DALAM aksi yang digelar ratusan buruh di Batam, selain menyampaikan tujuh poin tentang keberlangsungan hidup para pekerja, mereka juga menyuarakan solidaritas mereka untuk warga di pulau Rempang.
Seperti diketahui, warga yang mendiami pulau tersebut, sedang berada dalam kondisi tertekan dan terancam tergusur.
Mereka mendesak pemerintah untuk mewujudkan keadilan bagi masyarakat di Pulau Rempang. Para buruh meminta agar pemerintah melibatkan warga dalam pembangunan Rempang Eco-CIty, bukan justru menyingkirkannya.
“Jangan jadikan mereka sebagai objek, tapi jadikan mereka itu subjek,” kata Ketua Konsulat Cabang Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia, Yapet Ramon saat aksi di depan gedung Pemko Batam, Senin (25/9/2023).
Menurut Yapet, hak warga Rempang untuk tetap hidup di tanah leluhur mereka seharusnya dihormati.
“Itu dilindungi oleh konstitusi. Apabila mereka sudah lama tinggal di situ, secara konstitusi mereka dilindungi,” lanjutnya.
Yapet menegaskan, seharusnya proyek strategis nasional (PSN) Rempang Eco-City memberikan manfaat positif bagi masyarakat. Buruh menurutnya tak menolak pembangunan, hanya menyuarakan keadilan bagi masyarakat.
“Kita mendukung investasi, karena buruh dan pengusaha ini adalah teman kerja. Saling membutuhkan kedua-duanya. Ada investasi ada buruh,” katanya.
Sesuai deadline yang disampaikan sebelumnya, warga di pulau Rempang diminta untuk meninggalkan kediaman mereka pada 28 September 2023. Kepala BP Batam mengklarifikasi informasi tentang relokasi ini beberapa hari kemarin. Menurut Rudi, untuk tahap awal, hanya 3 kampung di pulau Rempang yang akan direlokasi warganya dari total 16 kampung tua yang ada di sana.
(dha/ahm)