IDE membangun Incinerator untuk mengurai volume sampah sebelum sampai di Tempat Penampungan Akhir (TPA) sampah di Telaga Punggur ini menarik. Sampah-sampah industri dan rumah tangga akan diurai dulu. Diarahkan ke pusat-pusat Incenerator, lalu dibakar. Bukan cuma itu. Katanya, sistem ini mampu menyuplai energi listrik melalui Pusat Listrik Tenaga Sampah (PLTSa)?
Oleh: Bintoro Suryo
INFORMASI yang disampaikan walikota Batam, Amsakar Achmad, baru-baru ini, bakal ada 3 pusat Incenerator untuk mengurai sampah-sampah itu sebelum sampai ke TPA Punggur. Pertanyaannya, dimana pusat-pusat Incinerator akan dibangun?
“Iya, kabarnya begitu. Tapi belum tahu lokasinya. Kemungkinan besar ya di Punggur”, kata seorang petugas pengutip sampah yang datang ke rumah, sore kemarin.
Iseng-iseng, saat ia datang menagih iuran sampah ke rumah, saya tanyakan itu. Sudah cukup lama ia tidak berkunjung.
“Ini, Rp.162.000”, katanya sambil menyerahkan bukti tagihan yang langsung dicetak dari alat data iuran sampah yang dibawanya. Bentuknya portabel. Hampir menyerupai mesin Electronic Data Capture (EDC).
“Hah, yang benar? Rp. 162.000?”, ulang saya karena kaget.
“April 2024 sampai September 2025”, katanya mantap.
Lah, pantas dia tidak pernah kelihatan lagi berkunjung. Ternyata, ia merapel tagihan-tagihan sampah rumah tangga kami untuk ditagihkan sekaligus.
“Kok nagihnya rapelan gini? Gak bulanan? Gak punya duit”, kata isteri saya yang tiba-tiba muncul di depan gerbang rumah.
“Hehe, biar sekalian Bu. Beberapa kali saya ke sini, orangnya gak ada terus”, jawabnya terkekeh.
“Separuh aja, boleh”, lanjutnya memberi solusi.
“Tunggu,” saya masuk ke rumah.
Iuran sampah di Batam, terutama di perumahan kami, sebenarnya masih terjangkau. Rp 9000 per bulan. Untuk volume sampah yang kami hasilkan tiap hari, ini tergolong murah. Apalagi untuk lingkungan sekitar yang rata-rata mengupayakan rumah kost.
Dengan jadwal 2 hingga 3 kali seminggu pengangkutan sampah, paling tidak mereka mengangkut sampah rumah tangga kami 8 kali dalam sebulan. Saya gak bisa membayangkan jika frekuensi pengangkutan sampah dikurangi. Misalnya menjadi 1 kali dalam seminggu. Tumpukan sampah, terutama dari tetangga kami yang mengupayakan rumah kost, akan langsung menggunung.
Dan itu biasanya terjadi di awal tahun!
Sampah-sampah yang menggunung itu, kemudian beterbangan tertiup angin. Mengotori jalan-jalan lingkungan perumahan kami. Tidak jarang, bahkan masuk hingga ke pekarangan rumah. Belum lagi ulah kucing-kucing liar yang mengobrak-abriknya. Benar-benar menjadi situasi yang sangat tidak kami inginkan.

“Ini”, kata saya sambil menyerahkan sejumlah uang. “Kalau nagih rapelan begini, gimana bayar operasional pengangkutan sampah? Gimana bayar mitra kerja?” Kata saya sambil menyerahkan beberapa lembar uang.
” Ya, ada lah pak. Bisa itu. Lah, ini lebih dari cukup. Ada kok ternyata,” kata petugas pengutip setelah melihat lembaran uang yang saya berikan. Ia kemudian melirik ke isteri saya sambil tersenyum.
Ia enggan berdebat soal pengutipan iuran sampah yang dirapel hingga hampir dua tahun ini.
“Incinerator itu, berarti sampah-sampah dibakar dulu kan, sebelum dibawa ke TPA Punggur? Dan katanya akan dibangun tiap beberapa kecamatan? Emang ada warga yang mau jika lingkungannya berdekatan dengan pusat incinerator?” lanjut saya.
