan lain seperti Bank Swarsarindo Internasional, Show Room Toyota, Bank Mayapada, dan gedung Departeman Pertanian.
Selain itu, kerusuhan juga mengakibatkan terbakarnya 91 kendaraan, termasuk lima bus kota dan 30 kendaraan yang ada di ruang pameran, serta dua sepeda motor.
PDIP Klaim Tak Pernah Tutup Kasus Kudatuli
TAHUN lalu, Ketua DPP PDIP Ribka Tjiptaning mendorong Presiden Joko Widodo untuk menuntaskan peristiwa kerusuhan 27 Juli 1996 atau yang dikenal Kudatuli.

“Kami dorong presiden, bahkan dari waktu Jokowi periode satu, terus dorong beliau tuntaskan kasus 27 Juli,” kata Ribka, saat memperingati peristiwa Kudatuli bersama Forum Nasional 27 Juli 1996 (Fornas 96), di Gedung DPP PDIP, Jakarta Pusat, Sabtu (27/7/2019) seperti dikutip dari Antara.
Menurut dia, PDIP tidak pernah menutup kasus itu. Bahkan, setiap rakernas dan kongres selalu memasukkan rekomendasi soal penuntasan kasus Kudatuli.
“Kalau peristiwa 27 Juli itu PDIP tidak pernah menutup. Artinya penting ya jangan dibilang kok tidak dibuka lagi, kok tidak diteruskan lagi, tidak. Persoalannya kan di adhoc-nya, militer lah yang belum bisa clear. Komnas HAM juga sudah membuka. Nah itu yang menjadi persoalan di kita,” kata Ribka.
Fornas 96 pun meminta agar penuntasan kasus Kudatuli dibahas dalam Kongres V PDIP yang rencananya digelar pada 8 Agustus 2019.
“Meminta penuntasan peristiwa 27 Juli 1996 menjadi amanat Kongres Ke V PDI Perjuangan,” kata Sekretaris Fornas 96 Raya Maringan Tampubolon di laman CNN Indonesia tahun lalu.
Bendahara Fornas 96 Ali Husen menambahkan penyelesaian kasus ini agar hal serupa itu tak terulang di kemudian hari.
“Walau kita bagian dari PDIP, kita harus ingatkan namanya manusia kan kenapa ini persoalan tidak diselesaikan,” kata Ali saat itu.
Saat peristiwa Kudatuli itu terjadi, kantor diduduki oleh PDI dengan Ketua Umum hasil Kongres Surabaya, Megawati Soekarnoputri.
Komnas HAM mencatat ada lima orang yang tewas, 149 luka-luka, dan 23 orang hilang dalam peristiwa itu. Keterlibatan sejumlah perwira militer disebut-sebut dalam kasus itu.
Kasus ini pun tak pernah terungkap jelas meski dua kader ‘banteng’, yakni Megawati dan Jokowi, menjadi Presiden RI.
(*)
Sumber : Kompas / Antara / CNN Indonesia