Orang Tring Bumban’ dideskripsikan sebagai suku primitif dan ‘pemalu’ di Batam yang tidak banyak mengenal dunia luar. Mereka hidup dari alam di tengah hutan-hutan bakau, belantara rimba, mengembara melalui labirin aliran sungai-sungai yang sempit serta tergantung pada pasang surut air laut dan musim.
Oleh: Bintoro Suryo
KEBERADAAN mereka dicatatkan dalam buku : Journal of The Indian Archipelago and Eastern Asia volume 1 terbitan tahun 1847. Orang Tring di Batam pada masa itu, tinggal dan mengembara di sekitar teluk Tering hingga ke timur pulau Batam. Mereka hidup di hutan-hutan bakau dan sungai-sungai kecil di sekitarnya.
Penulis jurnal penelitian ilmiah tersebut, John Richardson Logan, seorang Etnolog Inggris, menyebut kelompok orang di sana, lebih liar dan primitif dibanding kelompok orang Sabimba (Orang Senimba, pen) yang ditemuinya dan hidup di bagian barat laut pulau Batam (catatan tentang ‘Orang Sabimba’ bisa disimak di tulisan berbeda, pen).
Dalam catatan jurnal Logan tentang pulau Batam pada 1847, ditulis :
“…Pulo Battam is the first of these islands, in part, the southern side of the Straits of Singapore. Its creeks are frequented by prahus of several of the pelagian tribes, and in its forest three wild tribes are found. In the north western parts live the Sabimb^ who have been already described.^ In the forest of the north eastern promontory wander a still wilder tribe, called by the Malays of Singapore Orang Tring Bumban …”
Terjemahannya :
Pulo Battam adalah pulau pertama (yang dikunjungi Logan dari Singapura pen), terletak di sisi selatan Selat Singapura. Anak sungainya sering dikunjungi oleh prahu (perahu) dari beberapa suku laut, dan di hutannya ditemukan tiga suku liar. Di bagian barat laut hiduplah suku Sabimba. Di hutan tanjung timur laut, berkeliaran suku yang lebih liar, yang oleh orang Melayu Singapura disebut Orang Tring Bumban (Orang Tring Bemban’) …”.
Orang Tring Bumban, dikategorikan memiliki kebiasaan hidup hampir serupa dengan ‘Orang Senimba yang pernah tinggal di Teluk Senimba di sisi barat laut Batam dan ‘Orang Mukakuning’ yang hidup di hutan kawasan Mukakuning. Berdasarkan penelitian Logan, mereka dikategorikan sebagai suku bangsa asli. Secara kolektif, mereka disebut orang persukuan, yakni kelompok orang yang terdiri dari beberapa suku.
Informasi tentang ‘Orang Tring Bumban’ di kawasan teluk Tering, juga bisa disimak dalam catatan “Journal of the Straits Branch of the Royal Asiatic Society ‘ yang dipublikasi pada Desember 1907. Salah satu penulisnya, C. Bodden Kloss, menyebut nasib ‘Orang Tring Bumban’ di teluk Tering menyusut dari waktu ke waktu. Hampir serupa dengan nasib ‘Orang Senimba yang tinggal di hutan-hutan kawasan teluk Senimba hingga hutan bakaunya.
Kloss mengaku tidak berhasil menemui mereka (Orang Tring Bumban’). Namun, ia mencatat keterangan warga setempat tentang suku asli di Batam pada masa itu.
“Saya belum pernah melihat mereka secara pribadi, karena (orang Tring Bumban) tinggal di tempat- tempat berteduh dan berkeliaran (nomaden). Mereka tidak mudah ditemui dengan selama kunjungan singkat ini. Tetapi dinyatakan bahwa jumlahnya kurang dari seratus. Mereka berdagang sedikit hasil hutan… “
Menurut Kloss, pada 1907, pakaian orang Tring Bumban yang tinggal di Teluk Tering, hanya mengenakan cawat dari kayu. Ciri-ciri mereka hampir serupa dengan ‘orang darat’ pada umumnya yang pernah ditemui beberapa peneliti lain sampai awal abad ke-20 di pulau-pulau sekitar Batam (kepulauan Batam, pen). Seperti ‘orang hutan’ di pulau Rempang yang diduga memiliki kekerabatan yang lebih besar dengan ‘Orang Benoea (orang Benua) dan sering dianggap berasal dari daratan semenanjung Malaya (Malay Peninsula, pen).