Saya masih penasaran dengan rencana yang disampaikan pemerintah kota sebagai solusi mengatasi problema sampah di kota ini.
“Ya, gak ada lah pak. Siapa warga yang mau lingkungannya berdekatan dengan pusat incenerator itu? Jadi masalah baru nanti”, jawabnya terkekeh.
“Ya, karena sebelum dibakar, sampah-sampah yang dimampirkan ke pusat-pusat incenerator itu, pasti akan ditumpuk dulu. Itu akan seperti Tempat Pembuangan Sementara (TPS) sampah”, kata saya membayangkan.
“Udah, pak. Saya pamit. Mau nagih yang lainnya”, katanya memutus pertanyaan. Ia enggan berlama-lama dan takut disalahkan.
“Wah, mobil jipnya masih ada ya”, katanya sambil berlalu. Di kunjungan sebelumnya, ia pernah bercita-cita memiliki jip serupa untuk kendaraan kerjanya berkeliling rumah-rumah warga. Katanya, untuk memudahkan aktifitas.
PEMERINTAH Kota berencana menempatkan 3 unit incinerator di titik-titik strategis untuk mengatasi masalah sampah di Batam. Dalam sebuah rilis media disebutkan, 1 incinerator untuk menangani problema sampah di 3 wilayah kecamatan. Estimasinya, produksi sampah yang saat ini sudah mencapai 800 hingga 1.000 ton per hari sekitar Batam, bisa direduksi.
Caranya dengan membakar sampah menjadi abu dan gas di pusat-pusat incinerator yang akan dibangun. Selain itu, mereka juga telah membentuk 4 Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pengelolaan Sampah baru.
“Kami sudah datangkan satu bulldozer, 14 unit arm roll, 40 bin container, dan melalui APBD perubahan ditambah lagi satu bulldozer serta 80 bin container. Ini ikhtiar kami menyelesaikan persoalan sampah di Batam,” kata Amsakar, baru-baru ini
Selain pembentukan UPT, pihaknya juga menyiapkan pembangunan tiga unit incinerator di tiga lokasi berbeda untuk mendukung sistem yang dirancang.
Pada Jumat (21/03/2025) beberapa bulan sebelumnya, mereka telah menggelar presentasi. Melibatkan salah satu calon mitra pengelola teknologi ini, PT Encona Energi Hijau. Dasarnya adalah produksi volume sampah yang sudah tinggi di kota ini serta estetika keindahan kota.
“Berdasarkan Perpres 35 Tahun 2018 Tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan, menjelaskan sampah diolah menjadi energi listrik berbasis teknologi ramah lingkungan dengan menggunakan mesin/peralatan yang dapat mengolah Sampah menjadi energi listrik, dan mengurangi volume Sampah dan waktu pengolahan secara signifikan melalui teknologi yang ramah lingkungan dan teruji,” kata Sekretaris Daerah kota Batam saat itu, Jefridin, sebelum diganti dan jabatannya di plt-kan.
Melalui presentasi yang disampaikan, calon mitra, PT Encona Energi Hijau, mereka menyebut bahwa sampah di Batam dapat dikelola dengan menggunakan Gasification Technology dan Incinerator Technology. Teknologi itu sebagai dasar untuk mengoperasikan PLTSa di Batam yang juga akan menghasilkan energi listrik.
Karena presentasi ini, saya jadi ingat hal serupa yang pernah coba diterapkan di Batam belasan tahun lalu. Baca : ” Katanya, Sampah itu bisa Jadi Listrik“.
Tapi sayang, upaya itu gagal.
INCINERATOR sampah di Indonesia berfungsi sebagai mesin untuk membakar limbah padat menjadi abu pada suhu tinggi. Teknologi ini diterapkan di sejumlah kota. Yang sudah berjalan seperti di kota Bandung dan Tangerang.

Tujuannya mengurangi volume sampah yang dikirim ke tempat pembuangan akhir (TPA) sehingga bisa menghemat kapasitas penampungan TPA. Ide pembangunan incenerator juga diklaim punya potensi menghasilkan energi.
Apa efek sampingnya?
Sistem ini banyak dikritik karena dapat memicu emisi gas berbahaya dan berdampak pada perubahan iklim. Juga dianggap tidak pas diterapkan di wilayah perkotaan. Teknologi ini bukan langkah tepat untuk mengatasi masalah sampah di wilayah perkotaan. Apalagi yang padat penduduk.
