PEMERINTAH telah mengambil kewenangan untuk penetapan tarif listrik Batam, sesuai dengan amanah UU Cipta Kerja. Oleh karena itu, ada rencana pengusulan kenaikan tarif listrik untuk industri 1-3. Menanggapi hal tersebut, pengusaha kawasan industri meminta kenaikan tersebut ditunda. Pasalnya, saat ini tarif listrik Indonesia cukup tinggi di Asia Tenggara, sehingga mengurangi daya saing industri di Batam
Ketua Bidang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Himpunan Kawasan Industri (HKI) Indonesia, Tjaw Hioeng mengatakan listrik merupakan salah satu komponen terbesar dalam biaya operasional perusahaan industri.
Hal tersebut sangat menentukan daya saing kompetitif dengan pesaing lain dari Asia Tenggara. Bukan hanya pengusaha di kawasan industri yang akan terdampak, tapi juga pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Batam Shipyard Offshore Association (BSOA) dan lainnya.
Menurut Tjaw, penyesuaian tarif listrik akan menyebabkan polemik, terutama saat masih dalam tahap pemulihan ekonomi nasional.
Ia kemudian memberikan contoh bahwa Indonesia memiliki tarif listrik yang tinggi dibanding negara lainnya di Asia Tenggara. Contohnya Malaysia yang tarifnya untuk industri menengah sebesar Rp 1.038 per kWh dan industri besar Rp 970 per kWh.
Sementara itu, tarif listrik di Thailand untuk industri menengah dan besar senilai Rp 986 per kWh. Di Singapura sebesar Rp 2.065 per kWh untuk industri menengah dan Rp 2.001 per kWh untuk industri besar.
Sedangkan di Vietnam, tarif listrik untuk industri menengah sebesar Rp 1.135 per kWh dan Rp 1.077 per kWh untuk industri besar.
“Sementara tarif kita saat ini, Rp 1.115 dan industri besar Rp 997 per kWh. Jadi, kita sendiri di atas Malaysia dan Thailand,” ungkapnya.
Tjaw hanya meminta agar usulan penyesuaian tarif listrik ini harus dikaji secara bijak, karena dampaknya akan besar. “Sekarang ekonomi tengah masa pemulihan. Saya harap usulan penyesuaian tarif listrik bisa dievaluasi secara bijak,” tutupnya (leo)