MENTERI Pembangunan Wanita dan Keluarga Malaysia menegaskan bahwa pasangan muda di negara itu memiliki hak untuk memilih hidup tanpa anak. Hal ini menanggapi kekhawatiran Majlis Keselamatan Negara (MKN) tentang tren penurunan populasi di negara tersebut yang dapat memicu ketidakstabilan sosial dan konflik di masa depan di sana.
Alasan Memilih Hidup Tanpa Anak
Banyak pasangan muda Melayu memilih untuk tidak memiliki anak karena berbagai faktor, termasuk fokus pada pengembangan karir dan kesibukan sehari-hari. Data menunjukkan bahwa Total Fertility Rate (TFR) di Malaysia mengalami penurunan, dengan 1,6 anak dilahirkan per perempuan pada tahun 2022 dibandingkan 2,1 anak pada tahun 2010.
Konsekuensi Penurunan Populasi
MKN memperingatkan bahwa penurunan populasi muda dapat berakibat serius, seperti:
- Kekurangan tenaga kerja muda: Dalam 10-20 tahun mendatang, akan terjadi kekurangan tenaga kerja di sektor-sektor penting seperti pertahanan, kepolisian, dan keamanan publik.
- Populasi menua: Beban biaya kesehatan dan sosial akan meningkat karena populasi yang menua.
- Ketidakseimbangan demografi: Ketidakstabilan sosial dan konflik potensial dapat terjadi jika satu etnis atau kelompok masyarakat memiliki tingkat kelahiran yang jauh lebih rendah daripada yang lain.
- Kemunduran ekonomi: Penurunan jumlah pekerja aktif dan ketidakmampuan untuk menopang ekonomi yang berdaya saing dapat menghambat pertumbuhan ekonomi.
Pandangan Agama Islam
MUFTI Wilayah Persekutuan menjelaskan bahwa Islam tidak mewajibkan pasangan untuk memiliki anak, tetapi juga tidak melarangnya. Persetujuan bersama suami istri menjadi kunci.
Memilih hidup tanpa anak diperbolehkan jika ada alasan yang sah, seperti masalah kesehatan atau bahaya bagi ibu hamil. Namun, memilih untuk tidak memiliki anak hanya karena ingin bebas dari tanggung jawab dianggap makruh, dan memilih gaya hidup bebas anak karena alasan sekuler bertentangan dengan ajaran Islam.
Kisah Pribadi
SHIDA, 32 tahun, seorang wanita yang memilih hidup tanpa anak karena tekanan kerja, merasakan bahwa kesibukan sehari-harinya tidak memungkinkannya untuk menjadi ibu yang baik.
Meskipun dia yakin hidupnya akan bahagia dengan anak, dia merasa tidak adil untuk selalu jauh dari mereka.
(*)


