“Rumah-rumah di kampung ini dibangun dari tikar kadjang yang diikatkan pada bambu. Beberapa juga terbuat dari papan. Semua rumah di sini memiliki atap yang terbuat dari daun nipah.”
…
“Mereka yang tidak mampu membeli garam, akhirnya mencoba cara lain. Mereka mengambil beberapa cabang pohon nipah dan merendamnya dalam air laut. Bagian-bagian garam dari air laut menempel pada cabang-cabang tersebut. Mereka kemudian mengikis dan menggunakannya sebagai garam biasa. Garam yang dihasilkan sebenarnya tidak bisa disebut layak karena berwarna hitam dan memiliki rasa yang agak pahit.” (C. Van Angelbeek, 1819)
Oleh: Bintoro Suryo
SALAH satu catatan paling awal tentang kehidupan sosio kultural masyarakat Melayu yang tinggal di pulau Lingga pada masa kesultanan Johor Pahang Riouw Lingga, dituliskan oleh seorang pejabat Belanda, C. Van Angelbeek. Ia sekaligus Etnografer serta peneliti budaya dan bahasa Melayu. Angelbeek mengunjungi pulau Lingga yang menjadi ibukota kesultanan Melayu penerus kedigdayaan Malaka itu pada tahun 1819.
Bahan catatannya yang kemudian dipublikasi dalam jurnal perkumpulan penulis dan peneliti kolonial Belanda (Genootschap) pada 1829, banyak dijadikan referensi untuk mengetahui perikehidupan masyarakat Melayu di negeri Riouw Lingga masa itu.
Selama kunjungannya, ia mengamati banyak hal. Mulai kondisi alam, sosio ekonomi masyarakatnya hingga tradisi budaya dan sistem pemerintahan di kesultanan Melayu itu sebelum dipecah menjadi dua bagian berdasarkan perjanjian London tahun 1824 oleh Inggris dan Belanda.
Catatan perjalanan C. Van Angelbeek, dirangkum dalam jurnal : “Korte Schets Van Het Eiland Lingga En Deszelfs“.
Berikut dokumen catatannya yang kami alihaksara-kan ke bahasa Indonesia :
“Halaman-halaman berikut memberikan sketsa singkat tentang kehidupan masyarakat Melayu di Pulau Lingga, disertai dengan beberapa catatan tentang asal-usul dan sejarahnya, yang diambil dari catatan harian saya selama tinggal di Kuala Daik pada tahun 1819.
Saya tidak perlu meminta maaf atas kelemahan keseluruhan tulisan ini, karena saya hanya bermaksud memberikan gambaran singkat tentang apa yang berkaitan dengan masyarakat Melayu, termasuk ciri-ciri khas dalam karakter mereka dan beberapa detail tentang keberadaan mereka yang tampaknya luput dari perhatian penulis lain.
Hal ini mungkin karena mereka tidak memiliki waktu yang cukup untuk berinteraksi dengan masyarakat Melayu atau karena mereka terpengaruh oleh prasangka umum terhadap masyarakat ini, sehingga tidak mau repot-repot memeriksa kebenaran pendapat penulis sebelumnya tentang masyarakat Melayu.
Tentu saja, saya tidak mengacu pada penulis Inggris terkenal yang telah menulis tentang Kepulauan Hindia pada zaman belakangan ini. Tetapi, saya percaya bahwa saya memiliki beberapa perbedaan pendapat dengan beberapa di antara mereka.
Saya berani mempresentasikan tulisan ini kepada Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen untuk dinilai.
Jadi, tujuan saya hanyalah memberikan beberapa kontribusi tambahan untuk pengetahuan tentang masyarakat Melayu, dan saya berharap bahwa upaya saya ini tidak akan dilihat dari sudut pandang lain.
Saya telah membagi topik ini menjadi tiga bagian:
- Bagian pertama berisi deskripsi tentang Pulau Lingga dalam keadaan alaminya, sejauh yang saya ketahui.
- Bagian kedua berisi deskripsi tentang sejarah dan kondisi moral masyarakat Melayu di sana.
- Bagian ketiga atau terakhir berisi deskripsi tentang bentuk pemerintahan di pulau itu dalam hubungannya dengan kesultanan Melayu secara umum kegiatan serta pekerjaan penduduknya.”
