SETELAH Agresi Militer Belanda I pada 21 Juli 1947, kekuatan Republik di daerah sekitar Baturaja berantakan. Komandan resimen Mayor Rasjad kemudian memerintahkan seorang Pembantu Letnan (dulu disebut Letnan Muda) mewakilinya dengan mandat penuh untuk bertindak demi pertahanan daerah Ogan Tengah.
Pembantu Letnan yang baru berumur 20 tahun itu berangkat ke Ogan Tengah bersama Mayor dr. Moeghni dengan sebuah jip. Sepanjang jalan mereka melihat kampung-kampung di Baturaja sepi karena penduduk mengungsi. Para Republiken dan rakyat sipil panik di sana.
“Kota Baturaja kosong melompong, tak ada tentara, tak ada polisi, tak ada pamong praja, tak ada laskar. Semuanya meninggalkan kota,” tulis Letnan Satu Saudin Sagiman dalam Majalah Angkatan Darat Nomor 2–3, Februari–Maret 1957. Parahnya lagi tak ada rintangan-rintangan. Jika pihak Belanda tahu sangat merugikan Republik. Lebih lanjut, Saudin menyebut, “kalau sekiranya Belanda mengetahui hal ini, tentu dengan jalan berlenggang saja mereka dapat mencapai daerah ini.”
Pembantu Letnan akhirnya bertemu dengan beberapa perwira. Mereka prihatin dengan kekosongan Baturaja. Malam 24 Juli 1947, beberapa perwira seperti Kapten Musannif Ryachudu (ayah mantan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryachudu), Kapten Malik, Kapten Anwar Arsjad, dan Letnan Dua Marah Ali pun rapat lalu sepakat bertindak untuk meyakinkan moral rakyat.
“Desas-desus yang mengatakan bahwa pasukan bantuan dari Aceh telah mendarat di Sumatra Selatan, harus dijalankan seolah-olah benar terjadi. Diputuskan dalam rapat rahasia itu bahwa pasukan dari Aceh telah sampai di bawah pimpinan seorang Letnan Kolonel yang otomatis mengambil alih kekuasaan pimpinan komando di daerah itu untuk pertahanan rakyat total,” kata Saudin. Begitulah rencana sandiwara para perwira tadi.
Rapat juga memutuskan orang yang berperan sebagai Letnan Kolonel dari Aceh itu adalah Pembantu Letnan yang dikirim Mayor Rasjad. Pembantu Letnan menyanggupi. Kapten-kapten yang mengangkatnya akan melaksanakan perintahnya sebagai Letnan Kolonel. Tanda pangkat Pembantu Letnan yang semula tiga strip di pundak diubah menjadi empat strip dengan dua bintang menjadi Letnan Kolonel.
“Keesokan harinya Letnan Kolonel kita ini lalu memerintahkan komandan resimen Baturaja, kepala polisi Komisaris Amin, dan Bupati Said untuk berkumpul. Dalam pertemuan itu ia mulai berbicara, berbuat, dan bertindak sebagai seorang Letnan Kolonel,” kata Saudin. Di situ Pembantu Letnan yang masih muda dan sedang jadi Letnan Kolonel mencerca pengosongan Baturaja.
Tak lupa Letnan Kolonel juga memerintahkan untuk menyusun pertahanan rakyat total di Baturaja. Dia dan kapten-kapten yang mendukungnya pergi ke kampung-kampung untuk membangun komando pertahanan teritorial. Setelahnya, jalanan pun dipenuhi kayu-kayu dan jembatan dirusak untuk menghalangi gerak maju tentara Belanda yang akan memasuki Baturaja. Penjagaan yang melibatkan rakyat dan tentara akhirnya tersedia di daerah itu.
Rupanya ada orang tak suka dengan tindakan Letnan Kolonel yang tiba-tiba memberi perintah mengejutkan. Letnan Kolonel itu dianggap telah menggoncang komando yang ada. Tak semua perwira suka dengan perintahnya. Bahkan ada yang berniat menculik Letnan Kolonel. Tentu saja Kapten Ryachudu menghalanginya.
Setelah sepuluh hari menjadi Letnan Kolonel, Pembantu Letnan itu melaporkan dan mempertanggungjawabkan segala tindakannya kepada Mayor Rasjad. Setelah melapor, Pembantu Letnan bernama Sjarnoebi Said itu pun melepaskan pangkat Letnan Kolonel.
Sjarnoebi Said lahir di Tanjung Enim, Sumatra Selatan pada 18 Januari 1927. Dia sudah jadi tentara sejak remaja pada 1945. Lebih dari dua puluh tahun pertama dalam hidupnya dihabiskan dalam ketentaraan. Dia menyandang pangkat Pembantu Letnan sekitar sebelas tahun. Pada 1957, pangkatnya baru Letnan Dua. Dia bukan satu-satunya pejuang kemerdekaan dalam keluarganya. Kakaknya, Abi Hasan Said juga ikut serta dalam perjuangan di Sumatra Selatan.
Buku Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1983–1984 menyebut Sjarnoebi Said pernah menjadi staf pribadi Menko Hankam Jenderal TNI Abdul Haris Nasution. Dia mengaku pernah dikirim Letnan Jenderal TNI Achmad Yani ke Malaysia untuk merampungkan Konfrontasi Malaysia.
