“Bagaimana Anda menjelaskan internet kepada anak-anak?,” seseorang bertanya kepada Edward Snowden (Joseph Gordon-Levitt) saat wawancara kerja CIA dalam film terbaru Oliver Stone. Snowden menjawab dengan naif: internet adalah alat, ujarnya, “dengan kekuatan untuk membuat semua orang di dunia memahami satu sama lain.”
JAWABAN ini terbukti benar dalam biopik karya Stone, yang dia tulis bersama Kieran Fitzgerald sebagai adaptasi buku karangan Luke Harding dan Anatoly Kucherena, meski tidak dalam pengertian utopis seperti yang dimaksud Snowden muda.
Pertama-tama, pemerintah AS berusaha memahami, atau setidaknya mengenal kita. Kemudian, ketika Snowden merilis bukti betapa jauhnya jangkauan pengetahuan ini, kita pun mulai mengenal pemerintah itu, mungkin lebih akrab dari yang kita harapkan.
Ketika Snowden menyampaikan apa yang ia tahu kepada pembuat film dokumenter Laura Poitras (Melissa Leo) dan jurnalis Glenn Greenwald (Zachary Quinto) di sebuah kamar hotel di Hong Kong, ia bersembunyi di bawah selimut saat mengetik kata sandi komputernya. Film ini mengundang Anda untuk bergabung dengannya – namun tak banyak menawarkan dorongan untuk keluar dari situ.
Di film sebelumnya, Stone memaparkan teori gila tentang JFK dengan penceritaan cepat dan dalam tempo tinggi, jadi siapa nyana dalam merinci suatu konspirasi pemerintah yang sesungguhnya, dia membuat film dengan gaya paling tenang, bahkan pelan, sepanjang karirnya.
Agak membingungkan, ketika melihat visioner gila dari era 80-an dan 90-an menjadi begitu jinak, membuat film yang mudah dimengerti tentang isu liberal biasa dan bukannya membuat film yang melontarkan kemarahan terhadap kekuasaan. Stone tampaknya mangalihkan sisi ekstrem dirinya untuk film dokumenter, yang menyoroti tokoh-tokoh seperti Fidel Castro dan Hugo Chavez.
Dengan menggunakan sesi wawancara Snowden dengan Poitras, Greenwald, dan, akhirnya, wartawan Guardian Ewen MacAskill (Tom Wilkinson) sebagai bingkai cerita, film ini membawa kita dalam perjalanan linear melintasi titik balik dalam hidup Snowden.

Dimulai dengan pelatihan Pasukan Khusus, saat Snowden dikeluarkan setelah beban pada tulang kerangkanya yang kurus berujung tulang keringnya patah. Cedera tersebut bukan hasil trauma namun akumulasi tekanan kecil dari waktu ke waktu hingga pada suatu hari tulangnya patah begitu saja. Hal serupa terjadi pada pekerjaannya di intelijen.
Snowden murid yang antusias, pada awalnya. Ia dengan bangga menunjukkan bakatnya di hadapan bosnya di CIA, Corbin O’Brian (Rhys Ifans). Namun kemampuannya begitu mengagumkan hingga ia dipromosikan ke posisi tempat ia mempelajari hal-hal yang tidak ingin ia tahu.
Pasangan Snowden
Selalu di sisi Snowden ialah pacarnya, Lindsay Mills (Shailene Woodley), dan meski biasanya film Stone memperlakukan wanita sekadar hiasan, Mills memegang peran penting dalam hidup Snowden, kesadaran liberal yang menjadi lawan sifatnya yang konservatif.

Hubungan mereka menjadi pusat film ini, sebagian karena jauh lebih asyik dilihat daripada aksi penuh ketegangan di sekitarnya. Stone bertambat pada kejadian sebenarnya alih-alih terinspirasi darinya, membangun momen karakter di sekitar insiden yang tidak cocok dengan standar fiksi pada umumnya.
Performa Woodley yang santai juga mengontraskan sejumlah performa paling teliti di film ini: upaya Gordon-Levitt meniru gaya bicara Snowden yang lambat dengan suara rendah membuatnya sedikit terdengar seperti Buffalo Bill di The Silence of The Lambs. Bukan pertanda bagus ketika Nicolas Cage memberikan performa paling lembut di film Anda, meski geraman serigala Ifans muncul dengan ampuh ketika dia mengancam Snowden dalam konferensi video.
Membangun alur film di sekitar wawancara yang akan menjadi seri ekspose pemenang hadiah Pulitzer ialah langkah bagus, meski membutuhkan karakter Poitras agar berfungsi lebih seperti terapis yang empati ketimbang seorang pembuat film dokumenter pemenang Oscar. Dan ini menempatkan film di posisi unik, terutama bagi Stone, karena berakhir dengan optimisme yang kita terima begitu saja.
Edward Snowden membongkar proses pengumpulan data secara masif yang menjangkau hampir semua tempat – lalu apa? O’Brian tidak salah ketika memberi tahu Snowden bahwa kebanyakan warga Amerika dengan senang hati menukar kebebasan absolut dengan janji akan keamanan, meski mereka lebih suka memperdagangkan kebebasan orang lain dn bukannya kebebasan mereka sendiri.
Film ini menghindar dari persoalan paling pelik dalam kejadian sebenarnya – baik dari segi tindakan pemerintah AS maupun konsekuensi yang tidak diinginkan dari pengungkapan Snowden – dan puas dengan pendekatan yang aman dan akrab tentang perlawanan seorang manusia terhadap sistem.
Pejuang penyendiri ialah salah satu tokoh favorit di Hollywood karena mereka menjadi pelampiasan kesadaran penonton; aksi mereka membebaskan kita dari keharusan untuk mengikutinya. Di akhir film, Snowden membuat pernyataan tentang perlunya aksi dari masyarakat, namun pernyataan itu terkubur dalam foto wajah Snowden yang tersenyum di akhir film. Kalau dia saja bahagia, kenapa kita harus khawatir? ***