Catatan dari Aliansi Zero Waste Indonesia, saat ini ada 12 kota yang diamanatkan untuk membangun proyek incenerator untuk memusnahkan sampah di wilayah perkotaan. Diantara 12 kota tersebut, yakni DKI Jakarta, Kota Tangerang, Tangerang Selatan, Kota Bekasi, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya, Kota Makassar, Kota Denpasar, Kota Palembang dan Kota Manado. Yang terbaru, kota Batam juga akan mengadopsi sistem ini.
Yang sudah berjalan, sistem pengurai sampah ini akan sejalan dengan pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Pembangunan PLTSa muncul akibat pandangan bahwa timbunan sampah merupakan bagian dari permasalahan keindahan kota.
Pandangan ini tercantum dalam konsideran Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan. Banyaknya timbunan sampah, dinilai mengakibatkan suasana kota tidak enak dipandang.
Dengan pandangan seperti ini, tidak heran, jalan keluar yang diambil adalah membakar sampah hingga hangus.
Padahal, ini keliru. Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, memandang permasalahan sampah sebagai permasalahan lingkungan hidup dan kesehatan. Bukan permasalahan keindahan kota!
Dampak Lingkungan dan Kesehatan
PROSES pembakaran sampah di insinerator berpotensi menghasilkan emisi gas berbahaya, termasuk gas rumah kaca. Meskipun incenerator modern dilengkapi sistem pemurnian, risiko pencemaran udara tetap ada. Peneliti Hukum dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Fajri Fadhillah, menyebut bahwa insinerator juga memproduksi dioksin, yang sangat beracun dan dapat menyebabkan berbagai penyakit.
Selain itu, incinerator menghasilkan abu berbahaya yang memerlukan penanganan khusus, yang berpotensi mencemari udara dan air.
Dengan rancangan incinerator yang akan dibangun di tiap 3 wilayah kecamatan di Batam, dimana lokasinya akan ditempatkan? Sementara lahan perkotaan semakin terbatas.
Apakah harus beririsan dengan lokasi-lokasi pemukiman masyarakat? Bagaimana dampak kesehatan dan lingkungan di sekitarnya?
Ketidakefisienan Sumber Daya, Penghambat Perubahan Perilaku
INCINERATOR memerlukan sumber daya besar, termasuk bahan bakar. Meskipun mampu menghasilkan energi, efisiensinya sering kali rendah dibanding sumber daya utamanya. Sumber daya yang dipakai untuk incinerator, mungkin akan lebih berguna jika dialokasikan untuk energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan.
Ketergantungan pada incinerator, juga dapat mengurangi insentif masyarakat untuk mengurangi dan mendaur ulang limbah. Seperti misalnya program bank sampah yang sudah digulirkan selama bertahun-tahun ini di Batam. Serta para pelaku ekonomi mandiri daur ulang sampah di Batam.

Fokus yang berlebihan pada pembakaran, dapat menghalangi pengembangan solusi pengelolaan sampah yang lebih berkelanjutan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Global Alliance of Incinerator Alliance (GAIA) pembakaran sampah menggunakan incinerator menghasilkan 1.43 ton CO2. Tentunya, bertambahnya emisi karbon akan selaras dengan percepatan perubahan iklim.
Pada dasarnya solusi paling krusial untuk mengurangi volume sampah adalah mengurangi potensi timbulan sampah. Dibutuhkan integrasi dari kebijakan dan regulasi pengelolaan sampah, penerapan gaya hidup minim sampah, penyediaan fasilitas pengelolaan dan daur ulang sampah yang memadai.
Jadi, timbang-timbanglah sebelum memulai. Soal incinerator ini. Selain soal ancaman lingkungan, warga di Batam sebenarnya sudah pernah punya harapan mengubah sampah menjadi energi listrik, namun gagal. Timbang-timbang jugalah soal dampaknya, sesuai amanat Undang-Undang No. 18 Tahun 2008.
(*)
Penulis/ Videografer: Bintoro Suryo – Ordinary Man. Orang teknik, Mengelola Blog, suka sejarah & Videography.
Artikel ini diterbitkan sebelumnya di: bintorosuryo.com