PERISTIWA Supersemar sudah 52 tahun berlalu. Ini merupakan momen ketika Presiden Soeharto menerima mandat Surat Perintah dari pendahulunya, Presiden Soekarno.
Supersemar adalah surat perintah 11 maret yang ditandatangani oleh Presiden pertama Indonesia Soekarno.
Surat perintah ini menginstruksikan Soeharto, sebagai Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengatasi situasi keamanan yang sangat buruk pada saat itu.
Beberapa bulan sebelumnya, pecah terjadi peristiwa yang kemudian dikenal sebagai Gerakan 30 September/ Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI).
Supersemar yang umum diketahui masyarakat adalah versi yang dikeluarkan dari Markas Besar TNI Angkatan Darat (AD) yang juga tercatat dalam buku-buku sejarah.
Sebagian kalangan sejarawan Indonesia mengatakan bahwa terdapat berbagai versi Supersemar sehingga masih ditelusuri naskah supersemar yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno di Istana Bogor.
Awalnya keluarnya supersemar ketika pada tanggal 11 Maret 1966, Soekarno mengadakan sidang pelantikan Kabinet Dwikora yang disempurnakan yang dikenal dengan nama “kabinet 100 menteri“.
Pada saat sidang dimulai, Brigadir Jendral Sabur sebagai panglima pasukan pengawal presiden’ Tjakrabirawa melaporkan bahwa banyak “pasukan liar” atau “pasukan tak dikenal” yang belakangan diketahui adalah Pasukan Kostrad dibawah pimpinan Mayor Jendral Kemal Idris yang bertugas menahan orang-orang yang berada di Kabinet yang diduga terlibat G-30-S di antaranya adalah Soebandrio Wakil Perdana Menteri I .
Situasi tersebut dilaporkan kepada Mayor Jendral Soeharto yang pada saat memegang tanggungjawab sebagai Panglima Angkatan Darat menggantikan Letnan Jendral Ahmad Yani yang gugur akibat peristiwa G-30-S/PKI itu.
Dalam buku-buku sejarah disebutkan, Mayor Jendral (Mayjend) Soeharto saat itu tidak menghadiri sidang kabinet karena sakit.
Mayor Jendral Soeharto mengutus tiga orang perwira tinggi (AD) ke Bogor untuk menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor.
Mereka adalah Brigadir Jendral M. Jusuf, Brigadir Jendral Amir machmud dan Brigadir Jendral Basuki Rahmat.
Setibanya di Istana Bogor, pada malam hari, terjadi pembicaraan antara tiga perwira tinggi AD dengan Presiden Soekarno mengenai situasi yang terjadi dan ketiga perwira tersebut menyatakan bahwa Soeharto mampu mengendalikan situasi dan memulihkan keamanan bila diberikan surat tugas atau surat kuasa yang memberikan kewenangan kepadanya untuk mengambil tindakan.
Menurut Jendral (purn) M Jusuf, pembicaraan dengan Presiden Soekarno hingga pukul 20.30 malam.
Presiden Soekarno setuju dan dibuatlah surat perintah yang dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret yang populer dikenal sebagai Supersemar. Surat perintah ditujukan kepada Mayjend Soeharto selaku panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan yang perlu untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.
Bertahun-tahun kemudian, praktis hampir tidak ada yang mempermasalahkan kebenaran sejarah yang ditulis di buku-buku sejarah nasional seputar Supersemar, seiring membaiknya kondisi negara Indonesia.
Tahun 1994, dalam sebuah kegiatan tatap muka dengan para perwira TNI AU di lokasi peternakan Tapos, pak Harto sempat bercerita tentang Supersemar.
https://youtu.be/QsDmnsGdNxU
Setelah Pak Harto Mundur
SEBELUM Presiden Soeharto mundur pada 1998, Peristiwa Supersemar dianggap sebuah Sejarah yang benar dan tidak menimbulkan kontroversi yang besar pada saat itu.