Pada 1967, Sjarnoebi diajak Brigadir Jenderal TNI Ibnu Sutowo untuk mengelola PN Permina, perusahaan minyak negara. Sutowo, yang waktu muda tinggal di Sumatra Selatan, menjabat Direktur Utara Permina pada 1960-an. Mulanya Sjarnoebi agak ragu.
“Saya ini hanya orang intel, Pak, tidak mengerti soal minyak. Apa kerja saya di Permina?” tanya Sjarnoebi. Sutowo menjawab, “Kamu adalah kamu. Kamu adalah perwira penyelidikku. Itu saja.”
Di era 1970-an, Sjarnoebi terjun ke bisnis otomotif setelah bertemu perwakilan Mitsubishi dari Jepang. Dia kemudian mendirikan PT Krama Yudha Tiga Berlian Motors sebagai distributor resmi dan ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merek) Mitsubishi di Indonesia.
Krama Yudha diambil dari gelar ayahnya, Said Krama Yudha, seorang petani dan agen mesin jahit Singer. Jadi, berdagang bukan hal baru bagi Sjarnoebi. Sejak kecil, dia telah menjual koran dan pisang.
Selain sebagai pengusaha, Sjarnoebi juga tokoh sepakbola. Sejak kecil, dia suka sepakbola. Dia mengaku pernah dikejar-kejar polisi Belanda karena menonton sepakbola dari atas pohon.
Sjarnoebi berperan dalam mempersiapkan Liga Sepak Bola Utama (Galatama), liga sepakbola semi profesional pertama. Toni Prasetyo dalam Antara Bisnis dan Sepak Bola di Solo: Kiprah Klub Arseto Solo 1977–1998menyebut Sjarnoebi diangkat menjadi ketua bidang liga dalam Sidang Paripurna PSSI 1978. Dia bekerja cepat dengan mengadakan pertemuan-pertemuan dengan calon anggota Galatama. Pertandingan perdana Galatama direncanakan pada minggu kedua Desember 1978, namun karena banyak kendala baru bisa dimulai pada 17 Maret 1979.
Sjarnoebi pernah jadi Ketua Umum PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia) meski hanya sebentar dari 1982 hingga 1983. Dia mengundurkan diri setelah tim nasional gagal dalam SEA Games XII 1983 di Singapura. Padahal masa jabatannya belum berakhir.
Ketika menjabat Ketua Umum PSSI, Sjarnoebi melarang pemain asing dalam Galatama. Sebelumnya, sampai musim kompetisi 1982, Galatama memperbolehkan pemain asing. Salah satunya yang terkenal adalah Fandi Ahmad dari Singapura. Dia turut mengantarkan NIAC Mitra juara Galatama. Dia tak bisa lagi bermain setelah adanya larangan pemain asing.
Dalam wawancara dengan majalah Tempo, 4 Januari 1986, Sjarnoebi mengungkapkan ketidaksukaannya terhadap pemain asing. Dia tidak sependapat bahwa mendatangkan pemain asing akan menggairahkan kembali masyarakat untuk menonton Galatama setelah kecewa akibat kasus suap yang tidak diselesaikan tuntas oleh pengurus PSSI.
“Saya tidak sependapat. Kecuali kalau Galatama bisa sepenuhnya lepas dari PSSI dan jadi profesional murni. Itu pun masih harus ditilik dengan teliti manfaatnya. Sebab, saya terus terang saja, memang tak begitu suka memakai pemain asing,” kata Sjarnoebi.
Kendati telah mengundurkan diri sebagai Ketua Umum PSSI, Sjarnoebi tetap mengurusi sepakbola dengan mendirikan klub Krama Yudha Tiga Berlian yang berkompetisi dalam Galatama.
Sjarnoebi menyampaikan kepada Tempo alasannya terjun lagi mengelola sepakbola, “Ada dua alasan saya kira. Pertama, saya merasa terpanggil oleh situasi waktu itu: Yanita Utama mau dibubarkan, padahal di situ berkumpul sejumlah pemain nasional. Suasana ini tentu memukul pengurus PSSI dan masyarakat penggemar sepakbola. Karena itu, saya memberanikan diri untuk ikut memecahkan persoalan.”
“Alasan kedua, bisnis. Saya mau jadikan Krama Yudha Galatama sebagai alat promosi yang membawa bendera perusahaan kami,” kata Sjarnoebi.
Selama berlaga dalam Galatama, Krama Yudha Tiga Berlian berhasil dua kali menjadi juara (1985 dan 1986/1987) dan satu kali peringkat kedua (1990), tiga kali Piala Liga, serta peringkat ketiga Piala Antarklub Asia (1986). Galatama berakhir pada 1994 kemudian digabung dengan Perserikatan menjadi Liga Indonesia.
Sjarnoebi Said meninggal pada 13 April 2001. Untuk mengenang kiprahnya dalam sepakbola, pada 2005 diselenggarakan Piala Sjarnoebi Said di Palembang. Dalam turnamen ini, PSM Makassar keluar sebagai juara.
(*)
Sumber: historia.id