UNKNOWN man speak to the word, sucking in your trus, a trap in every word. War for territory!
Itu merupakan sepenggal lirik lagu gubahan Sepultura berjudul Territory. Lagu itu ditujukan terhadap pihak Israel yang ingin merebut kekuasaan atas tanah di Palestina. Dalih awalnya ialah bermitra, membangun bisnis yang bisa menyejahterakan dalam konteks bersama.
Kisruh teritorial juga terjadi di Kota Batam, tepatnya di Pulau Rempang, Galang. Hampir sama, persoalan investasi digalakkan sejak awal demi meningkatkan taraf ekonomi. Bagaimana tidak, membangun pabrik kaca terbesar kedua di dunia, tapi rakyat tempatan terancam tergusur.
FYI! Perusahaan asal China, Xinyi International Investment Limited jadi induk pembangunan pabrik kaca itu dan sudah berkomitmen berinvestasi senilai US$ 11,5 miliar atau setara Rp 175 triliun di Pulau Rempang. Presiden Jokowi sebelumnya mengungkapkan, Tiongkok merupakan mitra strategis bagi Indonesia. Oleh sebab itu, Pemerintah Indonesia mengapresiasi dan menyambut baik rencana investasi yang akan dilakukan Xinyi Group.
Sementara itu, Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia menjelaskan, rencana investasi Xinyi Group senilai US$ 11,6 miliar tersebut meliputi pengembangan ekosistem rantai pasok industri kaca serta industri kaca panel surya di Rempang. Menurutnya, investasi Xinyi Group ini merupakan bukti tingginya kepercayaan investor kepada Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi, mengingat Xinyi Group merupakan perusahaan kaca terbesar di dunia.
Rencana investasi di Batam merupakan proyek kedua di Indonesia. Sebelumnya, Xinyi Group melakukan investasi tahap pertama untuk basis manufaktur kaca komprehensif berskala besar di Kawasan JIIPE (Java Integrated and Industrial Port Estate) di Gresik tahun lalu sebesar US$ 700 juta. Produksinya diperkirakan terlaksana di pertengahan tahun depan.
Memorandum of Agreement (MoA) antara Xinyi Group dengan PT Makmur Elok Graha (MEG) dalam hal penyiapan lokasi dan kebutuhan pendukung lainnya di Pulau Rempang sudah dilakukan sebelumnya. PT MEG merupakan anak perusahaan Artha Graha.
Pada April 2023 lalu, Kepala BP Batam, Muhammad Rudi, menyampaikan kabar tersebut ke publik. Kepada warga Rempang, pemerintah telah memastikan bahwa ada 17 ribu hektare lahan yang bakal dipakai untuk membangun industri hilirisasi itu.
Lantas, dari belasan ribu hektare lahan itu, berapa keluarga yang bakal tergusur?
Haruskah relokasi dilakukan kepada warga yang telah bermukim di Rempang circa 1834 lalu demi investasi? Berapa nilai ganti rugi yang pas untuk sebuah budaya dan sejarah bangsa Melayu di Rempang yang telah dirawat sejak ratusan tahun silam?
Berdasarkan data kependudukan yang diperoleh dari Kecamatan Galang, diketahui total warga mencapai 6.840 orang, dengan perincian 3.403 jiwa di Kelurahan Sembulang dan 3.437 jiwa untuk Kelurahan Rempang Cate. Setidaknya ada 16 titik kampung tua di sana yang terancam atas proyek Rempang Eco-City.
Masyarakat Rempang mendukung investasi, tapi tak ingin dipindahkan dari tanah leluhur. Negosiasi dengan pemerintah tak berlangsung mulus. Orang tempatan merasa dirugikan. Alhasil, Rempang Galang pun menentang!
Demo Orang Melayu Batam Tolak Relokasi Demi Investasi di Rempang
Pada Rabu (23/8/2023), ribuan masyarakat Rempang, Galang berunjuk rasa menolak untuk direlokasi demi investasi yang penuh ambisi. Tak cuma yang dari Rempang saja, tapi masyarakat Melayu dari 54 titik kampung tua di Batam ikut berdemo.
Bangsa Melayu jika bersatu memang terbilang kompak. Ibarat satu yang sakit, ribuan orang tersiksa. Bak kata pepatah: “Takkan Melayu hilang di bumi. Sekali layar terkembang, surut berpantang. Esa hilang, dua terbilang. Patah satu, tumbuh seribu. Biarlah mati berkalang tanah, daripada hidup bercermin bangkai.”
Relokasi ini bukan semata tentang penggusuran atau memindahkan penduduk, bukan juga hanya soal bisnis. Di Rempang, ada budaya dan sejarah yang dirawat. Tentunya itu tak bisa dinilai dengan materi.
“Kami minta Bapak (Wali Kota/Kepala BP Batam, Muhammad Rudi) menandatangani surat bahwa Wali Kota Batam bersama masyarakat menolak relokasi,” ucap orator, saat demo di depan Kantor BP Batam.
Adapun beberapa tuntutan masyarakat Rempang yakni:
- Menolak relokasi terhadap 16 titik kampung tua di Pulau Rempang.
