INDUSTRI manufaktur pesawat di Indonesia masih bagaikan embrio yang berkembang. Berfokus pada pesawat kecil dan menengah serta komponennya, industri ini ditopang oleh kolaborasi internasional.
DI sisi lain, raksasa seperti Eropa dan Amerika Serikat telah menjelajah jauh di depan, memproduksi pesawat komersial dan militer berskala besar dengan fokus kuat pada inovasi dan teknologi.
Perbedaan ini bagaikan potret jurang sejarah, investasi, dan kebutuhan pasar yang memisahkan. Hal ini ditegaskan oleh pakar Aircraft Powerplant dari PT Aero Nusantara Indonesia, Saslyadi.
Menurut pria asal Batam ini, tantangan utama industri penerbangan Indonesia terletak pada ketergantungan pada impor bahan baku dan komponen. Politik asing pun, menurutnya, seolah enggan melihat Indonesia berkembang sebagai pemain utama di industri ini.
“Terkungkung sebagai pengguna, kita akan selalu bergantung pada mereka, baik untuk komponen maupun perawatannya. Industri ini pun tak luput dari pengaruh politik. Contohnya, proyek drone tempur Indonesia yang digadang-gadang setara dengan buatan Amerika, harus kandas karena tekanan politik,” ungkapnya di Jakarta.
Teknologi yang masih tertinggal, Rancang Prototype UAV
KONDISI itu menjadi batu sandungan lain. Bahan, permesinan, avionik, dan instrumentasi masih mengandalkan impor. Padahal, Indonesia pernah memiliki N250, yang bahkan lebih canggih dari ATR buatan Prancis-Italia.
“Seandainya IMF tak mendikte Indonesia untuk menghentikan proyek N250, mungkin ATR takkan mengudara di langit Indonesia. N250-lah yang akan berjaya,” ujar Saslyadi, jebolan SMA Negeri 1 dan SMP Negeri 4 Batam itu.
Meski tertinggal, semangat juangnya di dunia aeronautika Indonesia tak padam. Saslyadi dan timnya, bekerja sama dengan Universitas Surya, merancang prototipe wahana terbang tanpa awak (UAV) sepanjang 4 meter dengan lebar sayap 6 meter.
Kemampuannya tak diragukan lagi: membawa muatan 20 kilogram dengan ketinggian jelajah 1 kilometer.
Keberhasilan ini menarik perhatian Kementerian Pertahanan RI. UAV ini diproduksi dengan nama Elang Laut 25 atau EL-25 dan kini beroperasi di jajaran Direktorat Topografi Angkatan Darat.
Saslyadi tak berhenti di situ. Ia dan timnya mengubah truk biasa menjadi wahana darat air (amphibious vehicle) atas permintaan Litbang AD. Tantangan waktu yang sempit tak menyurutkan semangat mereka. Hasilnya, kendaraan ini bisa menjelajah darat seperti truk dan mengarungi air seperti kapal.
Proses merancang pesawat menurutnya, dimulai dari ide pemesan, dituangkan dalam konseptual desain, dengan rincian tujuan pembuatan, kapasitas ruang, beban angkat, kecepatan, jarak tempuh, ketinggian terbang, dan lain sebagainya.
Perjalanan panjang menanti: preliminary design, perhitungan struktur dan beban sayap, aerodinamika, beban mesin, detail design gambar detail, pengetesan beban, tes fungsi, dan akhirnya, tes terbang dan sertifikasi.
Pria itu berharap, Langit Indonesia tak lagi hanya dihiasi pesawat dari luar negeri. Saslyadi dan para inovator lainnya, merupakan sisok-sosk anak bangsa yang terus bertekad mengantarkan Indonesia menuju kemandirian di industri penerbangan dalam negeri.
(ham)
Seperti disarikan dari artikel yang terbit di Media Indonesia