Namun, apakah Orang Tring Bumban’ memang berasal dari Semenanjung Malaya?
Fakta menarik lain sehubungan dengan mereka menurut Kloss adalah bahwa mereka masih menggunakan racun sumpitan. Senjata itu dipakai untuk berburu. Namun, mereka tidak membuatnya sendiri, melainkan, mendapatkannya dengan cara barter.
“… Informanku meyakinkan kepadaku bahwa meskipun anak panah beracun itu efektif melawan anak panah liar binatang namun mereka tidak akan pernah membunuh unggas…” sebut Kloss dalam catatannya.
Hal menarik lain dari catatan Kloss, ‘Orang Tring Bumban’ diduga memiliki keterkaitan dengan suku asli lain yang pernah dikenal di pulau Singapura, ‘Orang Kalang’.
Jauh sebelum kunjungan C. Bodden Kloss ke kepulauan Batam, penyebutan kelompok masyarakat yang mendiami Teluk Tering di pulau Batam sebagai ‘Orang Tring Bumban, sudah disematkan Etnolog Inggris, John Richardson Logan dalam jurnalnya di tahun 1847.
Kampung Tring dan Orang Tring Bumban
PENELUSURAN lebih jauh tentang keberadaan ‘Orang Tring Bemban’ yang ditemui John Richardson Logan dan pemandunya, beberapa tahun sebelum jurnalnya diterbitkan pada 1847, sebuah peta lebih lama tentang kepulauan Batam juga menuliskan nama kampung Tring di pesisir timur laut Batam, persis di teluk Tring/Tering.
Kampung Tring dicatatkan dalam peta oleh E.H. Boom, seorang Letnan Komandan Hindia Belanda pada tahun 1846. Potongan peta bernama “Kaart van de Noordkust van het Eiland Bantang (ie. Batam)” itu menampilkan wilayah Teloek Tring dan sekitarnya. Kampung orang Tring, seperti dalam peta, diperkirakan berada di sekitar muara sungai Tering saat ini, dekat bukit Penambi di wilayah Batam Centre.
Pada masa lalu, di sekitar lokasi terdapat aliran sungai-sungai kecil yang berhubungan dengan wilayah di pantai timur Batam lainnya. Seperti wilayah Batu Besar dan Nongsa.
Kampung Tring yang terletak di pesisir teluk Tering masa itu, juga terhubung dengan beberapa kampung lain seperti kampung Belie-an (kampung Belian, pen) melalui jalur laut.
Orang Tring Bumban, diketahui merupakan suku nomaden yang sering berpindah-pindah lokasi tempat tinggal. Mereka biasa berkelana di sekitar perairan teluk Tering masa itu, hingga menyusuri labirin sungai-sungai kecil di sekitarnya. Sebuah peta berbeda yang direproduksi antara tahun 1883 -1885, mendeskripsikan kampung Tring di teluk Tering berada di sekitar wilayah Bengkong Laut saat ini.
Fakta ini sejalan dengan temuan nama wilayah Sei Tering di sekitar wilayah Bengkong hingga ke Batu Ampar dekat Melchem di Batam yang lumrah dikenal warga pada dekade 1970-an hingga 80-an. Ada penamaan kampung Terih di sekitar Melchem dekat Tanjung Sengkuang dan menjadi lokasi tempat tinggal kaum urban yang bekerja di kawasan industri berat terlama di Batam, Batu Ampar.
