ANAK muda yang mengklaim bahwa dirinya penikmat kopi sejati saat ini terbilang sangat banyak. Semua mendadak ngopi. Ada yang sekadar ikut tren, atau memang suka minum kopi sejak dulu.
Beda dengan orang-orang tua dahulu yang menjadikan kopi sebagai pelepas candu, obat mujarab sesaat menghilangkan sakit kepala dan teman bersantai usai penat bekerja. Namun, dulu itu belum ada cafe atau coffee shop yang sekarang menjamur. Mungkin ada di kota-kota besar, tapi hanya dapat dihitung dengan jari saja jumlahnya.
Bagi orang-orang di Riau, Riau Kepulauan, dan Riau Pesisir, bahwa ngopi itu, ya, di kedai kopi kampung. Kriteria kedai kopi ini cukup sederhana, cangkirnya yang khas, suasana tak se-estetik cafe pada umumnya, hingga harga secawan kopi yang murah meriah.
Di Kota Batam, Kepulauan Riau (Kepri), kopi hitam itu disebut Kopi O. Banyak pemahaman mengenai bahasa tersebut, tapi yang paling kuat ialah kopi kosong (kopi tanpa gula). Bahkan istilah “Kopi O” juga berlaku sama di beberapa daerah di Kepri dan Riau.
Beda Era, Beda Cara Ngopi
Aktivitas nongkrong seiring perkembangan zaman memang berbeda jauh. Bagi yang lahir di tahun 80 hingga 90-an, nongkrong bagi mereka adalah duduk bercengkerama di kursi panjang pinggir jalan lengkap dengan gitar dan perun (api unggun) di hadapan. Ada juga yang nongkrong di warung-warung. Waktunya jelas di malam hari, sebab siang sibuk beraktivitas.
Jelas tak ada gadget, hanya ada obrolan santai dan iringan gitar diikuti nyanyian bersama. Vibes nongkrong orang-orang dulu memang beda jauh dengan anak sekarang yang kebanyakan mabar MLBB, fokus chatting sampai hobi update foto daily activities di instastory. “Kopi, sendu dan rindu.” Ya, kira-kira begitulah caption gambar yang diunggah. Cuaaks!
Perkembangan zaman menuntut semua orang untuk terus beradaptasi. Banyaknya anak muda saat ini yang sadar akan kepentingan networking. Maka dari itu terkadang mereka memanfaatkan nongkrong menjadi salah satu cara untuk memperluas jaringan.
Banyaknya postingan di media sosial tentang kopi dan nongkrong di kafe membuat banyak masyarakat khususnya kaum millenial menjadi penasaran untuk mengunjungi tempat tersebut. Hal ini berkaitan erat dengan desain dan suasana yang dapat disajikan oleh pebisnis kopi. Anak muda saat ini cenderung gemar untuk mencari tempat berfoto dan hal ini menjadi kesempatan emas untuk para pengusaha.
Disadur dari berbagai sumber, ternyata budaya minum kopi sudah dilakukan sejak era kolonial, saat Belanda memerintahkan masyarakat Indonesia untuk menanam biji kopi. Belanda menanam kopi secara besar-besaran melalui politik tanam paksa.
Dahulu, industri kopi di Indonesia mengalami pasang surut. Dikarenakan kejayaan tanam paksa membuat Indonesia menjadi rugi. Setelah masa kejayaan tanam paksa pun Indonesia kembali diserang wabah yang nyaris membunuh seluruh tanaman kopi. Hal tersebut yang membuat pada akhirnya industri kopi di Indonesia mengalami pasang surut pada masa lalu.
Saat ini, industri kopi sudah berkembang dengan sangat pesat. Kopi sudah mengalami pergeseran budaya di kalangan generasi muda. Seperti halnya dahulu, masyarakat mengunjungi warung kopi hanya untuk menikmati secangkir kopi hitam.
