PEMBAHASAN mengenai Upah Minimum Kota (UMK) Batam telah usai. Meski masih menyisakan pro dan kontra, perusahaan harus tetap membayar sesuai nilai terhitung Januari ini, sedangkan kalangan pekerja harus menerima dengan lapang dada.
Wakil Wali Kota Batam, Amsakar Achmad mengatakan angka UMK Batam 2023 sebesar Rp 4.500.550 merupakan angka yang nyaman bagi semua pihak.
“Angka yang dikeluarkan oleh Gubernur, menurut saya sudah nyaman bagi semua pihak. Ingat 2023 ini ada bayang-bayang resesi. Jangan minta sekian, nanti perusahaan bisa gulung tikar,” kata Amsakar baru-baru ini.
Pria berkacamata ini kemudian menjelaskan bahwa pada awalnya, standar penetapan upah berdasarkan pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 /2021 tentang Pengupahan.
Dalam PP 36 ini, penghitungan upah berdasarkan pada kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan, dan juga memperhitungkan batas atas dan bawah upah minimum.
“Dalam menentukan angkanya, maka menggunakan kebijakan satu data, rujukannya data BPS. Tapi, ada Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) terbaru Nomor 18/2022 tentang Penetapan Upah Minimun Tahun 2023,” ujarnya.
Dalam Permenaker terbaru tersebut, rumus penghitungan upah adalah penjumlahan antara inflasi dengan perkalian pertumbuhan ekonomi serta indeks tertentu yang menggambarkan kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi, dengan nilai tertentu dalam rentang 0,10 sampai 0,30. Penentuan indeks tersebut harus mempertimbangkan produktivitas dan perluasan kesempatan kerja.
Amsakar melihat dengan munculnya Permenaker terbaru ini, ada lompatan besar dalam penyesuaian UMK. “Saya sudah lakukan kajian pribadi. Misalnya di 2020-2021 naik Rp 20 ribu, di 2021-2022 naik Rp 30 ribu. Sementara di 2022-2023 saat Permenaker berlaku, naiknya Rp 300 ribu,” ungkapnya.
Adapun koefisien indeks kontribusi tenaga kerja di Batam cukup besar, angkanya 0,15. Indeks tersebut turut menyumbang kenaikan UMK sebesar Rp 300 ribu.
“Kalau di Lingga, Anambas dan Natuna hanya 0,3, karena tak besar angkatan kerjanya. Angka 0,15 untuk Batam merupakan angka paling logis, jadi angka tersebut yang memutuskan Rp 4,5 juta,” ungkapnya.
“Menurut pemikiran saya, UMK ini pastilah tidak sedemikian terhadap pergerakan ekonomi di daerah, karena sudah dihitung sesuai regulasi Pelaku usaha pasti tak mau direcoki, yang penting itu kondusif,” tuturnya.
Jika kedepannya masih ada pro dan kontra, adalah hal yang wajar untuk menyelesaikannya lewat jalur hukum. “Kami hanya cari kondusifitas dengan angka yang kompromis,” tegasnya (leo)