PENGADILAN Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada Kamis (11/7) menjatuhkan hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp300 juta kepada mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, karena dinilai terbukti melakukan pemerasan kepada bawahan di kementeriannya sepanjang 2020-2023.
Syahrul, 69, terbukti telah meminta uang yang disertai ancaman pencopotan terhadap para pejabat Kementerian Pertanian serta meminta potongan 20 persen dari anggaran setiap direktorat dan badan di kementerian tersebut untuk keperluan pribadi, keluarga, dan kolega.
Ketua Majelis Hakim Rianto Adam Pontoh mengatakan, Syahrul meminta uang lewat dua bawahan kepercayaannya yakni mantan Sekretaris Jenderal Kementan Kasdi Subagyono dan Direktur Alat dan Mesin Pertanian Kementerian Pertanian Muhammad Hatta.
“Peran terdakwa Syahrul Yasin Limpo adalah sebagai pelaku, sementara terdakwa Muhammad Hatta dan Kasdi Subagyono adalah pelaku turut serta, yang berperan meneruskan permintaan terdakwa Syahrul kepada pejabat eselon satu di lingkungan kementerian pertanian,” kata Rianto dalam pertimbangan putusan.
Oleh karena itu, kata Rianto, “Terdakwa Syahrul Yasin Limpo telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut.”
Majelis hakim membacakan putusan Syahrul dan kedua anak buahnya itu secara bergiliran dalam persidangan sama. Kasdi dan Hatta yang mendengarkan pembacaan vonis setelah Syahrul, masing-masing dihukum empat tahun penjara dan denda Rp200 juta.
Menurut hakim, selama sekitar tiga tahun itu Syahrul telah menerima uang senilai total Rp44,2 miliar dan $30 ribu (setara Rp486 juta).
Hanya saja, sidang menemukan bahwa hanya Rp14,1 miliar dan $30 ribu yang telah digunakan Syahrul itu untuk kepentingan pribadi serta keluarga, seperti untuk membeli mobil dan perhiasan, perawatan kecantikan dan pesta keluarga, atau memberikan perhiasan kepada orang lain atas nama personal.
Walhasil, majelis hakim dalam putusan hanya mewajibkan Syahrul untuk membayar ganti rugi sebesar uang yang telah digunakan untuk kepentingan pribadi dan keluarga, yakni Rp14,1 miliar dan $30 ribu.
Kedua anak buah Syahrul yakni Kasdi dan Hatta tidak dihukum membayar ganti rugi lantaran mereka tidak menerima keuntungan materi dari praktik tersebut dan menyesali perbuatan mereka, kata hakim Rianto.
Vonis ini lebih ringan ketimbang tuntutan jaksa yang menginginkan Syahrul dihukum 12 tahun penjara dan denda Rp500 juta yang jika tidak dibayarkan akan diganti enam bulan kurangan. Ia juga dituntut membayar ganti rugi sesuai jumlah uang yang diterima yakni Rp44,2 miliar dan $30 ribu.
Terkait vonis yang lebih ringan ketimbang tuntutan jaksa itu, hakim Rianto berpendapat Syahrul dan keluarga telah mengembalikan sebagian uang hasil korupsi serta pernah banyak berjasa bagi negara, antara lain, berkontribusi positif dalam penanganan krisis pangan nasional saat pandemi COVID-19.
Meminta maaf
Syahrul yang mengenakan batik cokelat lengan panjang mendengarkan pembacaan vonis bersama Kasdi dan Hatta tak berkomentar sepanjang majelis hakim membacakan vonis, namun sesekali tampak menggelengkan kepala tatkala hakim menjabarkan tindak pidana yang telah dilakukannya.
Terkait putusan ini, baik Syahrul maupun kedua anak buahnya belum menentukan sikap, apakah menerima vonis atau mengajukan banding.
“Kami pikir-pikir terlebih dahulu,” ujar kuasa hukum Syahrul, Djamaludidin Koedoeboen di persidangan.
Sementara Syahrul, seusai persidangan memohon maaf kepada keluarga, masyarakat, dan sejawatnya di Partai NasDem.
