PROYEK pembangunan Bandara Hang Nadim di Batam sudah mulai dilakukan sejak era Batam dikelola oleh Pertamina di bawah Ibnu Soetowo pada tahun 1974.
Awalnya, lokasi bandara di Batam ditetapkan di wilayah Tanjung Uncang. Kemudian dengan beberapa pertimbangan, akhirnya dipindah ke Batu Besar karena adanya aturan internasional yang menerangkan bahwa lokasi itu dapat mengganggu intensitas penerbangan bandara Paya Lebar di Singapura.
Proses pemilihan lokasi bandara di Batu Besar dilakukan secara sederhana saja dengan topografi dan peninjauan lapangan langsung oleh Marsekal pertama Soedjatmiko selaku Kepala Badan Pelaksana (Kabalak) dan staf teknik Otorita Batam serta pihak kontraktor Robin Ednasa.
Kondisi Batam saat itu masih dipenuhi hutan belantara.
“Ya, hutan. Semua mobil di sini Land Rover karena dia menghendaki double gardan kan untuk jalan di lumpur”, kata Dirut PT. Esqarada, Daniel Burhannudin dalam keterangannya tentang Batam di era 70-an seperti dikutip dari dokumenter “Mereka Bicara Tentang Batam – Dulu, Sekarang dan Yang Akan Datang“.
Dalam buku : “Mengungkap Fakta Pembangunan Batam Era Ibnu Soetowo – JB Sumarlin“, di era Ibnu Soetowo disebutkan bahwa pada awal pembangunan, bandara ini hanya memiliki landasan pacu sepanjang 850 meter saja. Baru bisa dioperasikan dan didarati oleh pesawat jenis twin otter, sky van serta helikopter.
Dekade 70-an memang merupakan tonggak awal pembukaan Batam sebagai daerah industri. Awalnya oleh Pertamina dan kemudian dilanjutkan oleh Badan Otorita Batam (BP Batam saat ini, pen).
Pada era ini, selain bandara, pemerintah juga membangun wilayah Batu Ampar sebagai lokasi industri berikut pelabuhan lautnya.
Menurut mantan Direksi PT. Persero Batam, Kasimun di dokumenter “Mereka Bicara Tentang Batam – Dulu, Sekarang dan Yang Akan Datang“, untuk pengembangan pelabuhan laut sendiri, pemerintah juga menggandeng kontraktor asal Singapura, Robin Shipyard.
“Saat itu Batam masih dipegang Pertamina (era Ibnu Soetowo, pen). Berjalan tiga tahun pembangunan pelabuhan, Batam kemudian dialihkan ke Otorita Batam”, kata Kasimun.
Sementara itu, pada tahun 1980, bandara Hang Nadim sudah bisa beroperasi layaknya bandara perintis dan didarati pesawat jenis Fokker 28.
Saat awal beroperasi itu, gedung terminalnya masih dibangun secara sederhana dengan bentuk semi permanen berbahan triplek dan biasa disebut sebagai gedung terminal A.
![](https://gowest.id/wp-content/uploads/2020/04/InShot_20200411_041115581-1024x576.jpg)
“Saya masuk ke Batam bulan Desember 1983. Bertepatan dengan terbentuknya Pemerintah Kota Batam (kota Madya Batam, pen). Kondisi Batam saat itu masih sangat sepi”, kata mantan Karyawan Otorita Batam Fitrah Kamaruddin di dokumenter “Mereka Bicara Tentang Batam – Dulu, Sekarang dan Yang Akan Datang“.
Ia masih mendapati gedung terminal A bandara Hang Nadim Batam yang sederhana dan terbuat dari triplek.
“Waktu lihat Airportnya sedih sekali. Airportnya dari triplek (gedung terminalnya, pen)”, lanjut Fitrah Kamaruddin.
(Bersambung)
(*/lis/GoWestID)