SEBELUM pemerintah pusat meniadakan status non-PNS (pegawai negeri sipil), Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kepulauan Riau (Kepri) mendorong sekitar 7.000 honorer untuk mengikuti seleksi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK).
Hal ini disampaikan Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Provinsi Kepri, Hasan. Dia menyampaikan, mengatakan keikutsertaan pegawai tidak tetap atau honorer dalam seleksi penerimaan PPPK merupakan peluang satu-satunya agar dapat bertahan bekerja di pemerintahan.
“Pendataan honorer di Pemprov Kepri sudah dilakukan, dan diserahkan ke pusat. Selanjutnya, pemerintah pusat berencana membuka penerimaan PPPK Tahun 2023 atau sebelum kebijakan penghapusan status non-PNS diberlakukan,” kata Hasan di Tanjungpinang, dikutip dari Antara, Sabtu (20/8/2022).
Ia menjelaskan, Gubernur Kepri, Ansar Ahmad, sudah berulang kali melobi pemerintah pusat agar status honorer di Pemprov Kepri tidak dihapus secara menyeluruh, melainkan bertahap. Hal itu disebabkan seluruh honorer, terutama di bidang pendidikan dan kesehatan dibutuhkan.
Namun upaya itu tidak membuahkan hasil lantaran kebijakan pemerintah pusat tersebut berdasarkan perintah UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Berdasarkan undang-undang itu, ASN terbagi menjadi dua, yakni PNS dan PPPK.
“Banyak kepala daerah yang melobi agar dapat mempertahankan honorer. Persoalannya, keputusan tersebut berdasarkan perintah undang-undang sehingga mulai November 2023 mulai dieksekusi,” ujarnya.
Hasan mengungkapkan, Pemprov Kepri masih berupaya agar pemerintah pusat tidak hanya menjadikan hasil seleksi ujian tertulis sebagai satu-satunya dasar dalam menentukan honorer tersebut lulus seleksi PPPK atau tidak. Pemprov Kepri meminta pemerintah pusat agar mempertimbangkan honorer yang lebih dari 10 tahun mengabdi di pemerintahan.
“Ada banyak honorer yang mengabdi lebih dari 10 tahun, sehingga mereka berpengalaman. Pengalaman mereka dalam bekerja itu dibutuhkan dalam penyelenggaraan pemerintahan,” ucapnya.
Sebelumnya, pengamat politik dan pemerintahan, Endri Sanopaka, berpendapat rencana pemerintah menghapus tenaga honorer sebaiknya ditangani secara bijak, sehingga dapat meminimalisir dampak negatif seperti pengangguran.
Angka pengangguran yang meningkat potensial meningkatkan angka kemiskinan. Permasalahan itu akan berdampak lebih jauh dalam kehidupan masyarakat.
“Ada potensi negatif akibat kebijakan itu, baik secara politik, sosial, hukum maupun ekonomi sehingga pemerintah perlu mempertimbangkan nasib tenaga honorer jauh sebelum kebijakan itu diberlakukan,” kata Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Raja Haji itu.
(*)