RADEN Mas Tirto Adhi Soerjo (selanjutnya disebut Tirto) lahir di Blora, 1880 – meninggal di Batavia, 7 Desember 1918. Ia memiliki nama kecil Raden Mas Djokomono, merupakan seorang tokoh pers dan tokoh kebangkitan nasional Indonesia. Dikenal juga sebagai perintis persuratkabaran dan kewartawanan nasional Indonesia. Ia dikenal memiliki nama pena T.A.S.
Sebagaimana priyayi pada masa itu, Tirto dapat mengenyam pendidikan yang layak bahkan setara dengan bangsa Eropa. Diketahui bahwa Tirto pernah bersekolah di Hogere Burger School (HBS) Batavia, lalu melanjutkan kuliah di School tot Opleiding van Inlandsche Artshen (STOVIA). Namun alih-alih melanjutkan karirnya di kedokteran, Tirto malah tertarik dengan tulis menulis.
Tirto memiliki perusahaan media bernama N.V. Javasche Boekhandel en Drukkerij en Handel in Schrijfbohoeften Medan Prijaji, yang menerbitkan beberapa surat kabar, seperti Soenda Berita (1903-1905), Medan Prijaji (1907), Soeloeh Keadilan (1907), Poetri Hindia (1908), serta menjadi editor di berbagai surat kabar lainnya. Tirto juga terlibat dalam pergerakan nasional dan aktif di beberapa organisasi seperti Boedi Oetomo, Sarekat Dagang Islam, dan Sarekat Islam. Tirto merupakan orang Hindia Belanda pertama yang menggunakan surat kabar sebagai alat propaganda, pembentuk pendapat umum, serta menulis kecaman-kecaman pedas terhadap pemerintahan kolonial Belanda pada masa itu.
Pers Bumiputera
KALI pertama Tirto menggeluti bidang tulis menulis terjadi ketika ia masih menjadi mahasiswa STOVIA. Ia telah mengirimkan berbagai tulisan ke berbagai surat kabar terkemuka seperti Bintang Betawi, Chabar Hindia Belanda, Pewarta Priangan, Bromartani, dan Pembrita Betawi.
Ia kemudian sempat bekerja di Pewarta Priangan yang akhirnya bangkrut, lalu berpindah ke Pembrita Betawi. Berkat kepiawaiannya, Tirto berhasil menjabat sebagai redaktur kepala dan pemimpin redaksi di surat kabar asal Batavia tersebut.
Tak hanya aktif menulis, Tirto juga menambah pengetahuannya mengenai tulis menulis dan jurnalistik dengan berguru kepada Karel Wijbrands (jurnalis sekaligus pemimpin redaksi Niews van den Dag). Tirto mendapatkan banyak ilmu mengenai pengelolaan penerbitan, hukum, politik, dan pemerintahan.
Selanjutnya, pada tahun 1903 Tirto menerbitkan Soenda Berita, yang merupakan surat kabar pertama di Indonesia yang diterbitkan, dikelola, dan dimodali sendiri oleh orang bumiputra.
Soenda Berita menjadi corong pertama untuk mencapai cita-cita perjuangan demi kemajuan bangsa. Namun pada perjalanannya Soenda Berita mengalami krisis finansial, meskipun Tirto sempat melakukan penggalangan dana dengan berkeliling ke berbagai daerah.
Ketidakhadiran Tirto membuat Soenda Berita menjadi goyah sehingga akhirnya harus berhenti terbit pada 1906.
Tak menyerah sampai disitu saja, pada tahun 1906 Tirto berhasil membentuk surat kabar Medan Prijaji pada 1 Januari 1907 berkat sumbangan dana dari para saudagar, bangsawan, dan kaum intelektual yang tergabung dalam perhimpunan Serekat Prijaji (SP).
Melalui Medan Prijaji, Tirto membuat berbagai tulisan yang berisi kritikan tajam kepada pemerintah kolonial.Tirto menerapkan apa yang saat ini dikenal dengan istilah jurnalisme advokasi: membela kaum tertindas melalui jurnalistik. Bahkan, tidak jarang ia turun langsung ke lapangan jika dibutuhkan. Medan Prijaji menggunakan bahasa Melayu rendahan: dengan tujuan agar tulisan-tulisannya dapat mudah dipahami oleh seluruh kalangan masyarakat tanpa terkecuali.