C. Van Angelbeek
Topografi dan Penduduk
PULAU Lingga, tempat tinggal masyarakat Melayu sejak kemunduran Johor, terletak di bawah garis khatulistiwa, antara Sumatra dan Kalimantan, dengan Selat Malaka di barat laut dan Selat Bangka di tenggara.
Ibu kota pulau ini, yang disebut Kuala Daik, terletak di sisi selatan pulau, di sebelah barat Tanjung Hiang, di tepi sungai. Di bandar kecil itu, Sultan dari kesultanan Riouw Lingga Johor dan Pahang bertempat tinggal.

@Topographische Inrichting /1Den Haag, 1896/ koleksi pribadi
Pelabuhan untuk ibu kota ini luas dan baik. Tampaknya seperti teluk karena adanya pulau-pulau kecil di sekitarnya. Di sisi utara pulau ini terletak Marodong, sebuah desa yang cukup besar.
Sementara di pantai barat, terdapat Kuala Dadong, sebuah teluk yang aman bagi nelayan untuk berlabuh saat cuaca buruk. Tempat-tempat ini menjadi yang utama dihuni oleh masyarakat di pulau ini.
Iklim di pulau ini sangat berubah-ubah; hampir setiap hari turun hujan, yang membawa kesegaran besar dan membuat malam hari terasa sangat sejuk.
Suasananya sehat dan penyakit jarang terjadi. Penyakit yang paling umum adalah penyakit kulit. Penyebabnya mungkin karena jenis makanan penduduk asli yang sebagian besar terdiri dari buah-buahan tanah yang biasanya dimakan mentah. Selain itu, konsumsi ikan segar dan kering yang sering, juga dapat menyebabkan penyakit seperti itu.
Musim di sini, yang dalam bahasa Melayu disebut “Moesim”, dibagi berdasarkan angin yang berhembus selama bagian tertentu dalam satu tahun. Musim dinamai berdasarkan arah angin yaitu “moessim timor” atau musim timur, dan “moessım barat” atau musim barat. Musim timur dimulai sekitar bulan April dan berakhir pada bulan September. Musim barat berlangsung dari bulan Oktober hingga April.
Pulau ini bergunung-gunung dan sangat berhutan. Sebuah rangkaian pegunungan membentang di tengah pulau, dari barat ke timur. Kemudian sedikit ke selatan, ada pegunungan yang cukup tinggi. Kaki gunungnya terletak beberapa jam perjalanan ke daratan.
Di bagian selatan pulau ini terdapat sebuah gunung yang menarik perhatian karena bentuk puncaknya yang unik; gunung ini curam dan runcing, dan terbelah menjadi dua, membentuk dua puncak berbentuk piramida.
Penduduk asli tidak pernah mengunjungi puncak gunung tersebut karena mereka percaya bahwa di sana terdapat roh-roh jahat yang tidak suka jika orang mengunjungi tempat mereka. Jika dilanggar, akan membawa bencana ke seluruh negeri.
Sementara di hutan-hutannya, terdapat berbagai jenis kayu yang cocok untuk membangun kapal dan keperluan lainnya.
Di antaranya, terdapat juga beberapa jenis kayu yang indah dan wangi, yang digunakan oleh penduduk asli sebagai perhiasan dan kemewahan. Seperti kayu Kamoening (Chalcas paniculata), kayu Ebony, kayu Tjendana atau Sandelwood, kayu Garoe (lignum Aloes), dan lain-lain.
Pantai selatan umumnya rendah dan berlumpur; pantai ini terendam air saat pasang dan ditumbuhi semak-semak yang memiliki akar keras dan tajam.
Selama tinggal di pulau ini, saya tidak memiliki kesempatan untuk melakukan penelitian tentang kondisi pegunungan. Oleh karena itu, saya tidak tahu apakah pernah terjadi letusan gunung berapi di sini, dan saya tidak berani mengungkapkan dugaan saya tentang hal itu.
Tanah di sini mengandung banyak timah. Dulu sempat digali dengan giat. Tetapi sejak penemuan tanah timah yang lebih kaya di pulau Singkep yang berdekatan dengan wilayah ini, penggalian mineral ini di pulau Lingga menjadi sangat berkurang. Beberapa orang juga mengklaim bahwa emas ditemukan di sini, tetapi jumlahnya pasti sangat sedikit sehingga tidak sebanding dengan biaya pengumpulannya.
Apa pun itu, penduduk asli sepertinya tidak terlalu peduli dengan hal ini.
