PERISTIWA Hari Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat) diperingati setiap tanggal 10 Januari. Ini merupakan momen terkait dengan aksi unjuk rasa oleh sebagian kalangan mahasiswa dan rakyat Indonesia yang ditujukan kepada pemerintahan Presiden Sukarno sebagai dampak tragedi berdarah Gerakan 30 September (G30S) 1965.
Latar belakang
Kondisi Indonesia di tahun 1960-an sangat bergejolak. Presiden Soekarno memposisikan Indonesia berlawanan dengan negara-negara barat.
Sikap anti neo-kolonialisme dan neo-imperialisme menyebabkan Indonesia kehilangan dukungan dari luar negeri di bidang politik maupun ekonomi.
Sejarawan Asvi Warman Adam dalam Bung Karno Dibunuh Tiga Kali? (2010) menjelaskan, saat itu harga membumbung tinggi. Inflasi per tahun mencapai 600 persen lebih pada tahun 1966.
“Bahkan Presiden Soekarno harus menunjuk seorang menteri penurunan harga, Hadely Hasibuan, meskipun tidak berhasil melakukan tugasnya,” tulis Asvi dikutip dari laman Kompas.
Puncaknya pada 1965, ketika Gerakan 30 September (G30S) meletus. Partai Komunis Inonesia (PKI) yang dekat dengan Soekarno dituduh bertanggung jawab atas pembunuhan tujuh jenderal TNI. Situasi politik makin kacau. Sentimen anti-PKI dan anti-Soekarno berkembang.
Rezim Orde Lama dianggap tidak tegas terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) yang disebut-sebut sebagai salah satu unsur utama terjadinya peristiwa G30S 1965 yang menewaskan sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat. Maka, pada 10-13 Januari 1966.
Terjadi gelombang demonstrasi di Jakarta.
Memasuki tahun 1966, rakyat dan mahasiswa menggelar demonstrasi memprotes Soekarno yang tak banyak berbuat saat itu.
Isi Tritura
KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia), dan kesatuan-kesatuan aksi lainnya (KABI, KASI, KAWI, KAGI) yang tergabung dalam Front Pancasila, berunjuk rasa di halaman gedung DPR-GR pada tanggal 12 Januari 1966.
Mereka menuntut tiga hal yang dikenal dengan Tritura.
Tritura atau Tiga Tuntutan Rakyat tersebut adalah :
(1) Bubarkan Partai Komunis Indonesia atau PKI;
(2) Rombak Kabinet Dwikora; dan
(3) Turunkan Harga.
Tuntutan pertama: pembubaran PKI. Saat itu, pemerintahan Sukarno dianggap terlalu lambat mengambil sikap terhadap orang-orang PKI yang dianggap terlibat dalam peristiwa G30S 1965. Terlebih, masih ada beberapa tokoh komunis yang berada di kabinet.
Tuntutan kedua: pembubaran Kabinet Dwikora. Alasan yang mendasari tuntutan ini adalah bahwa pemerintah dinilai tidak mampu mengendalikan kestabilan politik, sosial, dan ekonomi yang merosot. Sukarno dianggap lebih mementingkan urusan konfrontasi Indonesia dengan Malaysia dan usaha merebut kembali Irian Barat.
Selain itu, masih ada orang-orang berhaluan kiri dari PKI yang duduk di Kabinet Dwikora. Mahasiswa dan rakyat yang kontra dengan haluan komunis mendesak agar orang-orang PKI segera dibersihkan dari pemerintahan.
Tuntutan ketiga: turunkan harga. Tuntutan ini dipicu oleh kebijakan ekonomi yang dianggap kurang tepat sehingga membuat perekonomian negara memburuk, termasuk dengan melambungnya harga-harga kebutuhan pokok.
Usai penyampaian Tritura oleh massa-mahasiswa, pada 21 Februari 1966 Presiden Sukarno melakukan reshuffle kabinet. Namun orang-orang yang duduk di kabinet tidak sesuai yang dikehendaki oleh para pengunjukrasa. Sukarno masih melibatkan orang-orang beraroma kiri.
Tiga hari kemudian, atau 24 Februari 1966, para mahasiswa memboikot pelantikan menteri-menteri baru. Mereka kembali berdemonstrasi hingga akhirnya terjadi insiden yang menyebabkan seorang mahasiswa bernama Arif Rahman Hakim menjadi korban.
(*)
Sumber : Kompas / Tirto / Jakarta.go.id