Namun setelahnya, banyak pihak yang mencoba mengungkap dan mencari tahu terkait kebenaran seputar pemberian mandat Supersemar. Cerita Sejarah baru, kemudian muncul dengan versi yang berbeda.
Mulai ada kalangan yang menghujat pak Harto dengan surat perintah yang dipegangnya.
Terkait dengan Fakta Sejarah dan kebenaran peristiwa Supersemar, mungkin akan sangat sulit untuk mengungkap kebenarannya karena para tokoh sentral dari peristiwa itu sudah tidak ada.
Namun begitu, ada keterangan pak Harto tentang Supersemar yang disampaikannya saat menjabat sebagai presiden RI.
https://youtu.be/WE_Z-T4xY1g
”Bagi hukum tata negara, masalah Supersemar dalam sejarah sudah tidak bisa dipersoalkan lagi. Kita harus move on untuk berdamai dengan sejarah. Kita harus bisa menerima perjalanan sejarah bangsa sebagai fakta,” kata Mahfud MD dalam Diskusi Nasional tentang Implikasi Supersemar Bagi Peradaban Indonesia di Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, 23 Maret 2016, dua tahun lalu.
Bisa jadi yang diucapkan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu benar.
Mau sampai kapan bangsa ini meributkan Supersemar?
Surat sakti yang menandai pergantian rezim Sukarno ke Orde Baru itu memang mandraguna lantaran sampai saat ini belum terungkap fakta kebenarannya.
Semakin sering berusaha dikuak, persoalan Surat Perintah 11 Maret 1966 itu justru kian kompleks. Dari dua versi yang semula diperdebatkan, Supersemar sekarang sudah “beranak” lagi menjadi tiga versi, atau empat, bahkan lima?
Ragam Versi Surat Sakti
INTI dari Supersemar adalah surat perintah dari Presiden Sukarno yang ditandatangani tanggal 11 Maret 1966.
Isinya instruksi presiden Soekarno kepada Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Letnan Jenderal Soeharto untuk mengambil tindakan yang dianggap perlu dalam pengamanan negara yang memang sedang rentan saat itu, salah satunya karena dampak peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Fakta penerapannya kemudian berujung pada lahirnya pemerintahan yang baru, menggantikan pemerintahan orde lama presiden Soekarno yang sudah berkuasa sejak kemerdekaan Indonesia tahun 1945.
Supersemar jadi sinyal awal lahirnya Orde Baru yang lantas berkuasa hingga lebih dari tiga dekade lamanya, dan itulah kenyataan sejarah yang telah terjadi.
Yang menjadi persoalan, Supersemar tidak hanya ada satu versi saja sehingga apa yang sebenarnya diperintahkan Presiden Sukarno kepada Letjen Soeharto saat itu belum terkuak dengan pasti: apakah sekadar menjaga keamanan negara termasuk presiden dan keluarganya, atau pengalihan kekuasaan? Penafsiran dan pengaruh penguasa saat itu juga turut menentukan jalannya sejarah di negeri ini.
Hingga 2013, setidaknya ada 4 versi Supersemar yang disimpan oleh pihak Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).
Keempat versi itu berasal dari tiga instansi, yakni 1 versi dari Pusat Penerangan (Puspen) TNI AD, 1 versi dari Akademi Kebangsaan, dan 2 versi dari Sekretariat Negara (Setneg). Yang menjadi pegangan selama Orde Baru adalah versi pertama dari Puspen TNI AD.
Lantas, manakah Supersemar yang asli dari keempat versi itu? Ternyata tidak ada alias palsu semua. Hal tersebut dinyatakan langsung oleh mantan Kepala ANRI, M. Asichin, saat menjadi pembicara dalam Workshop Pengujian Autentikasi Arsip di Jakarta pada 21 Mei 2013.
“Dari bantuan pemeriksaan laboratorium forensik (Labfor) Mabes Polri, semuanya dinyatakan belum ada yang orisinal, belum ada yang autentik. Jadi, dari segi historis, perlu dicari terus di mana Supersemar yang asli itu berada,” ungkap M. Asichin kala itu seperti dikutip www.menpan.go.id.
(*)