Sungai utama di pulau ini bermuara di sisi selatan. Sungai ini berasal dari pegunungan dan dapat dilayari sejauh tiga atau empat jam. Jika ditelusuri hingga lebih ke pedalaman, air sungainya sangat dangkal. Tetapi jernih, bening, dan menyegarkan. Alirannya mengalir di atas dasar pasir dan kerikil. Sementara jika ditelusuri hingga sedikit lebih dekat ke muara dekat laut, airnya tidak jernih dan tidak layak diminum.
Tepi sungai ini menawarkan pemandangan yang menyenangkan; tepiannya tidak terlalu tinggi atau curam dan ditumbuhi pohon-pohon dan semak-semak yang rindang.
Saat menyusuri sungai ini, saya dapat menikmati pemandangan yang indah dan beragam di kedua sisi. Ada rumah-rumah yang dibangun di atas tiang atau di atas air. Sebagian tersembunyi di balik hijau lebat tanaman dan pohon-pohon.
Di sungai yang saya lalui, selain terdapat beberapa kapal dari orang Siam, terdapat juga banyak perahu penduduk asli dengan berbagai jenis dan cat, yang menambah kesan hidup dan indah tempat ini.
Sementara di muara sungai, di sisi sebelah kiri, terdapat benteng tertutup yang terbuat dari kayu. Benteng itu dilengkapi dengan 20 hingga 24 meriam. Bentuknya persegi panjang, tertutup dan dikelilingi oleh tembok. Lubang tembaknya sempit. Bangunan itu saat ini dalam keadaan rusak. Namun, benteng ini sangat strategis untuk mempertahankan wilayah di sekitar sungai.
SETELAH menyusuri sungai sekitar setengah jam, saya tiba di kampung atau tempat tinggal orang Tionghoa, yang terletak di tepi kiri dan cukup luas. Rumah-rumah di sini dibangun di atas tiang karena tanahnya sangat rendah dan berlumpur. Kampung ini dibagi menjadi beberapa ruas jalan yang terbuat dari papan dan diletakkan di atas tiang (pelantar, pen). Berjalan di jalan seperti ini tidaklah mudah bagi orang asing. Harus berhati-hati di mana menempatkan kaki, karena papan-papan yang tersusun tidak terlalu rapat.

Rumah-rumah di kampung ini dibangun dari tikar kadjang yang diikatkan pada bambu. Beberapa juga terbuat dari papan. Semua rumah di sini memiliki atap yang terbuat dari daun nipah.
Tikar kadjang dibuat dari daun pohon palem tertentu dan sangat berguna bagi penduduk di kepulauan ini. Selain digunakan sebagai dinding rumah, juga bisa dijadikan atap kapal untuk melindungi awak kapal dan muatan dari hujan atau panas matahari.
Anehnya, pulau ini, seperti beberapa pulau lain di sekitarnya, tidak menghasilkan bambu. Atau, setidaknya tidak dalam jumlah yang cukup untuk digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Sementara di tempat lain, bambu biasanya tumbuh dengan subur dan digunakan. Terutama untuk membangun rumah di Jawa dan Sulawesi.
Di sini, sebagai pengganti bambu, digunakan Kadjang dan Nibong (Caryota urens). Rumah-rumah yang terbuat dari bahan-bahan ini sama baiknya. Meskipun kurang tahan lama dibandingkan dengan rumah-rumah yang terbuat dari bambu.
Sedikit di luar kampung atau desa orang Tionghoa, bandar orang Melayu mulai terlihat. Rumah-rumah di sini biasanya terbuat dari papan dan dibangun di atas tiang atau pilar setinggi empat hingga enam kaki, dengan atap yang terbuat dari daun nipah.
Rumah-rumah di sini umumnya kecil dan memiliki pintu yang sangat sempit dan hanya terdiri dari beberapa jendela. Rumah-rumah orang yang kurang mampu, terbuat dari Kadjang dan Niebong. Rumah-rumah mereka biasanya dibangun di tepi sungai atau di atas air, di atas tiang yang tinggi.

Untuk masuk ke rumah-rumah orang Melayu di sini, bisa menggunakan tangga atau anak tangga yang ditarik ke atas pada malam hari. Dari sini lah berasal istilah Melayu “Rumah tangga” untuk menyebut istilah sebuah rumah tangga dan keluarga.