“Pak Surya Paloh (Ketua Umum NasDem) selalu konsisten dengan partai untuk mengatakan bela negara dan bela bangsa. Kalau saya harus terpenjara atas nama itu semua, saya minta maaf pada seluruh jajaran,” ujar Syahrul.
Syahrul mulai disidang terkait perkara pemerasan pada Februari lalu.
Dalam pembacaan dakwaan kala itu, jaksa mengatakan Syahrul mengangkat sejumlah orang kepercayaan di kementerian pertanian untuk memuluskan permintaan uang kepada para bawahannya. Ia pun disebut jaksa mengancam para bawahan yang mbalelo, menolak permintaan uang, dengan mengancam akan dipindahtugaskan atau di-non job-kan.
Dalam nota pembelaan yang dibacakan di persidangan 5 Juli, Syahrul mengklaim telah dihakimi, bahkan perkara ini telah memberi dampak buruk bagi keluarga dan kenalannya. Tangis Syahrul juga sempat pecah kala membacakan pembelaan tersebut, seraya mengatakan KPK telah menggiring opini masyarakat untuk mengolok-olok dan menghina dia serta keluarganya.
“Tuduhan kepada saya bisa menyeret semua orang yang pernah berkenalan dan menjalin silaturahmi dengan saya. Bukankah hukum dibentuk untuk membuat keteraturan dan kedamaian, dan bukan menebarkan ketakutan dan fitnah?” kata Syahrul dalam pembelaannya.
Pada persidangan sebulan sebelumnya, Syahrul juga sempat mengklaim dirinya sebagai salah satu menteri termiskin di kabinet Jokowi, menyebut bahwa dirinya baru dapat mencicil rumah saat telah menjadi gubernur.
“Saya ini termasuk menteri yang paling miskin. Rumah saya, kalau banjir masih kebanjiran yang di Makassar itu,” ujarnya.
Merujuk Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), Syahrul tercatat memiliki kekayaan sekitar Rp20 miliar.
Syahrul merupakan menteri keenam sepanjang pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo yang menjadi tersangka korupsi.
Sebelumnya, sejumlah menteri juga terlibat korupsi, seperti mantan Menteri Sosial Idrus Marham, mantan Menteri Olahraga Imam Nahrawi, mantan Menteri Kelautan Edhy Prabowo, mantan Menteri Sosial Juliari Batubara, dan mantan Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Gerard Plate yang juga sejawat Syahrul di NasDem.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Syahrul sebagai tersangka pemerasan dan gratifikasi pada 11 Oktober 2023, setelah sempat diwarnai insiden “hilang kontak” kala melakoni perjalanan dinas ke sejumlah negara Eropa.
Syahrul tidak bisa dihubungi setelah KPK menggeledah kediaman dinasnya dan kantor kementerian pertanian. Dari rangkaian penggeledahan itu, tim KPK menemukan uang bernilai puluhan miliar – dalam rupiah serta mata uang asing, sejumlah catatan keuangan, dan 12 senjata api.
Ia kembali ke Tanah Air pada 4 Oktober, disusul penyerahan surat pengunduran diri kepada Jokowi keesokan harinya.
NasDem menilai rangkaian perkara korupsi yang menjerat kadernya sarat muatan politis, mengingat NasDem mengusung tokoh politik yang berseberangan dengan Jokowi yakni mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam pemilihan presiden 2024.
Pengungkapan perkara Syahrul turut menyeret mantan Ketua KPK Firli Bahuri.
Firli diduga memeras Syahrul dalam penyelidikan kasus di komisi antirasuah dan eks-ketua KPK ini belakangan juga telah ditetapkan sebagai tersangka pemerasan oleh Kepolisian Daerah Metro Jaya, tapi belum kunjung ditahan.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana berharap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mengembangkan perkara korupsi yang menjerat Syahrul, dengan memanggil keluarganya.
Pada Oktober, KPK menetapkan Syahrul sebagai tersangka tindak pidana pencucian uang, namun perkara ini belum disidangkan di pengadilan.
“Itu penting didalami penyidik KPK. Keterangan saksi di persidangan yang menyebut keluarga Syahrul turut menikmati uang hasil korupsi mesti ditanggapi serius,” ujar Kurnia kepada BenarNews.