SAAT melintas di ruas perempatan ini, kadang saya tersenyum sendiri. Membayangkan lokasi ini bisa dinamakan begitu. Kemudian, familiar di benak warga. Simpang Franki, sekarang jadi salah satu lokasi yang familiar di kalangan warga Batam. Terletak di kawasan Batam Center, persimpangan ini menjadi salah satu titik yang paling sibuk di kota ini.
Oleh: Bintoro Suryo
SIMPANG Franki terletak di antara ruas jalan Ahmad Yani yang menghubungkan pusat Batam Centre hingga ke arah perempatan Kepri Mall dan ruas jalan Laksamana Bintan yang menghubungkan kawasan Mitra Raya ke arah area industri Sincom.
Walaupun bukan merupakan nama resmi, lokasi persimpangan empat yang kini berdiri gedung apartemen Meisterstad Habibie itu, telah melekat cukup lama dalam ingatan dan penyebutan lokasi oleh warga. Lalu, bagaimana bisa lokasi ini dinamakan ‘Simpang Franki’?
Nama itu mulai dikenal orang menjelang akhir dekade 90-an, saat lokasi di sekitarnya mulai marak berdiri rumah-rumah liar. Pada pertengahan dekade 80-an, saat Otorita Batam mulai mengembangkan kawasan Batam Centre dengan membuka ruas jalan yang kini dikenal sebagai jalan Ahmad Yani, awalnya hanya ada satu ruas jalan lurus dengan ujung menuju gedung kantor Otorita Batam. Di sisi kiri dan kanan hanya ada hutan dan rawa.
Belum ada perempatan seperti simpang Franki atau perempatan dekat masjid agung Batam seperti sekarang. Apalagi bicara dataran Engku Puteri dan kantor Wali kota.
Namun, saat awal dibuka, Otorita Batam sebenarnya sudah membuatkan rencana ruas jalan persimpangannya, sekitar 10-20 meter saja, kiri dan kanan untuk pengembangan ke depan di beberapa titik lokasi. Seperti misalnya di wilayah yang kini dikenal sebagai Simpang Franki itu.
Di lokasi yang sekarang berdiri apartemen Habibie yang ikonik tersebut, sebenarnya disiapkan sebagai lokasi rumah sakit. Ada plang tulisannya dulu: Rumah Sakit Barelang. Tiang pancang paku bumi juga sudah disiapkan di sekitar lokasi.
Sepertinya, lokasi itu disiapkan untuk pembangunan rumah sakit pengganti RSOB yang awalnya hanya dibangun sederhana di kawasan Sekupang pada dekade 80-an. Sama halnya dengan gedung perkantoran Otorita Batam yang awalnya di kawasan itu.
Namun, rencana pembangunan rumah sakit di lokasi itu, sepertinya tidak jadi dilanjutkan. Pengembangan RSOB yang sekarang berubah nama jadi RSBP, tetap dilakukan di lokasi awal.
SAMPAI akhir 90-an, Batam sudah mulai ramai. Rumah-rumah liar juga mulai menjamur hingga ke kawasan Batam Centre. Di lokasi itu mulai banyak berdiri ruli. Untuk memudahkan penyebutan lokasi tempat tinggal warga yang mendiami kawasan tersebut, mereka kemudian menamainya sebagai ‘Simpang Franki’.
Nama ‘Franki’ diambil dari nama paku bumi berjenis ‘Franki’ yang kebetulan ada di sekitar lokasi.
Paku bumi tersebut berjenis Franki pile, cukup familiar di dunia konstruksi bangunan. Namanya didasari dari awal mula produksi massal paku bumi untuk kepentingan konstruksi yang dilakukan oleh perusahaan berbasis di Belgia : Franki Pile, awal abad 20 silam.
Penamaan Lokasi oleh Pendatang, Miskin Identitas Lokal?
SEBAGAI wilayah yang baru mulai dikembangkan di awal dekade 70-an, pulau Batam yang awalnya didominasi hutan dan kebun-kebun di bagian tengah pulau, miskin nama lokasi yang memiliki akar historik lokal masa lalu. Imbasnya, warga yang kemudian datang sebagai efek pengembangan Batam masa kini, mulai memberi nama sendiri. Itu dilakukan untuk identifikasi lokasi tempat tinggal atau penandaan tempat beraktifitas mereka, agar memudahkan.
Kecuali di bagian pesisir yang memang telah didiami penduduk asli sejak dahulu. Seperti Sekupang, Tanjung Riau, Jodoh, Duriangkang, Batu Besar, Sagulung, Batuaji atau Nongsa. Batam relatif minim nama lokasi di bagian mainland atau di tengah pulaunya.
Selain Simpang Franki, nama ungkapan dari warga yang kemudian melekat sebagai nama lokasi dalam beberapa belas atau puluh tahun terakhir di Batam, misalnya Simpang Jam dan Simpang Kabil. Atau, berbagai nama turunan Bengkong yang jumlahnya hingga puluhan tempat. Banyak juga nama lokasi yang justeru diberikan oleh developer pengembang saat membangun sebuah wilayah atau lokasi di pulau ini dalam beberapa belas atau puluh tahun terakhir. Seperti misalnya kawasan Botania, Paragon, Ciptaland, Chikitsu, Taman Raya, Aviari dan sebagainya.
PENGEMBANGAN pulau Batam yang awalnya dilakukan oleh Pertamina dan kemudian Otorita Batam sebagai bandar yang dinamis seperti sekarang, awalnya lebih berfokus pada penyiapan infrastruktur.
Pemerintah memilih pulau ini, selain karena letak yang strategis, juga karena kemudahan mendesain; relatif sepi dengan bentang alam yang masih alami serta minim penduduk. Itu merupakan parameter yang memudahkan rancangan untuk membangun sebuah bandar industri terintegrasi, sistematis dan ramai, kelak di kemudian hari.
Bayangkan jika saat itu Batam telah memiliki kultur sosial yang lebih komplek dan dihuni lebih banyak penduduk saat awal dikembangkan?
Penamaan nama lokasi dan jalan, pada awalnya hanya dilakukan di lokasi-lokasi vital yang menjadi tempat aktifitas pengembangan.
Seperti nama jalan juga, sampai awal tahun 2000-an, masih sedikit ruas jalan di Batam yang bernama. Penamaan beberapa ruas jalan oleh Otorita Batam pada awalnya, dilakukan untuk kepentingan identifikasi alamat infrastruktur yang telah dibangun.
Saat ini, pemerintah kota Batam telah melakukan penamaan di sejumlah ruas jalan. Walaupun belum menyeluruh, ini merupakan sesuatu yang patut diapresiasi. Saat ini, relatif sudah banyak ruas jalan di Batam yang bernama dengan menyematkan nilai kearifan lokal. Seperti penyematan nama jalan dari nama tokoh lokal masa lalu yang memiliki nilai historik.
Saya berharap ke depannya, penamaan lokasi di Batam juga demikian. Semoga.
(*)
Penulis/ Videografer: Bintoro Suryo – Ordinary Man. Orang teknik, Mengelola Blog, suka sejarah & Videography.
Artikel ini diterbitkan sebelumnya di: bintorosuryo.com