Oramg lama Batam, terkadang menyebut kawasan tempat tinggal kaum urban di sana dengan nama ‘Kampung Kardus’. Diambil dari bangunan-bangunan tempat tinggal di sana yang banyak terbuat dari dinding kardus. Sulitnya akses bahan baku rumah di awal-awal pengembangan pulau Batam sebagai daerah industri antara dekade 70 hingga 80-an silam, menyebabkan kaum urban yang datang untuk bekerja di pulau ini, memilih untuk membangun tempat tinggal mereka di sekitar lokasi kerja dengan cara sederhana. Selain memanfaatkan kardus sebagai dinding penutup rumah, mereka banyak memanfaatkan bahan baku sisa pabrik hingga kayu-kayu dari hutan sekitarnya untuk membangun rumah.
Walau lebih dikenal sebagai kelompok masyarakat yang lebih sering beraktifitas di hutan dan rawa bakau, kelompok ‘Orang Tring Bumban’ di masa lalu, juga terbiasa hidup di perairan dengan menggunakan sampan-sampan kecil yang biasa disebut ‘kajang’. Sebuah kebiasaan yang juga lazim dilakukan kelompok masyarakat dari suku Kallang dan Seletar di pulau Singapura masa itu.
Sementara itu, Etnolog Inggris, Logan, pada 1847, dalam catatannya mengenali kelompok orang yang tinggal di sekitar Teluk Tering, berdasarkan ciri-ciri yang disampaikan seorang penulis Belanda, Rotger, dalam dokumen yang ditulis beberapa tahun sebelumnya: Berigften omtrent Indie, gedurende een tienjarig verblifj aldaar.
Penyebutan ‘Orang Tring Bumban’ pada catatan ilmiahnya, berdasarkan sebutan yang biasa disematkan kepada orang-orang tersebut oleh masyarakat Melayu di Singapura masa itu. Pengenalan ciri mereka, dianggap serupa dengan kelompok masyarakat di sana.
‘Orang Tring Bumban’ dideskripsikan sebagai suku asli yang tidak banyak mengenal dunia luar. Mereka hidup dari alam di tengah hutan-hutan bakau, mengembara melalui labirin aliran sungai-sungai yang sempit di wilayah itu hingga perairan pantai, serta tergantung pada pasang surut air laut dan musim.
Catatan C. Bodden Kloss dalam dokumen : Journal of the Straits Branch of the Royal Asiatic Society : “Some Visits to Batam Island”, yang dipublikasi pada Desember 1907, orang Tring Bumban’ memiliki karakteristik kemasyarakatan yang sama dengan suku Kalang di Singapura. Walau tertutup dari masyarakat luar, mereka telah memiliki sistem kemasyarakatan sendiri dalam tiap kelompok.
Seperti soal kepemimpinan dalam kelompok masyarakatnya. Kloss menulis bahwa kelompok masyarakat tersebut diketuai para pemimpin seperti Batin, Jinang dan Jukrah.
Sama halnya Logan dalam dokumen yang dipublikasi pada 1847, pada catatan Kloss di tahun 1907, ia menyebut orang Tring Bumban di Batam berasal dari nenek moyang yang sama dengan orang Senimba, Mukakuning serta orang Benua yang terdapat di pulau Rempang dan Galang. Walaupun memiliki karakteristik kehidupan di pedalaman hutan dan rawa-rawa pinggir pantai, mereka memiliki kesamaan dengan kelompok masyarakat proto Melayu lainnya yang beraktifitas di lautan.
Toponim Nama Teloek Tring
TELOEK Tring (Tring Baai), dalam beberapa dokumen tua lain juga disebutkan sebagai teluk Boelan (Boelan Bay), terletak di wilayah Batam Centre, Batam sekarang ini. Penyebutan nama Boelan Bay, biasanya disampaikan dalam dokumen-dokumen tua milik Inggris atau publikasi media massa Singapura di abad 19 hingga permulaan 20.
