“Catatan Raffles dalam suratnya kepada Lord Minto, pada bulan Maret 1811, kelompok pimpinan Raja Issa dan saudara-saudaranya, juga telah membajak sebuah kapal dagang di perairan selat Malaka. Kapal berikut muatan, kemudian dibawa ke Sambas, dimana kelompok yang lebih besar bermarkas.”
…
“Raja Issa dituliskan merupakan anak lelaki pertama dari pasangan YamTuan Muda Riouw V, Raja Ali bersama isterinya Raja Penuh. Pada masa setelah perjanjian London 1824, Raja Issa dan keluarga diketahui telah tinggal di sebuah pulau kecil di hadapan Singapura, bernama pulau Tring. Ia pindah dari mulut Sungai Muar, paska penangkapan saudaranya, Raja Basuk (Baso) oleh militer Belanda pada 1826.” (P.J. Begby, 1827)
Oleh: Bintoro Suryo
DALAM Memoar Raffles yang diterbitkan pada 1830, penguasa Inggris di Singapura itu juga sempat menuliskan nama keempat anak Raja Ali, YamTuan Muda Riouw dan aktifitas mereka di sekitar selat Malaka, tahun 1811.
Dalam sebuah arsip dokumen surat untuk Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia, Lord Minto, Raffles menyebut ada empat anak Raja Ali yang membentuk kelompok kecil perompak dan sering mengganggu jalur pelayaran di selat Malaka. Walau tidak sebesar kelompok rampok lanun di Sambas dan Bangka yang tega membunuh korbannya, Raffles menyebut mereka saling memiliki ikatan hubungan. Raffles meminta gubernur jenderal Hindia Belanda di Batavia untuk meningkatkan pengamanan di wilayah kekuasaan mereka.
Dalam catatan Raffles dalam suratnya kepada Lord Minto, pada bulan Maret 1811, ia menyebut kelompok perompak pimpinan Raja Issa dan saudara-saudaranya, juga telah membajak sebuah kapal dagang di perairan selat Malaka. Kapal berikut muatan, kemudian dibawa ke Sambas, dimana kelompok perompak yang lebih besar bermarkas.
“… ada kelas perompak lain yang lebih kecil, yang telah membawa penjarahan mereka, bahkan sangat baru-baru ini di selat Malaka, meskipun mereka tidak sangat kuat atau memiliki kapal besar. Pemimpin-pemimpin mereka adalah empat bersaudara, anak-anak dari Rajah Ali yang terkenal, yang merupakan penyebab Belanda sebelumnya menghancurkan Sukadana. Nama-nama mereka adalah, Rajah Basuk, Rajah Issa, Rajah Idree, dan Rajah Hameed. Yang paling terkenal dari mereka adalah Rajah Basuk….”
Menurut Raffles, Raja Issa dan tiga saudaranya, terpantau telah terlibat dalam serangkaian aksi perompakan, paling tidak sejak lima tahun terakhir, sejak sebelum 1811.
“… jika mereka dibiarkan berlalu tanpa diperhatikan, akan menjadi kesan yang salah tentang sikap Inggris. Untuk itu saya minta kepada anda (Lord Minto) agar merujuk kembali lampiran No. 5 (kesepakatan tentang pemberantasan aksi perompakan). Surat keberatan terhadap aksi perompakan tersebut juga telah dikirimkan kepada Rajah Mudah Rhio, namun masih belum dijawab …” (Surat Raffles kepada Lord Minto pada 1811 – Kumpulan Memoar Raffles – 1830).

Dalam catatannya, Raffles meminta agar Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia segera menangani persoalan bajak laut yang dilakukan oleh Raja Issa bersaudara pada tahun 1811.
Sementara itu, pada dokumen catatan “Malayan Peninsula – Its History, Manner and Custom of the Inhabitants, Polities, Natural History from Its Earliest Records” yang dipublikasi tahun 1834, penulisnya, Captain P.J. Begbie menyebut, pemerintah Kolonial akhirnya merealisasikan permintaan Raffles sekitar tahun 1826. Salah satu putera Raja Ali yang dinilai berperan dominan, Raja Basuk (Raja Baso) ditangkap.
