BATAM dan Tanjungpinang merupakan dua kota utama di provinsi Kepulauan Riau saat ini. Batam merupakan lokomotif ekonomi utama dan Tanjungpinang memegang peranan penting sebagai ibukota provinsi.
PERAN kedua wilayah saat ini, tak lepas dari jejak masa lalu sejak masa kesultanan Melayu dan kolonial Belanda hingga kemudian di era paska kemerdekaan.
Tanjungpinang misalnya, memainkan peran yang penting dalam masa Kesultanan Riau-Lingga. Beberapa titik penting yang kami sarikan dari beberapa sumber:
- Pembukaan Bandar Perdagangan: Tanjungpinang menjadi pusat perdagangan yang penting ketika Kesultanan Riau-Lingga dipimpin oleh Sultan Abdul Jalil. Bandar perdagangan yang dibuka oleh Laksamana Tun Abdul Jamil di Sungai Carang Hulu Riau pada tahun 1673 menjadi Bandar Riau yang ramai dan dikenal dengan sebutan Bandar Riau.
- Pengembangan Ekonomi: Tanjungpinang berfungsi sebagai pusat ekonomi yang penting, dengan perdagangan yang aktif di antara Kesultanan Riau-Lingga dan negara lain. Perdagangan ini membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan tersebut.
- Pengaruh Politik: Tanjungpinang juga memainkan peran dalam politik Kesultanan Riau-Lingga. Pada masa Kesultanan Riau-Lingga, Tanjungpinang menjadi pusat kekuasaan Sultan dan Yang Dipertuan Muda. Sultan dan Yang Dipertuan Muda berkedudukan di Tanjungpinang, dan keputusan penting dibuat di sana.
- Kesultanan Riau-Lingga: Tanjungpinang menjadi ibu kota Kesultanan Riau-Lingga, dengan Sultan Abdul Rahman Muazzam Shah sebagai sultan pertamanya. Kesultanan ini dibentuk berdasarkan Perjanjian Inggris-Belanda tahun 1824 dan dihapuskan oleh Belanda pada tahun 1911.
- Kebudayaan: Tanjungpinang juga memainkan peran dalam perkembangan kebudayaan Kesultanan Riau-Lingga. Bahasa Melayu menjadi bahasa baku yang kaya dengan kesusasteraan dan memiliki kamus ekabahasa sendiri, dengan tokoh besar seperti Raja Ali Haji yang berkontribusi pada perkembangan bahasa Melayu
Wilayah Tanjungpinang dan Batam memiliki peran yang berbeda dalam masa Hindia Belanda. Berikut beberapa informasi tentang peran keduanya:
- Tanjungpinang:
- Batam:
Tanjungpinang, Antara Kolonial Belanda dan Kesultanan Riau Lingga.
PADA tahun 1922, Afdeeling Tanjung Pinang membawahi empat onder-afdeeling yang terdiri dari Onder-Afdeeling Tanjung Pinang, Onder-Afdeeling Karimun, Onder-Afdeeling Lingga, dan Onder-Afdeeling Pulau Tujuh yang dibagi ke dalam dua ressort, yakni ressort Kepulauan Anambas dan ressort Kepulauan Natuna.
Afdeeling Indragiri yang terdiri dari Kuantan, Indragirische Bovenlanden dan Indragirische Benedenlanden, yang awalnya merupakan satu kesatuan dengan Kepulauan Riau, pada akhirnya dimasukkan ke dalam Riau setelah tahun 1950-an.
Tata pemerintahan Kepulauan Riau di zaman kolonial Belanda berlangsung sejak tahun 1785 ketika Belanda memilih Tanjungpinang sebagai tempat kedudukan residen.
Pada masa itu, Kepulauan Riau menjadi bagian dari wilayah Kesultanan Riau-Lingga yang dipengaruhi oleh Belanda.
Pemerintah kolonial Belanda memiliki hubungan yang kompleks dengan Kesultanan Riau-Lingga dalam menjalankan pemerintahan. Berikut adalah beberapa titik penting seperti disarikan GoWest.ID dari beberapa sumber :
- Pengaruh Belanda: Pemerintah kolonial Belanda memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Kesultanan Riau-Lingga. Mereka berusaha untuk menguasai wilayah ini dan menghapuskan Kesultanan Riau-Lingga pada tahun 1911.