Beberapa dokumen tua Belanda yang berisi catatan tentang wilayah kepulauan di Batam, sesekali juga menyebutkan hal serupa. Seperti misalnya dalam dokumen Belanda terbitan tahun 1900 : ‘Zemansgids Voor Den Oost-Indischen Archipel Deel 2 (Panduan Zeman ke Kepulauan Hindia Timur Bagian 2), keberadaan teluk terbesar di Batam itu digambarkan sebagai berikut :
“Teringbaai. Van af hoek Sengkoewang loopt de kust met eenige bochten om de ZO. en buigt zich daarna weder om de Noord tot hoek Bekapoer, aldus een 4 zeemijl diepen inham vormende. Tering-of Boelan-baai genaamd met eene breedte van nagenoeg 3 zeemijl aan den ingang. Tot hoek Sambau, ruim 1,7 zeemijl beZ. hoek Bekapoer heeft men in deze baai meer dan 3 vadem water. Daar beZ. wordt zij breeder, doch ondieper en liggen er eenige droog-vallende plekken benevens op het rif de twee laag begroeide eilandjes Sembakau besar en Sembakau ketjil. Z85°0. nagenoeg 0.9 zeemijl van hoek Sengkoewang liggen aan de N W.zijde der baai twee kleine droogvallende plekjes, die hoofdzakelijk uit steenen bestaan. Het land, dat de baai insluit, is heuvelachtig; aan de Westzijde is het kustrif breed en heeft men een rand van bakau. De riviertjes, die in de baai uitmonden, zijn slechts voor kleine vaartuigen bevaarbaar.“
Terjemahannya:
“Teluk Tering. Dari sudut Sengkoewang pantai ini membentang dengan beberapa tikungan di sekeliling tenggara. dan kemudian membelok lagi ke arah Utara hingga ke sudut Bekapoer, sehingga membentuk saluran masuk sedalam 4 mil laut. Disebut Teluk Tering atau Boelan dengan lebar hampir 3 mil laut di pintu masuknya. Ke sudut Sambau, lebih dari 1,7 mil dari sudut Bekapur, teluk ini memiliki air lebih dari 3 depa. Itu akan menjadi lebih luas saat air laut pasang, tetapi lebih dangkal dan terdapat beberapa tempat yang mengering saat surut. Terdapat dua pulau dengan vegetasi rendah yaitu Sembakau besar dan Sembakau ketjil di terumbu. Z85°0. Berjarak hampir 0,9 mil laut dari sudut Sengkoewang terdapat dua titik kering kecil di sisi barat laut teluk, yang sebagian besar terdiri dari bebatuan. Wilayah yang mencakup teluk ini berbukit-bukit; di sisi barat ada karang, pantainya luas dan mempunyai tepian bakau. Sungai-sungai yang mengalir ke teluk ini hanya bisa dilayari oleh kapal-kapal kecil.“
Keberadaan teluk terbesar di pulau Batam itu, juga dicatatkan dalam dokumen : ‘ A Directory for The Navigation of The Indian Archipelago, China and Japan‘ edisi kedua yang terbit tahun 1878. Dalam dokumen yang disusun oleh Alexander George Findlays itu, teluk Tering disebut sebagai teluk Bulan:
“Bollan Bay, lying to the westward of Tanjong Nongsa, is nearly 3 miles wide at its mouth, between Tanjong Treng on the East, and Tanjong Pengair on the West, and 2^ miles deep, narrowing towards its head. A detached reef lies at the entrance of Bullan Bay…“
Terjemahannya:
“Teluk Bollan, terletak di sebelah barat Tanjong Nongsa, lebar mulutnya hampir 3 mil, antara Tanjong Treng di Timur, dan Tanjong Pengair di Barat, dan kedalamannya sekitar 2^ mil, menyempit ke arah ujungnya. Terumbu karang terpisah terletak di pintu masuk Teluk Bullan …”
Keberadaan Teluk Tring/ Teluk Boelan yang juga menjadi lokasi hidup kelompok ‘Orang Tring’ Batam masa lalu, dinilai strategis secara ekonomi maritim oleh banyak pengamat maritim Belanda dan Inggris. Lokasi Perairan yang terlindung karena berada di teluk, memungkinkan kapal-kapal untuk ‘beristirahat’ sejenak dalam perjalanan melalui perairan selat Singapura yang hanya berjarak beberapa mile saja.