- Pengakuan terhadap tanah Melayu Rempang Galang dan mengeluarkan legalitas.
- Hentikan intimidasi terhadap masyarakat Rempang Galang.
- Meminta BP Batam minta maaf kepada masyarakat Rempang Galang dan masyarakat Melayu pada umumnya atas tindakannya.
Namun, tuntutan itu tak dipenuhi. Rudi cuma inginkan perwakilan warga ikut dengannya untuk bertemu dengan beberapa menteri terkait. Kemudian, pengukuran batas lahan untuk pelepasan hutan produksi yang dapat dikonversi akan tetap dilaksanakan dengan melibatkan masyarakat tempatan.
Permintaan Rudi langsung ditolak mentah-mentah oleh massa. Warga bersikeras dengan tuntutannya. Juga meminta BP Batam untuk menghentikan proses pengukuran lahan di Rempang.
Sejarah Panjang Pulau Rempang
Menarik jika melihat sejarah panjang di Pulau Rempang yang telah ada rata-rata sejak satu hingga dua abad lamanya. Dari pengakuan tokoh masyarakat sana, Rempang ada dari tahun 1834.
Ketika Perang Dunia II, Rempang pernah jadi saksi kekalahan Jepang. Pulau itu menjadi lokasi penampungan bagi 27 ribu tawanan Sekutu yang berasal dari Singapura hingga Malaysia pada dekade 40-an. Kenangan itu diabadikan dalam Tugu Jepang atau Minamisebo. Monumen itu berada di Sembulang, Galang dan dibangun oleh Rempang Friendship Association (RFA) pada tahun 1981 lalu.
Kemudian, ada lagi yang namanya Orang Darat atau Suku Darat, yang bermukim di Rempang. Dari arsip Belanda yang ditulis P Wink, tanggal 4 Februari 1930, menyebutkan ada suku asli di Pulau Rempang dari tulisan JG Shchot yang dimuat Indische Gids tahun 1882.
Singkat cerita, Suku Darat kian setelah hutan di Pulau Rempang nyaris punah, hanya menyisakan beberapa saja, bahkan tak sampai 10 orang. Suku Darat kini bermukim di Rempang Cate. Mereka mencoba bertahan dengan mencari makan di laut. Namun pada dasarnya, sesuai nama, mereka lebih leluasa di darat dan bukan di laut.
Peneliti di Pusat Riset Kewilayahan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dedi Arman, pernah menyebut bahwa Orang Darat adalah suku bangsa Proto-Melayu. Dia berharap bisa menjaga Suku Darat agar jangan sampai punah.
“Punahnya suku Orang Darat bakal menjadi kehilangan amat besar bagi sejarah Kepri. Suku Orang Darat, seperti juga Suku Orang Laut dan Suku Akit, adalah suku bangsa Proto-Melayu yang membentuk kebudayaan Melayu di Kepri saat ini,” kata Dedi seperti dilansir dari Kompas.id.
Rentetan histori tersebut menjadi bukti bahwa Rempang adalah pulau legenda di Kepri, lengkap dengan keberagaman dari aspek sosial sampai budayanya. Namun, daerah yang sudah ada sejak ratusan tahun silam itu dianggap berada di dalam Hak Pengelolaan (HPL) BP Batam.
Jelas warga tempatan tak menerimanya.
Salah seorang tokoh masyarakat Rempang, Gerisman Ahmad menyebut jika klaim tersebut mengada-ada. Jangankan otorita atau BP Batam, Kota Batam pun pada saat itu belum ada. Dulu, hanya ada Kecamatan Belakangpadang, Kabupaten Kepulauan Riau, Provinsi Riau.
“Kota Batam pun belum ada di waktu itu. Ibukota Batam ini dulunya Kecamatan Belakangpadang, Kabupaten Kepulauan Riau. Bagaimana mereka bisa mengklaim (kepemilikan HPL atas lahan di Rempang) itu,” ujar Ketua Kerabat Masyarakat Adat Tempatan (Keramat) Rempang Galang itu.
Secara gamblang, Gerisman dan masyarakat Rempang akan tetap bertahan di kampung halaman. Semua itu dilakukan lantaran tak ingin historikal kampung-kampung yang berdiri sejak lama hilang akibat pembangunan.
“Kami (masyarakat) tetap bertahan. Saya tidak mau ini tinggal sejarah. Tinggal namanya saja, gambarnya, tapi kampungnya tidak ada. Kami tak ingin semua tinggal cerita,” kata pria berusia 64 tahun itu.
Belum lagi bicara soal sejarah personal bagi mereka yang telah beranak-pinak di Rempang. Apakah kisah itu bisa dibayar?
Kisruh Teritori di Rempang: Legislator Kepri Singgung Soal Histori, HAM dan Sistem VOC
Upaya pemerintah untuk melakukan relokasi terhadap warga di Pulau Rempang, jadi polemik. Hal itu tak lepas dari investasi yang masuk atas proyek Rempang Eco-City. Masalahnya, warga tak pernah menolak apapun yang berbentuk investasi, tapi mereka tidak ingin direlokasi.
