SEBAGAI orangtua, Hendrik Nanlohy dan Magdalena Watimurij boleh bangga dengan anaknya. Dua di antaranya jadi orang berpangkat dan mapan, sama seperti harapan kebanyakan orangtua zaman sekarang. Kedua anak mereka penghasilannya di atas 100 gulden ketika harga emas sekitar 2 gulden untuk satu gram. Selain tanah yang luas, mereka juga bisa membeli mobil.
Mathijs Nanlohy, kerap disebut Thijs Nanlohy, lahir pada 3 Februari 1909. Menurut Benjamin Bouman dalam Van Driekleur tot Rood-Wit: De Indonesische officieren uit het KNIL 1900–1950, Mathijs sudah jadi perwira sejak 1931 setelah lulus dari Akademi Militer Kerajaan Belanda di Breda, Belanda. Setelah jadi perwira, dia menikah dengan Jeane Amalia Angenetta Niels pada 1937.
Sementara itu, adiknya, Benoni Pedro Anthoni Nanlohy, kelahiran 29 Desember 1909, juga lulusan Akademi Militer Breda tahun 1933. Tak lama setelah dilantik, dia menikahi Sytske Baron. Pada 1936, Benoni kawin lagi dengan A.E.A. Felinger. Setelah lulus dari Akademi Militer Breda, Mathijs dan Benoni menjadi letnan dua infanteri tentara kolonial Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL) di Hindia Belanda.
Mathijs pernah ditempatkan di Jawa dan Sumatra. Sementara Benoni pernah ditempatkan di Timor. Perang Dunia II lalu menghancurkan kebahagiaan Hendrik dan Magdalena. Bukan hanya karena Belanda menyerah kepada Jepang pada 8 Maret 1942 dan hilangnya penghasilan anak-anaknya yang tergolong besar. Tetapi juga kemalangan yang menimpa kedua anaknya.
Ketika Jepang datang, Benoni bersama istrinya tinggal di Cimahi. Kartu tawanan perang Jepang menyebut Benoni anggota Batalyon ke-4 Resimen Infanteri ke-2 Divisi 1 KNIL. Pangkatnya kala itu letnan kelas satu infanteri. Setelah Belanda menyerah, dia ditahan Jepang.
Sementara Mathijs sedang berdinas di sekitar Batavia ketika Belanda kalah. Kartu tawanan perang Jepang menyebut Mathijs tinggal di Batavia sebagai anggota Batalyon ke-6 Resimen Infanteri 1 Divisi 1 KNIL. Pangkatnya kala itu letnan kelas satu, tetapi lebih senior dari adiknya.
Bouman mencatat, pada 1942 Mathijs ditempatkan di Tangerang memimpin sebuah kelompok orang Ambon yang kemudian mundur ke Cilacap. Namun, pada 13 Maret 1942 dia ditawan. Sekitar Oktober 1942, Mathijs mencoba memimpin usaha pelarian orang-orang Ambon dari kamp tawanan Jepang. Namun, usahanya gagal sehingga dia ditahan di Penjara Glodok. Dia juga pernah ditawan di barak nomor 6 kamp sekitar Hotel Borobudur.
“Penghuninya terdiri atas tawanan perang berbangsa Indonesia, di bawah pimpinan Kapten Thijs Nanlohy dari KNIL. Kapten ini di belakang punggungnya oleh bawahannya disebut Cabe Rawit,” kata Hadjiwibowo dalam Anak Orang Belajar Hidup: Dinamika Hidup 1942-1970. Tentu saja Mathijs terus diawasi tentara Jepang.
Jelang malam 15 September 1944, Mathijs dibawa ke pelabuhan. Benoni sudah berada di sana bersama beberapa perwira KNIL berdarah Ambon dan Manado. Jepang mempersatukan Mathijs dan Benoni dalam sebuah kesengsaraan. Mereka kemudian dinaikkan ke kapal motor Junyo Maru.
Menurut Fairplay Weekly Shipping Journal, Volume 140, 1936, Junyo Maru adalah kapal buatan galangan Robert Duncan & Co. di Glasgow, Skotlandia. Kapal ini pernah memakai nama Sureway, Hartmore, Hartland Point, dan Ardgorm sebelum dinamai militer Jepang sebagai Junyo Maru.
Junyo Maru yang membawa tawanan dan romusha (tenaga paksa) akan bertolak ke pantai barat Sumatera. Ketika kapal itu berada di perairan Bengkulu, dekat Mukomuko, disikat torpedo kapal selam Inggris HMS Tradewind, yang dinakhodai Stephen Lynch Conway Maydon. Pada hari nahas itu, 18 September 1944, Junyo Maru karam. Sebagian besar penumpangnya, yang di antaranya berusia lanjut, mengembuskan napas terakhirnya.
Di antara penumpang yang tewas dalam peristiwa itu adalah Mayor Alexander Herman Hermanus Kawilarang, Mayor Benjamin Thomas Walangitang, kadet Andri Henri Mantiri, calon letnan penerbang Rompies, dan Benoni. Mathijs sendiri selamat. Begitu juga letnan dokter Pelamonia, Kapten Thenu, dan kadet Henri Sitanala, anak dokter ahli lepra J.B. Sitanala.
Mereka yang selamat masih ditahan militer Jepang dan tidak bebas dari kerja paksa serta kekurangan gizi. Mereka baru bisa bernapas lega setelah Jepang kalah pada 14 Agustus 1945. Setelah bebas, Mathijs kembali bertugas di KNIL. Pangkatnya naik menjadi kapten lalu mayor.
Mathijs tidak memilih ikut Republik Indonesia, yang bagi sebagian serdadu KNIL, dianggap negara boneka bikinan Jepang. Pada masa Perang Dunia II, Jepang menjadi mimpi buruk bagi Mathijs.
Mathijs sempat dilibatkan dalam komisi yang mengurusi nasib serdadu KNIL yang diberi pilihan masuk TNI atau ikut Belanda. Mathijs sendiri ikut ke Negeri Belanda pada 25 Juli 1950. Dia melanjutkan karier militernya di Koninklijk Landmacht atau Angkatan Darat Kerajaan Belanda hingga pangkat kolonel.
(*)
Sumber: historia.id