Lantai di rumah-rumah besar terbuat dari papan. Sedangkan di rumah-rumah kecil terbuat dari bilah-bilah Nibong yang diikat dengan rotan. Sampah dari rumah tangga jatuh ke bawah sehingga tempat pengumpulan sampah ada di bawah rumah. Di tempat itu juga tempat tinggal ayam dan burung atau hewan peliharaan masyarakat.
Rumah-rumah di dalam bandar ini, jarang berdiri sendiri dan terisolasi. Tetapi, selalu berada di dekat beberapa rumah lainnya. Setiap rumah dikelilingi oleh sejumlah pohon buah-buahan dan semak-semak, seperti sebuah taman. Dari kumpulan rumah-rumah seperti ini, terbentuklah sebuah dusun, dan semua dusun bersama-sama membentuk bandar.
Namun, bandar di Kuala Daik ini, sebenarnya tidak memiliki penampilan yang khas. Hanya rumah-rumah yang dikelilingi oleh pepohonan, biasanya tersembunyi dari pandangan.
Bandar Kuala Daik
DALEM, atau tempat tinggal Sultan, terletak dua jam perjalanan dari laut dan berada di tepi kiri sungai. Ada sebuah jalan yang cukup lebar (yang merupakan sesuatu yang istimewa di sini, karena jalan-jalan lainnya tidak lebih dari jalan setapak) yang terletak sekitar setengah jam perjalanan ke daratan.
Rumah tempat tinggal Sultan, berdiri di sebuah lapangan besar yang hampir berbentuk persegi. Saat memasuki wilayah tempat tinggal Sultan, ada sebuah pintu kayu yang tinggi dan berfungsi sebagai gerbang. Kemudian terdapat lapangan seperti Aloen-Aloen di pulau Jawa. Namun, orang di sini biasa menyebutnya dengan nama ‘Medan‘. Diambil dari bahasa Persia yang berarti dataran atau lapangan.
Dari lapangan ini, terlihat rumah Sultan di sisi kiri yang dikelilingi oleh pagar kayu yang cukup tinggi dan dilengkapi dengan sebuah pintu gerbang yang dihiasi dengan beberapa ornamen, tapi tanpa rasa seni. Beberapa langkah di depan pintu gerbang ini, terdapat sebuah Balai atau ruang audiensi, yaitu sebuah bangunan persegi yang luas, dilengkapi dengan tiang-tiang kayu yang berfungsi sebagai penyangga atap.
Bangunan ini terbuka dari semua sisi dan dibagi menjadi tiga bagian, yang tersusun secara bertingkat. Mulai dari bagian atau yang pertama dan merupakan yang terkecil.
Bagian pertama atau atas ini, berfungsi sebagai tempat duduk Sultan dan pejabat tinggi kerajaan, bagian kedua atau tengah untuk pejabat yang kurang penting dan pengikut Sultan, dan bagian ketiga untuk umum.
Di bangunan inilah semua urusan negara dibahas secara terbuka. Sultan menerima utusan dan orang asing yang ingin diperkenalkan kepadanya. Di sinilah rakyat diizinkan untuk menyampaikan keluhan dan keberatan mereka kepada sultan dan dia sesekali muncul untuk menampakkan diri kepada rakyat. Tempat ini juga berfungsi sebagai tempat di mana semua perayaan besar diadakan.
Bagi masyarakat di mana adat dan cara berpikir antara Sultan dan rakyatnya memiliki jarak yang sangat besar, sebuah tempat seperti Balai memang sangat bermanfaat dan patut diperhatikan. Sultan dan rakyatnya seperti dibawa lebih dekat satu sama lain.
Pada bangunan ‘Dalem‘ atau tempat tinggal Sultan, sebenarnya tidak banyak hal yang patut diperhatikan. Setelah memasuki gerbang, terlihat sebuah bangunan kecil yang mirip dengan balai audiensi besar di ,’Medan‘, yang berfungsi sebagai tempat beraktifitas Sultan.
Sedikit lebih jauh ke belakang, terdapat rumah Sultan dan di sebelahnya adalah rumah ibunya. Rumah-rumah itu dibangun di atas tiang setinggi tiga atau empat kaki di atas tanah. Bangunannya besar dan seluruhnya terbuat dari kayu, yang di dalamnya dibagi menjadi beberapa galeri atau koridor dengan cara yang sangat unik.