Pada tahun 1843, seorang pengamat Eropa bernama Horsburg melaporkan, “Teluk Boolang, di pulau Battam, atau Pulo Battam, terletak kira-kira 13 atau 14 miles sebelah Tenggara Singapura, menyediakan tempat berlabuh yang aman, dan sering dikunjungi kapal-kapal Amerika; di sini mereka memperoleh barang muatan, dan berdagang dengan Singapura, dalam rangka menghindari biaya tambahan bila langsung pergi ke Singapura, karena Teluk Bulang berada di luar batas wilayah kekuasaan Inggris.
Lokasi ‘Teluk Boolang’ seperti dalam laporan Horsburg pada 1843, diduga kuat merupakan lokasi perairan yang sama dengan tempat beraktifitas ‘Orang Tring Bumban’, yakni teluk Tring/Teluk Boelan di pulau Batam. Lokasi dimana etnolog asal Inggris, John Richardson Logan, bertemu dengan kelompok masyarakat asli Batam tersebut, yang kemudian dicatatkan dalam jurnalnya tahun 1847.
Sebuah informasi dari surat kabar Singapura pada tahun 1894, juga menyimpulkan demikian. Teluk Boelan di Pulo Battam dianggap mulai menjadi ancaman bagi Singapura. Berikut petikan isinya, seperti dikutip dari ‘The Singapore Free Press and Mercantile Advertiser‘ edisi mingguan, tanggal 2 January 1894, halaman 443:
“…the admiralty chart shows this: “desirable locality” to be a mile and a half south west of pulo nongsa, and fourteen miles south east from singapore. it is about two miles broad at the entrance, and about the same in length. there is a good deal of mud and coral on both side, and a fair quantity of rock ...”
Terjemahannya:
“…peta angkatan laut menunjukkan ini: “lokalitas yang diinginkan” berada satu setengah mil barat daya Pulo Nongsa, dan empat belas mil tenggara dari Singapura. lebarnya sekitar dua mil di pintu masuk, dan panjangnya hampir sama. ada banyak lumpur dan karang di kedua sisinya, dan cukup banyak bebatuan …“
Toponim nama “Boelan/ Boolang/Bulan untuk disematkan pada teluk Tring di Batam masa itu oleh para pengamat Inggris dan jurnalis Singapura, kemungkinan diambil dari nama kampung lainnya yang ada di teluk tersebut, kampung Belian (dalam peta-peta kuno Belanda dituliskan sebagai Kp. Belie-an).
Di masa kini, perairan teluk yang ramai oleh hilir mudik kapal Fery penyeberangan Batam – Singapura itu, juga dikenal orang sebagai ‘Teluk Belian’.
Dengan semakin terbukanya perairan sekitar Teluk Tring/Teluk Boelan di awal abad 20 oleh para pelaku pelayaran internasional kala itu, membuat keberadaan ‘Orang Tring Bumban’ di Batam yang dikenal pemalu terhadap orang luar semakin terdesak dan makin sulit ditemui. Seperti pernyataan C. Bodden Kloss dalam catatannya di tahun 1907.
“Tidak ditemukan catatan terbaru tentang mereka setelah kunjungan C. Bodden Kloss pada 1907 di Batam”.
Keberadaan mereka mungkin punah. Bisa karena wabah penyakit, pembukaan hutan tempat hidup mereka atau berasimilasi dengan penduduk lokal lain dalam kurun lebih seratus tahun terakhir.
(*)
Penulis/ Videografer: Bintoro Suryo – Ordinary Man. Orang teknik, Mengelola Blog, suka sejarah & Videography.
Artikel ini diterbitkan sebelumnya di: bintorosuryo.com