- Perjanjian Inggris-Belanda: Perjanjian Inggris-Belanda tahun 1824 membagi wilayah Kesultanan Johor-Riau menjadi dua bagian, dengan Johor berada di bawah pengaruh Inggris dan Riau-Lingga di bawah pengaruh Belanda. Kesultanan Riau-Lingga dibentuk berdasarkan perjanjian ini, dengan Sultan Abdul Rahman Muazzam Shah sebagai sultan pertamanya.
- Pengawasan Residen Belanda: Sultan Riau-Lingga berada di bawah pengawasan langsung Residen Belanda di Tanjung Pinang. Semua perkara berkaitan pentadbiran kesultanan harus dibuat dalam pengetahuan dan persetujuan Residen Belanda. Hal ini menunjukkan bahwa Kesultanan Riau-Lingga tidak memiliki kewenangan yang penuh dalam menjalankan pemerintahan.
- Penghapusan Kesultanan: Pemerintah kolonial Belanda menghapuskan Kesultanan Riau-Lingga pada tahun 1911. Sultan Abdul Rahman II Muazzam Shah yang terakhir memerintah Kesultanan Riau-Lingga hingga tahun 1911.
- Pengaruh terhadap Bahasa Melayu: Kesultanan Riau-Lingga memainkan peranan penting dalam perkembangan bahasa Melayu, yang kemudian menjadi bentuk bahasa Indonesia. Bahasa Melayu menjadi bahasa standar yang kaya dengan sastra dan memiliki kamus ekabahasa, dengan tokoh besar seperti Raja Ali Haji yang berkontribusi pada perkembangan bahasa Melayu.
Batam di Masa Kolonial Belanda
Pada masa kolonial Belanda, Pulau Batam berada dalam wilayah Kesultanan Riau-Lingga yang dipengaruhi oleh Belanda.
Kehidupan masyarakatnya relatif terisolasi dan berpenduduk jarang. Pulau ini didominasi oleh masyarakat nelayan yang hidup dari hasil tangkapan laut.
Pada masa Kesultanan Riau-Lingga, Batam belum memiliki peran yang signifikan sebagai pusat pemerintahan atau sebagai wilayah yang strategis. Kesultanan Riau-Lingga berpusat di Pulau Lingga dan Pulau Penyengat, dengan Sultan dan Yang Dipertuan Muda sebagai pemimpin utama.
Sementara Batam hanya menjadi salah satu wilayah yang terletak di Kepulauan Riau, yang juga termasuk dalam wilayah Kesultanan Riau-Lingga.
Batam sebenarnya memiliki sejarah yang unik. Pada masa Kesultanan Riau-Lingga, Batam dihuni oleh Suku Laut atau Orang Selat, yang berbeda dengan penduduk Melayu yang berasal dari Tanah Semenanjung Melayu. Batam juga menjadi wilayah langlang laut (pengawalan) Hang Nadim, yang berkhidmat sebagai Laksamana Melayu sejak masa Sultan Mahmud Syah I dan Sultan Alauddin Riayat Syah II.
Namun begitu, pulau ini belum memiliki peran yang signifikan dalam pemerintahan Kesultanan Riau-Lingga.
Pada abad ke-19, Batam jatuh ke tangan Belanda setelah Perjanjian Inggris-Belanda tahun 1824. Belanda kemudian mengelola Batam sebagai bagian dari Hindia Belanda dan membangun instalasi pertahanan di pulau ini untuk melindungi jalur perdagangan mereka.
Pada masa penjajahan Belanda, Batam tetap menjadi wilayah yang terisolasi dan berpenduduk jarang.
Hal ini disebabkan oleh ketentuan-ketentuan yang diterapkan oleh Belanda, seperti larangan bagi penduduk lokal untuk memasuki kawasan pertahanan. Masyarakat lokal tidak terlibat dalam pengelolaan pulau dan aktivitas ekonomi dan sosial relatif terbatas.
Namun, terdapat beberapa kelompok penduduk yang lebih dahulu mendiami pulau ini. Mereka berprofesi sebagai penangkap ikan dan bercocok tanam. Mereka sama sekali tidak banyak terlibat dalam mengubah bentuk fisik pulau ini yang merupakan hamparan hutan belantara.
Pada masa penjajahan Belanda, Pulau Boyan di Batam juga menjadi markas Belanda dan terdapat lubang tempat persembunyian. Bangunan-bangunan peninggalan Belanda seperti terowongan, penjara, tempat meriam, dan bekas rumah masih ada di Pulau Boyan. Warga setempat masih mengingat masa lalu ketika pulau ini diduduki Belanda dan masih melihat bekas-bekas bangunan peninggalan Belanda yang ada di Pulau Boyan.
(sus/dha)


