ADALAH Yulia Muad bercerita kalau masih ada surau di Singapura seperti yang ada di kampung Lorong Buangkok ini. Kampung itu bertahan di tengah gedung pencakar langit, menjadi heritage, dipertahankan sebagai peninggalan budaya, bangsa dan warisan. Kampung terakhir dan satu satunya yang masih tersisa di Singapura.
Oleh : Imbalo Iman Sakti
Saya berkesempatan mengunjungi surau Al-Firdaus, surau ini terletak di 23F Lorong Buangkok Singapore 547557.
Kampung Lorong Buangkok boleh dikata yang terakhir dan satu satunya kampung yang masih tersisa di Singapura. Sepertinya hanya lokasi sekitaran surau itu saja yang tertinggal dan memang sengaja dibiarkan, apa adanya sejak 60 tahun yang lalu, jauh sebelum Singapura Merdeka.
Menuju ke sana dari stasiun MRT Bayfront di Marina, BJ turun di stasiun MRT Serangoon, bertemu rekan Yulia Muad, aktifis sosial mancanegara, kemudian perjalanan dilanjutkan dengan bus 103, turun di jalan klutut di halte ke-20, Yui Chu Kang, nyeberang jalan persis di samping pompa bensin, ada tangga besi, turun ke bawah, berbelok ke kanan melewati jembatan anak sungai kecil, perkampungan itu sudah kelihatan.

Sementra akses lainnya ke kampung itu masih dengan MRT turun di stasiun MRT Ang Mo Kio, stasiun terdekat kekampung yang hanya di huni 17 keluarga muslim itu, harus naik bus lagi, kalau jalan kaki lumayan jauh.
Jalan masuk ke kampung itu tidak beraspal, tanah bercampur kerikil, kiri kanannya semak rumput liar, ada papan nama tanda surau yang terpacak di simpang jalan masuk tadi, itu pun hanya dengan tulisan tangan seadanya di atas selembar papan tanpa cat.
Kami sampai, jamaah shalat magrib baru saja bersurai, pak Subung lelaki tua pengurus surau yang sudah enam puluh tahun bermastautin di kampung itu, bertemu kami di tengah jalan.
Kami laksanakan shalat magrib di surau kecil itu. Bangunan itu dulu agaknya bukan dibuat untuk surau, terlihat seperti bangunan rumah tinggal, ada teras kecil di depan pintu masuk, tempat wuduk di bekas dapur dibongkar.
Di dindingnya, di sampingnya ada WC, ruang shalat bekas ruang tengah dan kamar, ukuran 4 x 5 meter. Mihrab tempat iman ditambah ke depan ukuran 1 x 1,5 meter, diberi atap yang tidak menyatu ke atap induk rumah.
Tinggi dinding bangunan itu tak sampai 3 meter, atapnya berbentuk limas, di depan samping atas ada besi bulat yang ujungnya terpasang lambang bulan bintang. Itulah surau Al-Firdaus.
Dan rumah-rumah di sekitar surau itu pun bentuknya hampir sama. Rumah pak Subung yang masih fasih berbahasa Bawean itu persis di samping kiri surau.
“Saya sudah 60 tahun tinggal di sini, sejak usia sekolah ” ujar pak Subung, Ia lahir di pulau kecil di sekitar Singapura, kedua orang tuanya berasal dari Bawean.
“Saya belum pernah ke Bawean” tambahnya lagi, sambil terbahak dan berdoa, semoga ada rezeki bisa kesana harapnya.
Pemerintah Singapura memberi perlakuan khusus pada warganya suku Bawean ini, warga Muslim lain asal Indonesia, masuk kelompok melayu, sementara asal Bawean, tetap tercantum Bawean dalam kartu identitasnya.
Jumaatan warga lorong Buangkok ke masjid Istiqomah di seputaran Ang Mo Kio, “Tak cokkop oreng na, comma dua pollo“ ujar pak Subung lagi, terkadang perbualan kami diselingi bahasa Boyan.
Diberikannya kepadaku jadual giliran imam/bilal solat terawih 1435H/2014M sampai akhir ramadhan, shalat tarawih di suarau itu 8 rakaat ditambah 3 witir.
Barangkali ada yang mau ke sana shalat tarawih bersama jamaah surau Al-Firdaus?
(*)
Seperti ditulis oleh Imbalo Iman Sakti di blog pribadinya.