Beberapa diantaranya yaitu: pada tahun 1909, Medan Prijaji memuat tulisan Tirto yang mengkritik pejabat dan pengusaha perkebunan di Deli dengan menyebut orang-orang itu sebagai “manusia serakah” yang bertindak sewenang-wenang kepada rakyat. Tanah milik rakyat disewa paksa yang membuat mereka dipaksa bekerja sebagai buruh dan mendapat perlakuan serta upah yang tidak pantas. Mirisnya lagi, aksi bejat itu didukung oleh oknum pejabat lokal (lurah) setempat.
Masih di tahun yang sama, Medan Prijaji kembali memuat tulisan Tirto yang mengkritik A. Simon, seorang Belanda yang berpangkat sebagai kontrolir di Purworejo yang melakukan kongkalingkong dengan Tjokrosentono, oknum Wedana dengan tujuan memuluskan lurah pilihannya untuk berkuasa. Melalui tulisannya, Tirto menyebut Simon sebagai snoot-ap yang berarti “monyet ingusan yang masih suka menyusu.”
Tak pelak tulisan ini menyebabkan Tirto harus berurusan dengan pihak berwajib. Kasusnya sempat ditangguhkan oleh pemerintah karena Tirto memiliki relasi baik dengan J.B. Van Heutsz (Gubernur Jenderal Hindia Belanda kala itu), namun ketika pucuk kekuasaan berpindah ke tangan A.W.F. Idenburg, Tirto akhirnya diseret ke meja hijau. Ia dinyatakan bersalah dan dibuang ke Teluk Betung (Lampung) selama 2 bulan.
Nyalinya tak ciut, ia bahkan sempat membuat tulisan yang menyoroti berbagai tindak penyelewengan, dari level kepala kampung, aparat pemerintah dan kepolisian, hingga Residen Lampung. Tulisan tersebut diberi judul “Oleh-oleh dari Tempat Pembuangan.”
Sekembalinya dari pembuangan, Tirto justru semakin berani dalam mengkritik para pejabat pribumi dan kolonial lewat berbagai tulisan-tulisan tajam. Hal tersebut membuat pemerintah kolonial gerah dan pada tahun 1912 ia kembali berurusan dengan aparat berwajib. Tirto kembali didakwa telah melakukan pencemaran nama baik, hingga akhirnya ia dibuang ke Maluku. Seluruh asetnya juga disita oleh pemerintah kolonial.
Pergerakan Nasional
KIPRAH Tirto dalam pergerakan nasional diawali ketika Tirto melakukan kunjungan ke para saudagar, bangsawan, dan kaum intelektual, dengan bertujuan untuk menggalang dana untuk mendirikan surat kabar lagi.
Tirto juga memiliki gagasan agar dibentuknya suatu perhimpunan yang bertujuan untuk memajukan kaum pribumi yang ia sebut “bangsa yang terprentah” agar terlepas dari belenggu penjajahan. Usulan tersebut berbuah manis, pada tahun 1906 didirikan Sarekat Prijaji (SP), dengan tujuan untuk mendidik para priyayi dan bangsawan pribumi melalui studiefonds (lembaga dana pendidikan).
Selanjutnya organisasi ini tidak begitu berkembang akibat pengurusnya yang kurang cakap dalam mengelola organisasi, sementara Tirto sendiri terus disibukkan dengan surat kabarnya yang semakin terkenal.
Pada tanggal 20 Mei 1908, Boedi Oetomo (BO) didirikan di Batavia oleh para priyayi lulusan STOVIA. Tirto dan beberapa pengurus SP akhirnya memutuskan untuk hijrah ke organisasi yang digawangi oleh Dr. Soetomo tersebut. Tirto menjabat sebagai anggota BO cabang Bandung.
Ketika Tirto aktif sebagai anggota BO, pengurus BO rutin mengirimkan laporan untuk dimuat dalam surat kabar Medan Prijaji. Namun pada perjalanannya hubungan antara Tirto (juga Medan Prijaji) dan BO memburuk, pada 2 Mei 1910 Tirto mengkritik kepengurusan BO karena tidak pernah lagi mengirimkan laporan. Sementara itu, BO juga memiliki surat kabar sendiri yang bernama Darmo Kondo. Perselisihan yang kian meruncing membuat Tirto pada akhirnya memutuskan keluar dari organisasi tersebut.
Tirto juga membidani organisasi Sarekat Dagang Islam (SDI), yang ternyata telah dirintisnya semasa ia masih aktif menjadi anggota Boedi Oetomo. Pada tanggal 27 Maret 1909 di kediaman Tirto diselenggarakan rapat perdana untuk merencanakan pembentukan SDI, selanjutnya pada tanggal 5 April 1909 organisasi ini dideklarasikan.