Saudara-saudaranya yang lain, termasuk Raja Issa, kemudian memilih pindah dari mulut Sungai Muar ke pulau-pulau kecil di sekitarnya yang masuk wilayah Riouw sesuai perjanjian London 1824.
Kondisi Muara Sungai Muar
WILAYAH di sekitar muara Sungai Muar yang menjadi area aktifitas Raja Issa dan saudaranya pada rentang 1800 – 1826, digambarkan oleh J.H. Moor sebagai wilayah yang sepi, walau terletak di tepian selat Malaka yang ramai.
Menurut Moor, penduduk setempat di sungai Muar yang segelintir, biasanya berasal dari pegunungan Jelubu, 30 mil di sebelah tenggara Malaka. Arah aliran sungai Muar yang ujungnya mengalir ke selat Malaka, berasal dari timur laut dengan bentuk sungai yang berkelok.
Tepian sungainya digambarkan Moor cukup rendah dan berlumpur. Kecuali yang berada di dekat kampung-kampung. Sebelum penguasaan navigasi perairan sekitarnya oleh kelompok Raja Issa, wilayah itu sempat menjadi laluan kapal-kapal dagang asal Pahang yang membawa hasil bumi dan keluar ke perairan selat Malaka.
“.. Kami memiliki pertemuan dengan kepala Melayu ini di sebuah kampung, sekitar 18 mil ke hulu, yang disebut Gresik. Ia mengakui dirinya sebagai vasal Johor, dan setiap tahunnya mengirimkan kepada Sultan jumlah pajak yang dikenakan pada rumah-rumah penduduk di Pahang (satu dolar per rumah) dan 200 gumpits beras …” (Moor: :Notice of The Indian Archipelago’, 1837).
Dalam catatan Moor, raja Issa dan saudaranya bukan kepala kampung. Namun mengelola navigasi perairan berdasar warisan kuasa yang diperoleh dari ayah mereka saat tinggal di wilayah ini.
Dahulu, mulut sungai Muar merupakan tempat pertemuan yang terkenal antara pasukan kesultanan Malaka dengan armada Siam yang berusaha menguasai wilayah ini, sebelum menjadi sepi dan dihuni beberapa kelompok warga di kampung-kampung pinggiran sungai.
Muara sungai Muar juga pernah digunakan oleh armada Raja Haji (YamTuan Muda Riouw IV) untuk persinggahan dan mengatur strategi dalam serangan mereka terhadap Malaka pada 1784. (Lihat : ANRI, “Perantauan Orang Bugis Abad 18‘).
Namun begitu, wilayah Muar disebutkan oleh Moor, memiliki potensi tambang emas di sekitar wilayah Bukit Raya.
” …. Kami diberitahu, dahulu tambang emas di atas dan di kaki bukit ini, dikerjakan oleh orang Melayu, yang terpaksa meninggalkannya karena tuntutan dari kepala-kepala kampung. Tumungong kemudian membawa dua penambang Cina dengan perahunya sendiri ke Gressik, dengan tujuan untuk mengetahui apakah spekulasi penambangan di sana akan menghasilkan keuntungan atau tidak. Saya tidak mendengar hasilnya; apakah timah juga ditemukan di dekat Bukit Raya …” tulis Moor pada catatan perjalanan ‘Notice of The Indian Archipelago‘, terbitan tahun 1837.
