Oleh : Hasan Aspahani
Gadis 15 tahun itu tersentak dan berhenti menyiapkan diri.
Ia sudah memulai apa yang rutin: mandi, sarapan, dan berkemas untuk berangkat sekolah bersama dua orang adiknya: Sukma dan Guruh. Pagi, Jumat, 1 Oktober 1965 itu, di kamar yang ia tempati di Istana Merdeka, dari radio kecil hadiah dari ayahnya, ia mendengar pengumuman itu berulang-ulang disiarkan. Dewan Revolusi. Dewan Jenderal. Pimpinan Nasional sudah diselamatkan. Kudeta. Letnan Kolonel Untung. Frasa-frasa dalam kombinasi kalimat yang susah payah ia pahami.
Ia tiba-tiba disergap takut, cemas, mencemaskan dan sangat rindu pada bapaknya. Sang Pemimpin Nasional itu.
Ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi yang teringat adalah serentetan upaya pembunuhan atas ayahnya, termasuk yang peristiwa penembakan brutal yang terjadi di sekolahnya. Ia trauma pada darah.
Ia berhenti menyiapkan diri. Dengan langkah yang bingung, tanpa alas kaki, ia keluar kamarnya, dengan setengah berlari, ia menyusuri ruang-ruang Istana Merdeka, menuju kamar ayahnya, meskipun ia tahu sejak semalam ia tak melihat ayahnya ada di sana. Ia ingin berteriak memanggil bapak.
Seorang pengawal menahannya, memintanya kembali ke kamar, dan melarangnya keluar dari Istana. Ia menantang mata sang pengawal.
“Apa yang terjadi, Pak?”
“Kami juga belum tahu, Mbak Putri.
Masih simpang-siur. Kabarnya beberapa jenderal semalam diculik.” Si pengawal kemudian seperti menyesali keterangan itu, ia merasa telah memberi informasi terlalu banyak, meskipun ia sendiri sama sekali tak yakin atas validitasnya. Tapi ia hanya bermaksud memenangkan putri sang presiden yang adalah tanggung jawabnya untuk mengamankan dan menenangkannya.
![](https://gowest.id/wp-content/uploads/2021/07/16134036.jpg)
“Kami juga tidak tahu, Mbak. Mbak Putri sebaiknya di kamar saja. Hari ini tak usah sekolah.”
Ia tak mengindahkan pengawal itu. Ia berlari ke ruang pantry hendak menelepon kawan sekolahnya. Di teras pantry ia lihat banyak tentara berkumpul, lebih banyak dari biasanya. Ia mengangkat telepon dan langsung menyadari telepon Istana sudah diputuskan. Jumlah tentara yang berkumpul semakin banyak. Ia mulai menangkap kegawatan situasi itu. Ia masih berusaha menelepon, ketika pengawal pribadinya dari jauh memberi isyarat agar ia segera meninggalkan pantry dan kembali ke kamar.
***
Dari rumahnya, pagi itu, Dr. Soeharto sudah berkali-kali mencoba dan gagal menelepon ke Istana Merdeka. Siaran Letkol Untung di radio tadi justru membangkitkan beribu pertanyaan. Hanya satu yang ingin ia pastikan – karena memang itulah tugasnya – yaitu keselamatan Presiden Sukarno.
“Gimana, Mas? Ada yang sudah bisa dihubungi?” katanya kepada Letkol Hary Suradi, ajudannya.
“Nggak bisa, Pak. Menteri-Menteri juga nggak ada yang bisa ditelepon…”
Ia lalu menuju ke kantornya di Sarinah, sebelum ke Bappenas. Seseorang kurir mengantar surat dari Tante Leimena, surat yang menanyakan di mana suaminya Waperdam Dr. Leimena berada. Ia semakin cemas. Tidak ada yang tahu di mana Presiden, Perdana Menteri dan Wakil-wakilnya berada di mana. Para menteri tak bisa dihubungi. Ada sabotase apa ini? Siapa yang sedang melakukan apa? Tadi di radio dia mendengar pengumuman Letkol Untung tentang Kabinet yang dibekukan. Dan Dewan Revolusi mengambil alih kekuasaan.
Tapi siapa Dewan Revolusi?