Haji Samanhudi, seorang saudagar batik termahsyur di Solo memimpin organisasi bernama Rekso Roemekso, yang merupakan semacam laskar keamanan untuk melindungi para pengrajin batik dalam persaingan dengan kaum Tionghoa. Rekso Roemekso tidak memiliki badan hukum, sehingga membuat Haji Samanhudi was-was karena sewaktu-waktu organisasi ini dapat dibubarkan karena dianggap illegal. Untuk mengatasi masalah tersebut, Haji Samanhudi kemudian meminta bantuan Tirto untuk merumuskan AD/ART organisasi, hingga akhirnya Rekso Roemekso berevolusi menjadi SDI cabang Solo.
SDI cabang Solo menjadi semakin besar akibat pamor Haji Samanhudi yang dikenal memiliki banyak pengikut. Hal tersebut mengakibatkan SDI cabang Solo berupaya untuk melepaskan diri dari bayang-bayang Tirto, ditambah waktu itu Tirto sedang berurusan dengan hukum. Hal tersebut membuat relasi antara Haji Samanhudi dan Tirto menjadi renggang.
Akhirnya, pada tahun 1913, SDI cabang Solo melepaskan diri dari pengaruh Tirto. Dikarenakan Haji Samanhudi merasa kurang cakap dalam mengelola organisasi, ia kemudian mengajak sosok pemuda kharismatik asal Surabaya bernama HOS Tjokroaminoto untuk bergabung. SDI cabang Solo kemudian berubah nama menjadi Sarekat Islam (SI) untuk memperluas keanggotaannya dari sebatas pedagang batik yang beragama Islam menjadi semua orang yang beragama Islam.
Emansipasi Perempuan
POETRI Hindia, surat kabar besutan Tirto yang dikhususkan untuk kaum hawa mendapatkan apresiasi positif dari Ratu Emma. Tak hanya berupa pujian, permaisuri raja Willem II dan ibu ratu Wilhelmina juga menggelontorkan dana besar untuk membiayai keberlangsungan surat kabar tersebut.
Sampai berdirinya organisasi Boedi Oetomo, belum ada upaya untuk membentuk corong jurnalistik yang menampung aspirasi/pemikiran-pemikiran dari kaum perempuan.
Hingga akhirnya tak lama berselang Boedi Oetomo dibentuk, Tirto membuat gerakan progresif dengan mendirikan surat kabar Poetri Hindia. Sejatinya upaya tersebut pernah dilakukan Tirto ketika Soenda Berita masih eksis, namun hal itu tidak berkembang karena nyatanya Soenda Berita hanya bertahan seumur jagung.
Poetri Hindia menjadi wadah para jurnalis perempuan generasi awal (permulaan abad ke-20) untuk menempa diri sekaligus mengelola langsung surat kabar tersebut.
Dalam susunan redaksi, tercantum nama-nama yaitu: R.A. Tjokroadikoesoemo (Cianjur), R.A. Hendraningrat (Tangerang), Raden Fatimah (Bogor), Siti Habiba (Bogor), S.N. Norhar Salim (Bukittinggi), juga R.A. Mangkoedimedjo (Yogyakarta). Selanjutnya dalam susunan redaktur dan jurnalis perempuan Poetri Hindia, yakni R.A. Arsad (Batavia), Raden Sinta Mariana (Cilegon), M. Loro Nasiah Rogoatmodjo (Bogor), R.A. Soetanandika (Ciamis), R.A. Pringgowinoto (Rembang), R.A. Tirtoadiwinoto (Ponorogo), Soeida (Makassar), dan Toean Poetri Radja Fatimah (Maluku).
Kehadiran Poetri Hindia sebagai surat kabar khusus perempuan mendapatkan perhatian dari berbagai pihak dari dalam negeri maupun luar negeri. Surat kabar asal Belanda, Nieuw Controul memuat laporan dan informasi tentang Poetri Hindia pada edisi akhir tahun 1909 yang berbunyi: “Berkala tengah-bulanan ini bukan asing lagi bagi pembaca kita, sudah beberapa kali kita memberitakan tentangnya. Ia dibaca dari Sabang sampai Merauke. Pembaca wanitanya tidak hanya di Jawa dan Madura, juga di Sumatera, Borneo, Celebes, dan Maluku, bahkan di Kesultanan Johor dan negeri-negeri Melayu di Semenanjung Malaka.” Bahkan Poetri Hindia juga sempat membuka cabang di Belanda, yang mana J.J. Meijer, eks asisten residen yang bertindak sebagai redaktur.
