Histori
Sejarah Penguasa Lahan Pulau Batam

DI ATAS podium kecil di Dataran Engku Putri, Batam Center, Pulau Batam, senyum Lukita Dinarsyah Tuwo mengembang.
Di sampingnya, berdiri Muhammad Rudi dengan wajah tak kalah sumringah. Peristwa pada Senin 30 Oktober 2017 itu menandai babak baru hubungan dua institusi negara di Pulau Batam yang kerap berseteru.
Lukita adalah nakhoda baru Badan Pengusahaan (BP) Batam. Ia dilantik dua pekan sebelum berdiri sepodium dengan Rudi yang saat ini menjabat wali kota Batam. Lukita menggantikan Hatanto Reksodipoetro, rekannya sesama alumnus Institut Teknologi Bandung.
Di bawah Hatanto, hubungan BP Batam dengan Pemerintah Kota Batam yang dikomandani Rudi, seperti film kartun anak-anak, Tom and Jerry. Saling sindir, saling serang baik secara langsung di forum-forum resmi maupun lewat media.
Sesungguhnya, perseteruan itu adalah warisan kepemimpinan sebelumnya. Ketika BP di bawah kendali Ismeth Abdullah dan Pemko Batam dipimpin Nyat Kadir, hubungan kedua lembaga tersebut malah lebih panas lagi.
Bila ditelisik lebih jauh, akar perseteruan ini adalah masalah penguasaan lahan. BP Batam adalah “pemilik” seluruh hamparan lahan di Pulau Batam melalui Hak Pengelolaan Lahan (HPL). Sedangkan Pemko Batam ibarat orang yang mengontrak di atasnya. Inilah satu-satunya pemerintah daerah di Indonesia yang tak berdaulat atas wilayah yang dikuasainya. Bayangkan, jika hendak membangun sekolah atau puskesmas sesuai aspirasi warga yang menjadi tanggungjawabnya, Pemko Batam harus memohon dulu ke BP Batam. Tak jarang permintaan itu ditolak dengan alasan lahan yang diajukan sudah dialokasikan ke pihak lain.
Situasi ini akhirnya mendorong Pemko Batam berjuang melalui berbagai jalur ke pemerintah pusat agar mereka juga punya hak mengelola lahan di Pulau Batam. Nah, ketika pergantian Hatanto ke Lukita awal Oktober 2017, Menteri Koordinator Perekonomian, Darmin Nasution, menjanjikan transisi Batam dari kawasan perdagangan bebas (free trade zone/FTZ) ke kawasan ekonomi khusus (KEK) dalam dua tahun. Itu artinya, setelah Batam berstatus KEK, Pemko Batam punya hak mengelola lahan di luar titik yang ditetapkan sebagai KEK oleh pemerintah.
Setidaknya, setelah komitmen itu keluar, Pemko Batam bisa bernapas lega. Harapan bisa mengelola lahan di Pulau Batam mendekati kenyataan.
***
Bagaimana awal mulanya BP Batam bisa punya hak absolut atas tanah di Pulau Batam? BP -dulu bernama Otorita Batam (OB)- lebih dulu ada. pada 26 Oktober 1971, Presiden Soeharto menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 74 tentang Pembentukan Badan Pimpinan Daerah Industri Otorita Batam yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Dua tahun kemudian keluar Keppres 41 yang menetapkan seluruh Pulau Batam sebagai daerah industri.
Saat OB dipimpin Prof. Dr. Soemarlin, keluar Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1977 yang mengukuhkan Otorita Batam sebagai pengelola dan pengguna tanah di Pulau Batam.
Sejak Keppres 41/1973 dan Kepmendagri 43/1977 keluar, maka saat itulah kekuasan penuh OB terhadap tanah di Batam dimulai. Mereka memiliki kewenangan perencanaan peruntukan tanah, termasuk menyerahkan ke pihak ketiga. Tentunya harus sesuai ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria. Dari pemberian ke pihak ketiga itu, OB juga berhak menerima uang pengganti atau lebih dikenal dengan nama uang wajib tahunan otorita (UWTO).
Kekuasan OB kian bertambah setelah 14 Mei 1977 keluar Surat Keputusan Menteri Perdagangan No.147/Kpb/V/1977; Surat Keputusan Menteri Keuangan No.150/LML/1977, dan Surat Keputusan Menteri Perhubungan No.KM.119/0/Phb/1977 tentang Pengembangan Lalu lintas Perdagangan di Batam. Wewenang pengendalian diberikan ke OB.
Kurang dari setahun, tepatnya 7 Februari 1978, keluar Surat Keputusan Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Nomor 1 tentang Pelimpahan Wewenang Pengurusan dan Penilaian Permohonan Penanaman Modal di Pulau Batam kepada OB.
Pelimpahan kewenangan terus berlanjut. Pada 7 Juni 1980, Menteri Kehakiman mengeluarkan keputusan No. M.01-PW-10-01-83 yang menjadikan Batam sebagai daerah khusus di bidang keimigrasian. Menyusul Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi No.70/KP/I/1983 pada 19 Januari 1983 yang melimpahkan kewenangan di bidang perdagangan dan koperasi ke OB.