Sementara Captain P.J. Begby dalam dokumennya mendeskripsikan wilayah tersebut seperti ini;
“Pada zaman dahulu, muara sungai ini merupakan tempat pertemuan yang terkenal bagi armada Siam, dan pada zaman kemudian bagi pangeran-pangeran Melayu, dalam serangan mereka terhadap Melaka selama pemerintahan Portugis dan Belanda. Contoh terakhir terjadi pada tahun 1784, ketika Rajah Hadji, Yang Dipertuan Muda dari Riau, berlabuh di sana dengan armada 170 perahu, dalam perjalanannya untuk menyerang Melaka, sebuah perusahaan (VOC, pen.) di mana dia kehilangan nyawanya. Debu emas ditemukan pada jarak yang pendek dari tepi kiri sungai di Bukit Raya, sebuah bukit yang rendah.” (P.J. Begbie – Malayan Peninsula – Its History, Manner and Custom of the Inhabitants, Polities, Natural History from Its Earliest Records)
Raja Issa dan Saudara
CAPTAIN P.J. Begby, seorang pegawai militer dari Residen Inggris di Singapura, mencatat lengkap keluarga Raja Issa ibni Raja Ali dalam dokumennya, “Malayan Peninsula – Its History, Manner and Custom of the Inhabitants, Polities, Natural History from Its Earliest Records“.

Catatannya tentang Raja Issa merupakan bagian dari deskripsi utama Begby tentang silsilah keluarga YamTuan Muda Riouw pada masa menjelang dan setelah pemisahan kesultanan Johor Pahang Riouw Lingga menjadi dua kesultanan terpisah.
Raja Issa dituliskan merupakan anak lelaki pertama dari pasangan YamTuan Muda Riouw V, Raja Ali bersama isterinya Raja Penuh. Pada masa setelah perjanjian London 1824, Raja Issa dan keluarga diketahui telah tinggal di sebuah pulau kecil dekat Singapura, bernama pulau Tring. Ia pindah dari mulut Sungai Muar, paska penangkapan saudaranya, Raja Basuk (Baso) oleh militer Belanda pada 1826.
Dalam beberapa dokumen lama Inggris dan Belanda, pulau Tring yang disebutkan oleh Begbie, merupakan pulau Angup dalam penyebutan lokal. Letaknya berada di hadapan Singapura dan masuk dalam wilayah Riouw. Kini lebih dikenal sebagai pulau Nipa (Pulau Nipah, pen.).
“Anak laki-laki dari Raja Ali yaitu: Pertama, Raja Issa, yang menikah dengan Raja Burok (yang umumnya disebut Engku Wok). Mereka memiliki anak laki-laki bernama Raja Yakup yang menjadi penerus Raja Jafar dalam jabatan Wakil Raja Riouw. Raja Issa dan keluarga tinggal di Pulo Tring (Tree) yang berada di dekat serta berhadapan dengan Pulau Singapura.” (Captain P.J. Begby, “Malayan Peninsula – Its History, Manner and Custom of the Inhabitants, Polities, Natural History from Its Earliest Records – 1827“)

Menurut catatan P.J. Begby, berdasarkan titah Sultan Mahmud saat pengangkatan kembali ayahandanya, Raja Ali sebagai YamTuan Muda Riouw pada 1804, Raja Issa dan saudara-saudaranya tidak berhak menyandang gelar ‘Pengganti Calon Raja Muda’ (jabatan Engku Kelana). Namun, keturunan selanjutnya – generasi kedua Raja Ali – berhak menyandang gelar tersebut pada masa Yang Dipertuan Muda Riouw dijabat oleh Raja Jafar.
“Suksesi ke Wakil-Kerajaan Riouw diturunkan secara lateral, bukan secara linier, dan ada kebiasaan bahwa, siapa pun yang merupakan pewaris takhta, dia harus tetap berada di Wakil Kerajaan di pulau Penyengat dan tidak boleh tinggal di tempat lain.” (P.J. Begby, 1827)
Informasi dari P.J. Begby ini sejalan dengan catatan E. Netscher tentang poin perjanjian dalam pengangkatan Raja Ali sebagai YamTuan Muda Riouw kembali pada 1804 oleh Sultan Mahmud. Raja Ali diangkat kembali dalam jabatan YamTuan Muda Riouw pada 1804 dan berhak berkuasa seumur hidup. Namun, jabatannya tidak bisa diwariskan ke anaknya.
