SUARA penolakan relokasi menggema di Pulau Rempang pada malam takbiran Idul Adha 1446 H. beberapa hari kemarin. Ratusan warga Melayu asli Rempang berkumpul di Kampung Sembulang, Kecamatan Galang, untuk menyuarakan penolakan mereka terhadap proyek Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City.
MALAM itu, bukan hanya gema takbir yang terdengar, namun juga tekad kuat masyarakat untuk mempertahankan tanah mereka. Warga berarak membawa obor, tradisi tahunan dalam pawai takbiran, namun kali ini dengan formasi yang berbeda. Cahaya obor mereka susun menjadi kalimat “Tolak Relokasi”, menerangi tekad mereka yang tak tergoyahkan.
Suara takbir menggema, diiringi oleh tabuhan beduk, minggu (16/6/2024) kemarin . Namun di balik lantunan suci itu, terpancar rasa pilu dan amarah. Momen sakral Idul Adha yang biasanya penuh sukacita, kali ini terasa kelam bagi warga Rempang.
Obor-obor dipegang teguh, bukan hanya untuk menerangi malam, tapi juga untuk menerangi tekad mereka. Cahaya obor disusun rapi membentuk kalimat “Tolak Relokasi”, sebuah pesan yang tegas kepada pemerintah.
Suara Ishak, pria 57 tahun, warga Rempang, menggetarkan hati para hadirin. “Momen Idul Adha ini, kami tetap mengadakan pawai obor, dan berdoa agar niat kami menolak relokasi didengar oleh malaikat,” tuturnya.
Sementara wajah Siti, seorang wanita Rempang, dipenuhi dengan air mata. “Tanah ini adalah rumah, kita akan bertahan, kita akan menjaga kampung yang telah diwariskan oleh para leluhur,” seru Wadi, warga Rempang lainnya.
Suara penolakan terhadap relokasi warga asli Rempang untuk proyek Ecocity, masih terus terjadi hingga sekarang. Sebelum aksi penolakan saat malam takbir Idul Adha kali ini, pada pertengahan Mei 2024 lalu, aksi penolakan serupa juga telah dilakukan di tengah laut. Spanduk penolakan dibentangkan, menunjukkan tekad mereka yang tak tergoyahkan.
Sejauh ini, baru 112 kepala keluarga yang telah menerima tawaran relokasi. Sementara yang kukuh menolak masih banyak. Bagi mereka, tanah bukan hanya sebatas tempat tinggal, tapi juga warisan budaya dan identitas. Ada sekitar 900 kepala keluarga disana yang terancam terdampak pembangunan tahap pertama PSN Rempang Eco City.
Pada malam takbiran Idul Adha Minggu (16/6/2024) kemarin, sumpah penolakan pun digemakan dengan lantang, mengikrarkan tekad untuk mempertahankan tanah warisan leluhur. “Tanah ini rumah kita, kita akan bertahan, kita jaga kampung ini,” seru Wadi, salah satu warga Rempang lainnya.
Di tengah keceriaan Idul Adha, rasa pilu menyelimuti hati warga. “Tahun depan, apakah kita masih bisa merayakan Idul Adha di sini?” tanya Siti, seorang warga Rempang dengan mata berkaca-kaca.
Upaya BP Batam
DI sisi lain, Badan Pengusahaan (BP) Batam terus berupaya meyakinkan warga untuk menerima relokasi ke Kampung Tanjung Banon. Janji demi janji dilontarkan, namun belum mampu meredakan kekhawatiran warga.
BP Batam berkomitmen untuk menyelesaikan proyek strategis ini. “Kami butuh dukungan semua pihak agar realisasi investasi berjalan lancar,” ujar Ariastuty Sirait, Kepala Biro Humas Promosi dan Protokol BP Batam beberapa waktu lalu.
Beberapa tawaran seperti komitmen terhadap relokasi yang layak dan manusiawi, penyediaan hunian layak di Kampung Tanjung Banon serta upaya dialog dan negosiasi sudah disampaikan pihak BP Batam.
Namun, masih ada perbedaan cara pandang dalam melihat pulau Rempang ke depannya, antara warga yang mendiami dan pihak pemerintah.
(ham/dha)