Bahkan, pada 9 Maret 1983, keluar Keppres Nomor 15 yang menetapkan Batam sebagai pintu masuk wisatawan luar negeri. Pemerintah pusat pun memberikan keleluasan pada OB untuk mengembangkan pariwisata di Batam. Termasuk menarik investor untuk sektor pariwisata. Maka dimulailah pembangunan pelabuhan laut dan udara.
Sejak itu pula, periode penanaman modal, industri, dan pengembangannya dimulai. OB gencar memasarkan Batam secara luas ke berbagai negara. OB juga membuka kantor perwakilan di beberapa negara. Hasilnya, investor terus berdatangan menanamkan modalnya di Batam. Apalagi pada 1984, pemerintah menetapkan semua wilayah Pulau Batam ditambah pulau Janda Berias, Tanjungsauh, Ngenang, Kasem, dan Moi-moi sebagai kawasan berikat (bonded area).
Di saat pembangunan mulai pesat, lahirlah Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1983 tentang Pembentukan Kotamadya Batam. Wilayah pemerintahannya meliputi Kecamatan Belakangpadang, Batam Barat, dan Batam Timur. Sejak itulah mulai muncul dualisme kepemimpinan di Batam.
Namun, agar penyelenggaraan pemerintahan bisa berjalan bersama, Presiden mengeluarkan Keppres Nomor 7 Tahun 1984 yang mengatur hubungan kerja antara Kotamadya Batam dengan OB.
Pasal 2 Keppres itu menyebutkan, Walikotamadya Batam -yang saat itu dijabat Usman Draman, adalah penguasa tunggal di bidang pemerintahan. Tugasnya membina kehidupan masyarakat di Kotamadya Batam di semua bidang. Juga bertugas mengkoordinasikan bantuan dan dukungan pembangunan industri Pulau Batam.
Pasal 3 huruf f Keppres tersebut juga memerintahkan Walikotamadya Batam bersama OB secara periodik mengadakan rapat koordinasi dengan instansi-instansi pemerintahan lainnya. Supaya ada sinkronisasi program mereka.
Meski terjadi dualisme kelembagaan, kekuasan OB saat itu tak tergerus. Bahkan, pada 1992, keluar Keppres 28 yang menambah wilayah kerja OB hingga Rempang, Galang, Galang Baru, dan pulau-pulau sekitarnya. Luas wilayah Batam pun bertambah menjadi 715 kilometer. Sekitar 15 persen lebih luas dari Singapura, kala itu.
Saat ketua OB dipegang Ismeth Abdullah sejak 1998, pembangunan Batam lebih diprioritaskan pada prasarana dan penanaman modal lanjutan. Titik beratnya pada kesejahteraan masyarakat dan perbaikan iklim investasi. Namun setahun kemudian, keluar UU 53 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU 13 Tahun 2000 tentang Penetapan Kota Batam jadi daerah otonom penuh. Kewenangannya pun sama seperti daerah otonom lainnya di Indonesia.
Menariknya, pasal 21 ayat 1 UU 53/1999 menyebutkan, Pemerintah Kota Batam dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerahnya mengikutsertakan Otorita Batam. Kata ”mengikutsertakan” bisa berarti OB berada di bawah Pemko Batam, tapi kenyataannya tidak. Sejak itulah, perebutan kewenangan atas wilayah Batam antara OB dan Pemko dimulai.
Untuk meredam gesekan itu, Wali Kota Batam yang saat itu dijabat Nazief Soesila Dharma, mengeluarkan SK bersama dengan Ketua Otorita Batam tentang Pembentukan dan Susunan Tim Perancang Draft Peraturan Pemerintah (PP) Pengaturan Hubungan Kerja Pemerintah Kota Batam dengan Otorita Batam.
SKB itu sejalan dengan amanah pasal 21 ayat 3 UU 53 yang menyebutkan, hubungan kerja antara Pemerintah Kota Batam dan Otorita Batam diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah (PP). Lalu di ayat 4 disebutkan, PP tersebut harus diterbitkan selambat-lambatnya dua belas bulan sejak tanggal diresmikannya Kota Batam. Namun, hingga hari ini, PP itu tak pernah terbit.
Sebaliknya, pemerintah malah menerbitkan UU 44 Tahun 2007 dan PP 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas Batam. Status OB berubah menjadi Badan Pengusahaan (BP Batam) dengan masa kerja 70 tahun sejak PP 46/2007 diteken. Di PP 46 juga disebutkan wilayah kerja BP Pulau Batam, Tonton, Setokok, Rempang, Galang, dan Pulau Galang Baru (Batam dan yang terhubung dengan jembatan). Kedudukan BP Batam dan Pemko Batam pun jadi sama-sama kuat. Dasar hukumnya kini sama-sama undang-undang. Namun, ya, itu tadi, lahan sebagai simbol penguasaan atas wilayah tetap berada di tangan BP Batam. (*)
oleh: tim GoWest.id