Nama : Tengku Sulung
Masa hidup : 1799 – 1858
Era : Kesultanan Riau Lingga
Tengku Sulung lahir di Lingga, Kepulauan Riau, pada sekitar akhir abad 18 atau awal abad ke-19. Ayahnya bernama Tok Luhus, seorang bajak laut yang menikahi Raja Maimunah dari Negeri Siak.
Sejak kecil, ia dididik oleh keluarganya dengan ajaran Islam yang kuat. Pemahamannya tentang Islam pada akhirnya memengaruhi pandangannya terhadap Belanda. Ia diketahui sangat membenci Belanda dan tidak bersedia untuk bekerja sama dalam bentuk apapun.
Saat remaja, ia sempat mengikuti jejak ayahnya menjadi bajak laut hingga berlayar mencapai Kalimantan. Setelah meninggalkan masa kelamnya, Tengku Sulung menetap di Riau, tepatnya di sekitar Sungai Reteh.
Menjadi Panglima Reteh
Pada 1841, kepemimpinan Sultan Muhammad Syah dari Kesultanan Riau-Lingga berakhir. Ia diganti puteranya, Sultan Mahmud Muzaffar Syah. Selama Sultan Mahmud Muzaffar Syah memimpin, Belanda terus mendesak agar kerajaannya mau menandatangani suatu perjanjian.
Namun, Sultan Muzaffar Syah tidak menghiraukan, bahkan telah mengacaukan prajurit Belanda di lautan dan kerap bepergian ke Singapura dan Pahang secara sembunyi-sembunyi. Karena perbuatannya itu, pemerintah kolonial menganggap bahwa Sultan Muzaffar Syah kurang menghormati perwakilan Belanda di Tanjung Pinang.
Pada 23 September 1857, Sultan Muzaffar Syah dilengserkan dari jabatannya oleh Belanda. Langkah yang dilakukan Belanda itu lantas memicu pemberontakan dari rakyat Riau, salah satunya dipimpin oleh Panglima Besar Tengku Sulung.
Tengku Sulung yang kemudian diangkat oleh Sultan sebagai panglima Reteh, melakukan berbagai aksi yang mengganggu pelayaran dan perdagangan Belanda.
Ia memusatkan perlawanan pada Belanda di daerah yang saat ini masuk dalam wilayah Kecamatan Reteh dan Sungai Batang, Riau.
Saat perlawanan, ia sempat mengirim utusan ke Singapura untuk menemui Sultan Muzaffar Syah. Maksudnya adalah meminta dukungan sultan, serta membeli perlengkapan senjata. Setelah persenjataan tersedia, Tengku Sulung mendirikan benteng-benteng pertahanan untuk menampung 800 pasukan yang berhasil dikumpulkannya.
Melihat pergerakan Tengku Sulung, Belanda mengirim sejumlah kapal perang ke Reteh pada 9 Oktober 1858.
Pasukan Belanda yang diperintah oleh Letnan AAJ Kroef, memblokade semua aliran sungai yang mengalir di wilayah Reteh. Aksi blokade membuat pasukan Tengku Sulung terkepung.
Pada 16 Oktober 1858, pasukan Reteh berusaha menyerang kapal-kapal Belanda yang ada di Kuala Patah Parang. Tapi tidak berlangsung lama karena pasukan Belanda jauh lebih kuat.
Pada 4 November 1858, pasukan Belanda melakukan serangan penuh ke benteng pertahanan Reteh, setelah sehari setelahnya, Residen Riau mengirim ultimatum kepada Tengku Sulung untuk menyerahkan diri.
Puncak pertempuran terjadi pada 7 November 1858, di mana Belanda melakukan serangan besar-besaran ke wilayah Tengku Sulung. Pasukan Reteh kewalahan. Pada akhirnya, Tengku Sulung meninggal di medan pertempuran setelah tertembak tepat di tengah lehernya.
(ham)
Sumber : Perpusnas, buku "Sejarah perjuangan Panglima Besar Reteh Tengku Sulung melawan Belanda tahun 1858", Kompas,