Poetri Hindia mengangkat hal-ihwal yang berkaitan dengan kebutuhan kaum perempuan, baik remaja putri maupun kalangan ibu-ibu, seperti rubrik “Perempuan Hindia”, “Perawatan Kecantikan”, “Pemeliharaan Anak”, juga banyak artikel seputar tips dan etika dalam berkeluarga. Selain itu, ada pula rubrik cerita pendek, hikayat, serta artikel-artikel lain yang bersifat hiburan. Namun sangat disayangkan surat kabar progresif ini harus berhenti terbit pada tahun 1912.
Akhir Hayat
TIRTO kembali lagi ke Batavia pada tahun 1914. Sebagaimana eks tahanan politik, segala tindak tanduknya selalu dalam pengawasan ketat. Hal inilah yang mempengaruhi kondisi fisik dan mentalnya yang kian memburuk menjelang akhir hayatnya.
Di Batavia ia tinggal di Hotel Samirono milik Raden Goenawan, salah satu anak didiknya di Medan Prijaji. Sebelumnya hotel tersebut merupakan milik Tirto yang bernama Medan Prijaji, yang mana ketika aset-aset Tirto disita oleh pemerintah kolonial, Goenawan akhirnya membeli hotel tersebut dan mengubah nama hotel tersebut.
Tirto berusaha bangkit demi upaya mengembalikan kejayaan masa lalu. Namun semua itu sia-sia belaka. Tirto yang sudah bangkrut serta dijauhi oleh rekan-rekan sejawat pada akhirnya mengalami depresi berat selama bertahun-tahun. Hari demi hari berlalu, mental dan kesehatannya terus menurun. Akhirnya pada tanggal 7 Desember 1918, sang pemula menghembuskan nafas terakhirnya akibat penyakit disentri.
Tirto kemudian disemayamkan di Mangga Dua, Batavia. Tidak ada iring-iringan besar dan orang-orang besar yang ikut mengantar, tidak ada pidato-pidato pelepasan, tidak ada yang menceritakan jasa-jasa dan amal dalam hidupnya yang tidak begitu panjang.
Sang pemula yang melawan penjajahan dengan pena dibalik meja, pada akhirnya meninggal dalam sunyi dan nestapa. Setelah kematiannya yang menyesakkan, nama Tirto Adhi Soerjo seolah terbenam dalam keriuhan perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Pada tanggal 30 Desember 1973, jenazah Tirto dipindahkan ke TPU Blender, Kota Bogor.
Minke, Bumi Manusia, dan Pram
BERPULUH tahun berselang, masih ada yang teringat sepak terjangnya. Salah duanya adalah Soewardi Soerjaningrat/Ki Hadjar Dewantara dan Pramoedya Ananta Toer.
Ki Hadjar Dewantara mengungkapkan bahwa: “kira-kira pada tahun berdirinya Boedi Oetomo, ada seorang wartawan modern yang menarik perhatian karena lancar dan tajamnya pena yang ia pegang, yaitu almarhum R.M. Djokomono, kemudian berganti nama Tirto Adhi Soerjo. Beliau boleh disebut pelopor dalam lapangan jurnalistik.”
Sementara Pram mengabadikan perjalanan hidup Tirto melalui karya sastra bertajuk “Tetralogi Pulau Buru” yakni Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Pram memakai nama “Minke” untuk menyebut Tirto dalam tetralogi yang sempat dilarang semasa rezim Orde Baru tersebut.
Selain itu, Pram juga menulis hasil riset tentang Tirto Adhi Soerjo dalam buku non-fiksi berjudul Sang Pemula. Pram juga merupakan orang pertama yang menasbihkan Tirto sebagai bapak pers Indonesia—hingga akhirnya pemerintah Indonesia mengukuhkannya pada tanggal 31 Maret 1973 berdasarkan surat yang dikeluarkan Dewan Pers Indonesia No. 69/XI/1973.
Pramoedya dalam Sang Pemula menyerukan bahwa Indonesia pernah punya seorang pejuang berpena tajam pembela kaum tertindas yang ditakuti penjajah Belanda. Sebagaimana ditulis Pramoedya dalam Jejak Langkah, tak mungkin orang dapat mencintai negeri dan bangsanya, kalau orang tak mengenal kertas-kertas tentangnya, kalau dia tak mengenal sejarahnya, apalagi kalau tak pernah berbuat sesuatu kebajikan untuknya.