Paska kemangkatan Raja Ali pada 1806, jabatan Yang Dipertuan Muda, diwariskan ke kemenakannya, Raja Ja’far bin Radja Haji Fisabilillah. Bukan ke anak kandungnya, Raja Issa.
Pewarisan jabatan YamTuan Muda Riouw yang dilakukan secara lateral pada masa pencatatan P.J. Begbie sekitar tahun 1827 berarti bahwa jabatan YamTuan Muda Riouw masa itu, tidak diwariskan secara langsung dari ayah ke anak. Melainkan dari satu saudara ke saudara lainnya.
Artinya, jika seorang YamTuan Muda Riouw meninggal atau digantikan, jabatan tersebut akan diwariskan kepada saudara-saudaranya (baik laki-laki maupun perempuan) atau kerabat lainnya dalam satu generasi, bukan kepada anak-anaknya secara langsung.
ANAK laki-laki kedua pasangan Raja Ali dan Raja Penuh bernama Raja Ismail. Sama seperti abangnya – Raja Issa – ia juga memilih pindah dari muara sungai Muar dan tinggal di pulau kecil bernama Mandu (Manda) di wilayah Riouw.
“… Rajah Hassan, yang ketiga, tinggal di Pulau Buru, begitu pula dengan yang keempat, Rajah Japhar. Sementara yang kelima, Rajah Kassim, tinggal di Pulau Bulang. Saudara keenam, Raja Baso, seperti yang telah kita lihat, telah diatasi dengan sangat singkat oleh pemerintah Belanda.” (Captain P.J. Begby, “Malayan Peninsula – Its History, Manner and Custom of the Inhabitants, Polities, Natural History from Its Earliest Records“)
Sementara itu, saudara perempuan Raja Issa berdasarkan silsilah yang dirangkum oleh P.J. Begby, di antaranya adalah yang tertua, Engku Raja Penuh Saleha yang merupakan isteri dari Raja Ja’far (YamTuan Muda Riouw VI/ pengganti Raja Ali).
“Saudara-saudara perempuan Engku Penuh adalah sebagai berikut; pertama, Rajah Gatiya, yang sudah menikah dan tinggal di Tanamera di dekat Johor. Kedua, Rajah Sapia yang menikah dengan Rajah Idris. Ketiga, Rajah Hawa, menikah dengan Rajah Achmad. Keempat, Rajah Saripa, yang menikah dengan Arong Belawa dan memiliki satu putri. Kelima, Rajah Sya, saat ini belum menikah dan tinggal di Pulo Penyengat. Keenam, Rajah Amina, juga belum menikah di Pulo Penyengat. Dan ketujuh, dan yang terakhir, Rajah Temila, menikah dengan Rajah Kassim, putra tidak sah dari Rajah Japhar.”(Catatan P.J. Begby, 1827).
Sementara itu, berdasarkan catatan silsilah yang dibuat oleh Ungku Haji Abdul Nasir, Raja Issa memiliki total 13 saudara kandung dari pernikahan ayahandanya, YamTuan Muda V Raja Ali dengan sang Ibu, Raja Penuh.
Selain itu, ia masih memiliki saudara sepihak dari pernikahan ayahnya, Raja Ali dengan Tengku Ampuan Utin Gusti Sina (Puteri Sultan Sambas) dan pernikahan ibunya dengan seorang pria bernama Arung Temujung. Saudara sepihak Raja Issa seperti dicatatkan Ungku Haji Abdul Nasir berjumlah 5 orang. Di antaranya; Raja Hassan, Gusti Emas Sitti dan Tengku Ampuan Basik binti Arung Temujung.
(*)
Bersambung
Penulis/ Videografer: Bintoro Suryo – Ordinary Man. Orang teknik, Mengelola Blog, suka sejarah & Videography.
Artikel ini diterbitkan sebelumnya di: bintorosuryo.com