Namun saat ini tujuan seseorang datang ke kedai kopi bukan hanya untuk menikmati secangkir kopi. Istilah tempat kopi saja sudah bertransformasi. Tidak disangka kini kopi menjadi wadah untuk para pebisnis mendapatkan keuntungan yang besar. Dan kini biji kopi seolah menyulap perindustrian kopi untuk menjadi bisnis yang menjanjikan.
Hidden Gem Kedai Kopi Kampung di Batam
Kedai Kopi Zahwa, jadi salah satu warkop kampung yang masih eksis di tengah gempuran cafe atau coffee shop yang kain menjamur di Batam. Bisa dibilang legend, sebab sudah bukan kurang lebih sejak 15 tahun silam.
Kedai Kopi Zahwa ini beralamat di Komplek Green Town, Blok P, No 17, Kelurahan Bengkong Laut, Bengkong, Kota Batam.
Orang-orang yang ngopi di sini tak pernah menyebut dengan nama aslinya, tapi lebih sering disebut Kedai Kopi Pak Cik. Lantaran salah satu karyawan lama di sana sering di sapa dengan sebutan “Pak Cik”.
“Kopi O satu, Pak Cik,” sahut pelanggan yang memesan kepada pria paruh baya itu.
“Panggil Pak Cik aja. Orang-orang yang sering ngopi di sini pun nyebutnya gitu,” kata pria itu. Dia tampak enggan menyebut nama aslinya. Entah kenapa dan mengapa. Sampai sekarang ramai yang tak tahu nama aslinya.
Di dapur, Pak Cik lihai meracik kopi. Tungku arang dan cangkir batu yang direndam dengan air panas jadi ciri khas. Katanya, direndam biar panas kopi tetap awet. Sementara tungku arang yang digunakan untuk memasak kopi memang jadi ciri khas bagi setiap kedai kopi kampung.
Secangkir kopi di sana memang murah meriah, cuma Rp 5 ribu saja. Tapi cita rasanya boleh diadu. Aroma smooky dari pembakaran arang menjadi pembeda dari warkop pada umumnya.
“Racikan? Tak ada, biasa aja. Sejak dulu memang begini cara masak kopi di sini,” ujar pria itu yang masih enggan menyibak ke publik racikan kopi buatan tangannya.
Ada lagi yang unik dan jarang ditemui di tempat ngopi lainnya, kedai kopi ini tetap buka sampai pengunjung sepi. Tak ada jam tutup, yang ada hanya jam buka.
“Biasa buka jam 7:00 WIB. Karena pagi ada yang jual sarapan juga. Pagi-pagi pun ramai juga yang ngopi. Tapi kalau malam kita buka sampai tengah malam, bahkan sampai sepi sudah takada orang,” kata Pak Cik.
Walau cuma pekerja, Pak Cik punya peran besar di warung kopi itu. Beberapa pelanggan bahkan cuma mau minum kopi hasil racikannya. Pengakuan itu dikatakan oleh Priyandi, salah seorang pria tempatan yang langganan ngopi di Kedai Kopi Zahwa.
“Sekarang aja namanya Kedai Kopi Zahwa. Dulu ini kedai kopi biasa. Kita tahunya “Kedai Kopi Pak Cik”. Besar peran Pak Cik itu. Aku ngopi di sini kalau bukan dia yang bikin (kopi) tak mau aku,” ujar dia.
Pak Cik sepertinya tak risau dengan gempuran cafe atau coffee shop di Batam. Katanya, di kedai kopinya itu cuma kalah satu hal, yakni tempat.
“Kalau di sana (cafe), kan, tempatnya keren, tertata. Kalau kita, ya, memang gini, meja kursi plastik. Memang konsepnya kedai kopi kampung. Tapi saya yakin kopi kita rasanya tak kalah dari yang lain, bahkan kita memang dari segi harga,” ujar Pak Cik, dengan yakin.
Soal estetika tempat memang warung kopi kampung mutlak kalah. Namun, kalau soal rasa, nikmatnya tiada tara. Belum pernah coba? Jom let’s try!
(ahm/dod)