Tidak jauh dari pintu masuk ‘Medan‘, di sebelah kanan, terdapat sebuah masjid yang dibangun dari batu bata. Di sebelahnya, terdapat sebuah bak air yang dibangun dari batu bata untuk digunakan sebagai tempat berwudhu.
Tidak jauh dari masjid ini, terdapat pemakaman anggota keluarga kerajaan.
Pemandangan di sekitar bandar Kuala Daik ini sangat indah. Alam terbentang luas di mana-mana. Tetapi sayangnya, penduduk tidak memanfaatkan kesuburan pulau mereka sebaik yang mereka bisa. Pertanian tidak terlalu dihiraukan di sini.
Bukti nyata kesuburan pulau ini adalah hutan lebat yang terdiri dari berbagai jenis pohon, yang menghiasi pegunungan dan lembah serta banyaknya pohon buah-buahan yang terlihat di sekitar rumah penduduk.
Tidak diragukan lagi bahwa tidak hanya lada dan gambir, tetapi juga produk lainnya dapat ditanam di sini dengan hasil yang baik. Terutama jika kesulitan yang saat ini menyertai pekerjaan pertanian dapat diatasi, yaitu dengan menyediakan hewan pekerja, yang dapat dengan mudah didatangkan dari Sumatra yang berdekatan. Saat ini, petani terpaksa menggunakan cangkul untuk menyiapkan tanah untuk penanaman.
Kuda tidak terlihat di sini, dan beberapa kerbau yang dimiliki oleh orang-orang kaya digunakan untuk tujuan lain. Bukan untuk membajak sawah, tetapi dipelihara sebagai hewan ternak yang akan disembelih pada saat ada perayaan.
Sementara itu, orang Tionghoa di sini menanam berbagai jenis sayuran dan buah-buahan, serta sejumlah besar lada dan gambir. Produk terakhir seperti yang diketahui, adalah cairan seperti getah dari daun tanaman atau semak tertentu, yang digunakan bersama dengan daun sirih, yang memiliki sifat astringen.
Padi tidak ditanam di sini, meskipun percobaan yang dilakukan beberapa tahun lalu menunjukkan bahwa padi dapat tumbuh dengan baik. Percobaan penanaman padi di pulau Lingga, saya percaya, dilakukan atas perintah dan biaya Raja Jafar, wakil raja Riouw di pulau Penyengat. Namun, sepertinya ada kendala. Terutama karena ketidaktahuan para petani di sini dan kurangnya hewan ternak untuk membajak sawah. Kondisi itu membuat penduduk di pulau Lingga merasa tidak suka dengan budidaya baru ini. Percobaan penanaman padi akhirnya tidak dilanjutkan.
Alam di pulau Lingga telah menganugerahkan pohon sagu yang berguna kepada warga di sini. Empulur pohon ini menjadi sumber makanan bagi penduduk yang membutuhkan. Sementara orang kaya di sini memakan nasi yang didatangkan dari Jawa dan tempat lain. Nasi masih dianggap makanan yang lebih lezat dan lebih sehat untuk jangka panjang.
Kebutuhan akan garam yang tidak dapat diproduksi di sini karena kondisi pantai, didatangkan dari luar wilayah. Namun, konsumsinya tidak bisa dinikmati oleh penduduk yang miskin.
Mereka yang tidak mampu membeli garam, akhirnya mencoba cara lain. Mereka mengambil beberapa cabang pohon nipah dan merendamnya dalam air laut. Bagian-bagian garam dari air laut menempel pada cabang-cabang tersebut. Mereka kemudian mengikisnya dan menggunakannya sebagai garam biasa. Garam yang dihasilkan sebenarnya tidak bisa disebut layak karena berwarna hitam dan memiliki rasa yang agak pahit.
Perairan yang mengelilingi pulau ini sangat kaya akan ikan. Penangkapan ikan merupakan kegiatan yang banyak dilakukan oleh penduduk; ikan di sini sangat berlimpah dan menjadi salah satu bahan makanan pokok yang umum dikonsumsi.
(*)
Bersambung: “Pulau Lingga dan Penduduknya; Catatan C. Van Angelbeek 1819” (Bagian 2)
Penulis/ Videografer: Bintoro Suryo – Ordinary Man. Orang teknik, Mengelola Blog, suka sejarah & Videography.
Artikel ini diterbitkan sebelumnya di: bintorosuryo.com