SALAH satu Trending Topic Twitter hari ini adalah tagar #02GagapUnicorn. Isinya pun celotehan netizen tentang jawaban Prabowo Subianto terhadap pertanyaan Joko Widodo yang bertanya tentang unicorn saat putaran debat capres ke-dua yang diselenggarakan Minggu malam (17/2).
Terlepas cuitan para netizen, kalian sendiri sudah paham betul ‘kan apa maksud dari ‘unicorn’ tersebut?
Kalau kamu baru tahu fenomena unicorn dalam dunia ekonomi digital ketika orang-orang pada heboh dengan ucapan Pak Prabowo, nggak perlu malu.
Atau, kalau kamu kebetulan orang yang sangat menyukai kisah-kisah genre fiksi dan fantasi, nggak heran jika mendengar kata “unicorn”, yang muncul di benakmu adalah kuda warna putih dengan satu tanduk.
Memang ada apa sih dengan unicorn?
Secara singkat, di dalam mitologi unicorn digambarkan sebagai kuda warna putih dengan tanduk panjang yang bentuknya agak spiral. Di masa Renaisans, unicorn umumnya dianggap sebagai simbol kesucian dan keanggunan. Sementara tanduk unicorn dipercaya punya kekuatan untuk menyembuhkan penyakit dan racun.
Lalu, apa hubungannya dengan Startup?
Jika mau langsung ke inti pembahasan, sebetulnya selama ini ada orang yang ‘bertanggung jawab’ atas penamaan “Unicorn” pada startup. Dia adalah Aileen Lee.
Lee adalah pemodal ventura ternama dan pendiri Cowboy Ventures. Lee pernah melakukan riset pada 2013 dan menemukan hanya sekitar 0,07 persen perusahaan yang berbasis usaha mendulang valuasi lebih dari US$1 miliar.
Dari situ, Lee ingin membagikan temuannya itu, namun masih bingung dengan istilah yang kira-kira pantas untuk menggambarkan perusahaan macam itu, yakni perusahaan yang valuasinya tembus US$1 miliar.
“Saya mencoba mencari kata yang mudah digunakan berkali-kali, seperti ‘home run’, ‘megahit’, namun ujung-ujungnya saya merasa kata-kata itu nggak keren. Jadi saya pilih ‘unicorn’ karena makhluk ini sangat langka — sama seperti perusahaan-perusahaan ini yang langka jika melihat ada ribuan startup di industri teknologi tiap tahun. Perusahaan ‘unicorn’ masih belum banyak. Mereka langka,” ungkap Lee saat diwawancarai International Business Times.
Selain soal kelangkaan, kata ‘Unicorn’ menurut Lee juga membawa unsur mitos dengan nuansa seru nan menyenangkan.
“Banyak pengusaha dan pendiri perusahaan punya mimpi besar dan sedang menjalankan misi yang belum pernah dilihat oleh mata dunia sebelumnya. Kalau kata ‘home run’ dan lainnya terasa kurang pas untuk menggambarkan semangat ini,” lanjut Lee.
Kalau melihat industri teknologi di Silicon Valley San Francisco, Amerika Serikat, rasanya startup ‘Unicorn’ sudah tidak lagi langka karena perkembangan startup di sana sangat pesat. Layanan-layanan populer seperti Airbnb, Pinterest, hingga Uber termasuk ke dalam startup ‘Unicorn’.
Sementara bagaimana dengan Indonesia? Tentu startup unicorn masih terbilang langka, sejauh ini baru berjumlah 4 perusahaan. Mereka adalah Gojek, Tokopedia, Traveloka, dan Bukalapak.
Sekarang sudah jelas, ‘kan?
Unicorn bukan lagi soal makhluk mitos bertanduk, atau hal-hal “yang online-online itu”, namun perusahaan rintisan yang sanggup mencapai valuasi US$1 miliar.
Semoga ke depannya pemimpin negara ini bisa turut memperhatikan infrastruktur serta ekosistem startup digital untuk mencetak unicorn-unicorn berikutnya.
(*)