Pada tanggal 3 November 2006, presiden ke-6 Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Tirto Adhi Soerjo (berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 85/TK/2006).
Pada tahun 2019, kisah hidup Tirto Adhi Soerjo diangkat ke layar lebar dengan judul Bumi Manusia. Film ini disutradarai oleh Hanung Bramantyo dan dibintangi Iqbaal Ramadhan yang berperan sebagai Minke. Film ini menceritakan kegamangan Minke antara kemajuan Eropa dan perjuangan membela tanah airnya serta hubungannya dengan Annelies Mellema.
Film ini berhasil meraih 1.316.583 orang penonton dengan perkiraan pendapatan kotor sekitar Rp52,7 miliar. Film ini mendapatkan sambutan positif dari kalangan pejabat politik dan masyarakat serta ulasan beragam dari kalangan pengulas film.
—
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
- Pramoedya Ananta Toer
Historia Magistra Vitae.
Sejarah adalah guru yang terbaik.
Sumber:
- Arifin, Muhammad Farid. 2018. Gerakan R.M. Tirto Adhi Soerjo Melawan Belanda (1903-1913). Makassar: UIN Alauddin.
- Dahlan, Muhiddin. Iswara N. Raditya. 2008. Karya-Karya Lengkap Tirto Adhi Soerjo: Pers Pergerakan dan Kebangsaan. Yogyakarta: Boekoe.
- Daraquthny, Faizal Ad. 2018. Tirto Adhi Soerjo (Studi Deskriptif Pemikiran Perintis Pers Pribumi pada Masa Kolonialisme Hindia-Belanda). Malang: Universitas Brawijaya.
- Setyaningsih, Kristina. 2012. Tirto Adhi Soerjo dalam Pergerakan Pers Nasional 1902-1918: Penggoncang Bumiputera Bangun dari Tidurnya. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
- Suwirta, Andi. 1999. Zaman Pergerakan, Pers, dan Nasionalisme di Indonesia. Bandung: Jurnal Mimbar Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia No. 4.
- Toer, Pramoedya Ananta. 1980. Bumi Manusia. Yogyakarta: Hasta Mitra.
- Toer, Pramoedya Ananta. 1985. Sang Pemula. Yogyakarta: Hasta Mitra.
- Yacob, Dharwis Widya Utama. Firdaus Syam. 2016. Gerakan Politik Tirto Adhi Soerjo. Jakarta: Jurnal Kajian Politik dan Masalah Pembangunan Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional Vol. 12 No. 1 ISBN: 1978-063X.
- Yuliantri, Rhoma Dwi Aria. dkk. 2008. Seabad Pers Perempuan: Bahasa Ibu Bahasa Bangsa. Yogyakarta: Boekoe.
- Raditya, Iswara N. 5 November 2016. Sang Pemula di Segala Lini Massa. Tirto. Tautan: https://tirto.id/b1NC (diakses pada 30 Januari 2023).
- Raditya, Iswara N. 7 Desember 2018. Sejarah Hidup Tirto Adhi Soerjo, Sang Pemula Pers Bumiputra. Tirto. Tautan: https://tirto.id/dbb7 (diakses pada 30 Januari 2023).
- Raditya, Iswara N. 8 Desember 2018. Peran Besar Tirto Adhi Soerjo dalam Sejarah Pergerakan Nasional. Tirto. Tautan: https://tirto.id/dbnq (diakses pada 30 Januari 2023).
- Raditya, Iswara N. 9 Desember 2018. Gerak Tirto Adhi Soerjo dalam Emansipasi Perempuan Indonesia. Tirto. Tautan: https://tirto.id/dbqp (diakses pada 30 Januari 2023).
- Raditya, Iswara N. 10 Desember 2018. Tirto Adhi Soerjo, Bapak Pers Nasional yang Mati dalam Sunyi. Tirto. Tautan: https://tirto.id/dbs6 (diakses pada 30 Januari 2023).
- Wirayudha, Randy. 18 Agustus 2019. Tirto Adhi Soerjo di Sudut Ingatan. Historia. Tautan: https://historia.id/politik/articles/tirto-adhi-soerjo-di-sudut-ingatan-6kXjq (diakses pada 30 Januari 2023).
Sumber Foto: Indisch Anders