Catatan Netizen
Suatu Hari Mengunjungi Saudara Muslim Uighur di Urumqi

(Biarlah Foto Yang Bicara)
“URUMQI itu luas sekali lho. Penduduknya hanya beberapa juta. Di Cina ada ratusan juta populasi suku Han”.
Sekian persen saja dari mereka yang bermigrasi memasuki wilayah Urumqi yang mayoritas dihuni suku Uighur muslim yang hanya beberapa juta itu.

Jadilah hingga kini mereka sang pemilik wilayah, menjadi minoritas. Dan namanya pun dirobah menjadi Xinjiang.
Masih berani melawan? Mau bilang pisang pun tak sempat lagi. Itulah yang dialami saudara kita di sana.
Entah awalnya Genosida wilayah, sambil ke tahap selanjutnya Genosida sebenarnya, hal ini acap awal dilakukan oleh negara negara yang menganeksasi suatu negara atau wilayah tertentu.

Contoh yang baru saja terjadi di sidang PBB dalam masalah Genosida Myanmar. Dalam persidangan, sekalipun tak pernah pemimpin yang pernah mendapat Nobel perdamaian itu menyebutkan Rohingya.
Mengapa ya?

Ingat juga soal Timor Timur yang berubah jadi Timor Leste setelah merdeka. Lihat jugalah negara negara yang mengganti nama tempat serelah dianeksasi dan terus bergolak di Thailand Selatan itu.
Di tempat kita pun demikian. Dari mulai Sabang sampai Merauke nama beberapa tempat pun terus berganti ganti.
Misalnya Irian Jaya ke Papua, Kota Raja ke Banda Aceh, Ujung pandang ke Makassar.
Biarlah. Entah apa yang terjadi, kita menunggu sikap dari Pemerintah kita tentang saudara kita di Urumqi sana.
Sudah puluhan negara menyatakan sikap. Indonesia sebagai negara terbesar Muslim di dunia masih anteng diam saja.
Urumqi, Wilayah Terjauh Dari Laut Ini Sedang Menderita
KAMI sengaja datang ke Urumqi. Konon hendak melihat langsung situasi kondisi di sana, sebisa yang kami dapat lihat saksikan dan rasakan.
Kabar tentang bagaimana perlakuan terhadap suku Uyghur yang dulunya mayoritas di sana.

Setelah mendapat Visa kunjungan membayar sekian juta rupiah dari Jakarta. WNI hingga hari ini Desember 2019 masih memerlukan Visa. meskipun ada beberapa tempat di Cina bebas visa bagi WNI dengan ketentuan dan syarat berlaku.
Padahal Pemerintah Indonesia telah membebaskan visa ke seluruh pelosok tanah air ini bagi warga negara Tirai Bambu itu.
Dari Kuala Lumpur, penerbangan kami ke Yunan Kunming, dilanjutkan ke Chengdu dengan naik kereta api. Setelah beberapa hari menginap di Kunming, konon dulu daerah ini bernama Hindia Belakang yang terletak antara India dan Cina.
Tempat kelahiran Laksamana Islam Cheng Ho yang tiada bandingnya hingga sekarang. Dinasti Cina Islam pernah berkuasa dan bertapak di sana, kini nasibnya tak jauh beda dengan saudaranya yang tinggal di Barat Cina Turkistan Timur sana.
Masyarakat Cina itu mayoritas dari Suku Han. Suku Han yang muslim terkadang disebut Suku Hui. Mereka mendominasi di Yunan, tetapi itu dulu.

Sekarang perkampungan mereka sudah nyaris hilang berganti dengan bangunan menjulang tinggi. Tak tahu, aku entah kemana saja mereka bertempiaran.
Begitu pulalah nasib kaum Uyghur ini. Kota Urumqi Turkistan Timur ini pun sudah berganti nama menjadi Xinjiang.
Kotanya pun sudah berkembang pesat dengan gedung gedung pencakar langit, menghimpit masjid yang ada seperi juga di beberapa kota di Indonesia. Sebut saja di Medan dan Jakarta.
Beberapa hari di Chengdu melihat kota ini, juga kota yang berkembang pesat, gedungnya bertingkatnya baru baru dan cantik. Ada beberapa masjid di sana.
Penjual makanan halal di pinggir jalan pun ada. Terutama di sekitaran masjid. Ada orang Islam Hui dan lagi banyak pula orang Uyghur penjualnya.
Berjualan di kaki lima lah yang dapat mereka lakukan. Cukup sulit untuk mendapatkan kerja formal di pemerintahan. Yang berkesempatan kerja formal harus mengikuti syarat dan ketentuan pula. Jangan harap bisa melaksanakan ibadah sebagaimana yang disyariatkan.
Setelah 50 jam dalam kereta api dari Chengdu, kami tiba di Stasiun kereta api Urumqi tengah hari. Nasi apit yang dibawa masih lagi boleh dimakan karena mungkin faktor cuaca yang sejuk.
Khasgar mengingatkan pada Khasmir. Dengan senang hati teman itu menjadi tempat bertanya sepanjang jalan yang kami lalui.
Dalam kereta itu ada seorang rekan asal Khasgar, saya kenal sepanjang 50 jam di perjalanan. Khasgar adalah satu daerah paling barat dari Urumqi, sudah mendekati perbatasan Cina Turkistan.

Urumqi sekitar 3000 kilometer dari tepi laut. Tercatat bahwa wilayah itu adalah yang paling jauh dari air asin, tetapi Subhanallah di situ banyak terdapat danau danau yang airnya asin menghasilkan garam.
Urumqi tanahnya subur. Ribuan hektar pohon anggur terlihat di sepanjang perjalanan Pengairan di Turpan, satu dari keajaiban di dunia setelah tembok Cina.

Kanal bawah tanahnya ribuan meter kedalamannya memanjang dari kaki gunung Himalaya.
Sepertinya belum ada di dunia ini yang punya persamaan dengan kanal bawah tanah yang ada di Urumqi sana. Belum lagi tambang batu baranya, salah satu penghasil terbesar di dunia.
Angin gurun pasir yang dulu pernah dilalui Sahabat Saad bin Aby Waqas itu jutaan hektar luasnya menghasilkan listrik dari jutaan tiang kincir angin raksasa. Demikian pula Bendungan raksana paling besar di dunia ada di sana.

Itu semua menjadi sumber energi bagi Cina. Entah berapa banyak pula sepanjang jalan itu lempengan solar cell penangkap panas matahari yang diubah menjadi energi listrik. Semua itu dimanfaatkan mereka.
Belum lagi Minyak dan Gas Bumi. Akh, tak terkira kayanya, Uyghur dapat apa?
Air, Angin, Panas Matahari, Batu Bara, semua ada. Belum lagi wisata alamnya. Semua itu dinikmati Cina. Bukankah Ekonomi Cina sekarang nomor satu di Dunia?

Jadi apapun yang akan dilaksanakan mereka, tidak akan melepaskan wilayah itu merdeka atau mau mengatur dirinya sendiri.
“Aku kasih otonomi tapi harus ada syaratnya”. itu menurutku lho….
Akupun terkagum kagum melihat suku Uyghur itu tinggal di Gua Batu. Mahasuci Engkau ya, Allah.
Seperti ditulis oleh Netizen Batam Imbalo Iman Sakti di akun facebook miliknya, Imbalo Batam