Kisruh itu disorot oleh Anggota DPRD Kepri, Uba Ingan Sigalingging. Ia melihat dari aspek histori, sosial dan budaya di Rempang. Katanya, hak sosial dan budaya tak bisa dibayar dalam bentuk apapun, sebab warga tempatan telah menghuni kampung sejak sebelum Indonesia merdeka.
“Ini juga menyangkut hak sosial dan budaya, bagaimana pemerintah menghitungnya untuk dibayarkan? Nggak bisa dihitung. Termasuk dengan harga sejarah di sana, kan, tak bisa dibayar,” katanya.
Selain itu, Uba pun menyinggung Komnas HAM atas permasalahan yang dialami oleh warga Rempang. Harusnya, lanjut dia, Komnas HAM menunjukkan keberpihakan sesuai dengan prinsip-prinsip dalam hak asasi manusia.
“Jadi tak cuma mediasi saja. Kami ingin mendorong Komnas HAM untuk betul-betul mengawal dan juga menunjukkan keberpihakannya karena memang rakyat wajib dibela, negara berposisi sebagai pemegang kewajiban. Sekarang institusi negara itu apa? Komnas HAM, termasuk aparatnya,” ujar dia.
Ditambahkannya, bahwa negara berkewajiban untuk memastikan prinsip-prinsip hak asasi itu dijalankan, bukan malah berlaku sebaliknya. “Jadi jangan dibalik, seolah-olah warga yang punya kewajiban, negara yang punya hak. Ini yang terjadi,” katanya.
Dia juga menyentil soal sistem yang dijalankan oleh BP Batam terhadap masyarakat. Uba menyamakan itu dengan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), yang cuma bermodal finansial bisa semena-mena menyingkirkan hak-hak rakyat.
“Sistem yang dijalankan BP Batam hampir sama dengan VOC. Karena dengan kekuatan finansial, VOC bisa menyingkirkan rakyat yang seharusnya memiliki hak atas tanah, tapi di situ juga ada hak sosial budaya. Dan itu diulang lagi di era saat ini dalam bentuk dilegalkannya oleh aturan yang dibuat pemerintah,” pungkas Uba.
Versi BP Batam soal Rencana Investasi di Rempang
Saat menemui warga saat aksi unjuk rasa, Kepala BP dan Wali Kota Batam, Muhammad Rudi, mengaku bahwa perjanjian antara BP Batam dan PT MEG selaku perusahaan pemegang proyek telah terjalin sejak 2004 silam.
“Perjanjian ini sudah dimulai sejak 2004. Di 2004 sudah ada MoU antara BP Batam dan PT MEG. Dan hari ini perjanjian itu ditujukan kepada kita bahwa mereka akan investasi kembali. Artinya saya meneruskan apa yang telah disepakati pada tahun 2004,” kata dia.
Oleh PT MEG, BP Batam minta diteruskan perjanjian itu. Rudi mengaku juga sempat dipanggil ke pusat terkait Rempang Eco-City. “Saya dipanggil ke pusat, berarti ini kebijakan dari pusat sampai ke daerah,” tambahnya.
Rudi menyebut bahwa dia telah dipanggil beberapa kali ke Menko Perekonomian, Menko Marves, BKPM dan Menkopolhukam. Warga terdampak pun meminta Rudi untuk ikut memperjuangkan hak penduduk Melayu di Rempang, Galang.
“Bukan berarti kita tidak memperjuangkan. Kita memperjuangkan tapi punya wewenang terbatas. Karena kita daerah adalah perpanjangan tangan pusat harus kita lakukan. Tapi permintaan kita tentu tidak ingin menyusahkan bapak ibu sekalian,” kata Rudi.
Lalu, Rudi juga belum mendapat satu keputusan pun dari pusat tentang penggantian itu. Ia juga janji bakal membawa perwakilan warga untuk dilibatkan agar bisa mengetahui secara keseluruhan.
“Tentu kalau kita ingin mendudukkan masalah ini tentu tidak kita sendiri, perwakilan dari bapak ibu kita libatkan supaya tahu kondisi yang ada. Jadi semuanya belum usai, karena diprovokasi terlalu banyak jadi susah untuk kita bicara,” ujarnya.
Namun, jika merujuk pada arsip berita Antara pada 15 Maret 2008, perjanjian pada 2004 itu bukan diteken oleh Otorita Batam yang berubah nama menjadi BP Batam, melainkan Pemerintah Kota Batam dengan PT MEG. Izin yang diberikan berupa pengelolaan Kawasan Wisata Terpadu Eksklusif (KWTE).
Proyek ini layu sebelum berkembang. Artikel yang dilansir Socratestalk.com menyebutkan megaproyek di atas lahan 17 ribu hektare itu kandas.
Penyebabnya rencana pendirian sejumlah fasilitas perjudian kelas kakap itu menuai protes masyarakat.
Padahal, Perda tentang kepariwisataan yang di dalamnya mengatur tentang KWTE ini sudah disahkan DPRD Batam pada 8 Oktober 2004.
(ahm/dod)