JAJARAN Kepolisian Daerah (Polda) Kepulauan Riau (Kepri) telah menyelamatkan sebanyak 357 orang korban Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau Pekerja Migran Indonesia (PMI) ilegal sepanjang tahun 2021-2022. Mereka umumnya hendak diberangkatkan ke negeri jiran Malaysia melalui jalur atau pelabuhan tidak resmi.
“Selama periode 2021-2022, kami mengamankan 59 tersangka PMI ilegal,” kata Kabid Humas Polda Kepri, Kombes Pol Harry Goldenhardt, dikutip dari Antara, Rabu (31/8/2022).
Harry mengatakan dari jumlah 357 korban PMI ilegal tersebut, pihaknya berhasil mengungkap 30 kasus, yaitu 11 kasus di tahun 2021 dan 19 kasus di tahun 2022.
Dia menyebutkan dari semua kasus PMI ilegal yang ditangani selama 2021-2022, terdapat satu kejadian yang sangat memprihatinkan, yaitu tenggelamnya kapal pengangkut PMI ilegal dari Kepri di perairan Malaysia pada awal tahun ini, dengan sebanyak 21 warga negara Indonesia (WNI) ditemukan meninggal dunia.
“Cukup menyedihkan, karena kami bersama Mabes Polri turun langsung ke Johor guna menerima penyerahan jenazah WNI,” ungkapnya.
Masih kata Harry, pengungkapan kasus PMI ilegal bekerja sama dengan institusi yang menjadi leading sector, seperti Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), TNI, dan Mabes Polri.
Dari beberapa kali pengungkapan kasus ini, sambungnya, ternyata aktivitas pengiriman PMI ilegal sudah merupakan suatu mata rantai yang dilakukan oleh sindikat secara terkoordinir.
Berdasarkan pemetaan yang dilakukan, juga ditemukan kantong-kantong pengiriman atau penyedia PMI ilegal. Rata-rata dari Nusa Tenggara Barat (NTB), Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, hingga Sulawesi.
Sedangkan Kepri, hanya menjadi daerah transit pengiriman PMI ilegal ke Malaysia maupun Singapura, karena letak geografis daerah ini berbatasan langsung dengan kedua negara tetangga tersebut.
Modus operandinya, kata Harry, yakni PMI dari daerah asal seperti NTB dikirim ke Tanjungpinang atau Batam (Kepri), lalu mereka dijemput oleh seseorang dan ditampung sementara, sampai kemudian diberangkatkan ke Malaysia lewat pelabuhan tikus atau tak resmi.
Oleh karena itu, kata Harry, penanganan kasus pengiriman PMI ilegal ini harus dilakukan secara komprehensif dimulai dari hulu hingga ke hilir.
Pihaknya mengimbau stakeholder terkait melakukan upaya pencegahan, terutama dari kantong-kantong pengiriman PMI ilegal. “Paling banyak itu dari Jawa Timur dan NTB,” ujarnya lagi.
Lebih lanjut Harry mengutarakan berdasarkan investigasi terhadap korban PMI ilegal yang diselamatkan, mereka nekat berangkat secara nonprosedural ke Malaysia karena dijanjikan upah yang cukup tinggi, yaitu sekitar Rp 5 juta sampai Rp 7 juta.
Namun di sisi lain, menurut Harry, memang ada kecenderungan pengguna jasa PMI, misalnya perusahaan sawit di Malaysia ternyata lebih suka menerima PMI ilegal dibanding legal. Hal Ini dikarenakan ketika mereka mempekerjakan PMI legal, maka akan ada tanggung jawab jaminan sosial, kesehatan, hingga hukum.
“Kalau PMI ilegal, tak ada tanggung jawab itu semua. Contohnya saat puluhan PMI kapal tenggelam meninggal di perairan Malaysia, bagaimana kita mau mengejar tanggung jawab hukumnya di sana,” ujarnya pula.
Ia turut mengimbau agar PMI memikirkan matang-matang rIsiko berangkat kerja secara ilegal ke Malaysia.
Ia menegaskan bahwa pemerintah tak melarang warga bekerja ke luar negeri asal menggunakan jalur legal, karena pemerintah akan mempermudah prosedurnya.
“Kenapa harus ada syarat kompetensi PMI kerja di luar negeri, karena semakin berkompeten maka makin tinggi gajinya. Kalau tak ada kompetensi, gaji akan dibayar rendah dan tak dapat perlindungan hukum ketika ada persoalan dialami PMI Tanah Air,” ujarnya.
Harry juga memastikan Polda Kepri akan terus bersinergi dengan aparat keamanan Malaysia terkait upaya pencegahan maupun mitigasi terhadap kasus pengiriman PMI ilegal.
(*)