USULAN Presiden Prabowo Subianto agar pemilihan kepala daerah tidak diselenggarakan secara langsung namun kembali dilakukan oleh DPRD untuk menekan biaya politik menuai protes dan penolakan dari berbagai kalangan.
SEJUMLAH analis menegaskan bahwa jika pemilihan kepala daerah dikembalikan ke DPRD seperti zaman pemerintahan Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Suharto, itu akan menghilangkan hak pilih rakyat sekaligus memundurkan sistem demokrasi.
Prabowo menyampaikan wacana tersebut dalam pidatonya pada puncak perayaan HUT ke-60 Partai Golkar di Sentul, Kamis (12/12).
Dalam pidatonya, dia menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah, dari tingkat gubernur hingga bupati dan wali kota, bisa dipilih kembali oleh DPRD dengan alasan lebih efisien dan hemat anggaran.
“Saya melihat negara tetangga lebih efisien seperti Malaysia, Singapura, India, memilih anggota DPRD sekali, ya sudah DPRD itu yang memilih Gubernur dan Bupati,” ujar Prabowo akhir pekan lalu.
“Sistem ini terlalu mahal, betul? Dari wajah yang menang saya lihat lesu, apalagi yang kalah,” tambahnya.
Menurut Kementerian Keuangan, pemerintah telah menghabiskan hampir seluruh dari Rp37,52 triliun yang dialokasikan untuk pemilihan kepala daerah tahun ini, yang berlangsung secara serentak pada 27 November melibatkan total 545 daerah, yang terdiri atas 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota di Indonesia.
Prabowo mengatakan anggaran yang digunakan untuk Pilkada bisa lebih baik dimanfaatkan untuk hal lain yang lebih penting, seperti memberi makan anak-anak Indonesia, memperbaiki sekolah, dan meningkatkan irigasi pertanian.
“Berapa puluh triliun habis dalam satu-dua hari saja, dari negara maupun tokoh politik. Kalau dilakukan DPRD kan bisa seperti Singapura atau Malaysia,” kata dia.
Menuai kecaman
PERNYATAAN tersebut menuai protes dari berbagai kalangan, seperti masyarakat dan para pakar.
Koordinator Komite Pemilih Indonesia, Jeirry Sumampow, mengatakan meskipun pemilu langsung memerlukan biaya besar, hal tersebut merupakan konsekuensi yang harus diterima dalam negara demokrasi.
“Banyak masyarakat yang tidak setuju karena mereka akan kehilangan hak untuk menentukan siapa pemimpinnya. Mahal tidak tepat dijadikan alasan. Dari hampir 20 tahun lalu kita sudah menerapkan pemilu langsung,” kata Jeirry kepada BenarNews.
Menurut Jeirry, sistem pemilu langsung sudah memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk memilih langsung calon yang paling pantas memimpin daerahnya, yang dipilih berdasarkan visi, inovasi, dan popularitas.
“Faktor itu menurut saya jauh lebih penting dibanding dengan alasan-alasan lain. Pilkada langsung ini juga bagian dari kritik terhadap praktek rekrutmen pemimpin di DPRD yang seringkali penuh transaksi politik, yang akhirnya melahirkan pemimpin yang tidak paham tentang daerahnya,” ujar dia.
Selain itu, Jeirry juga menilai pemilihan melalui DPRD akan merugikan masyarakat, karena tingkat kepercayaan terhadap DPRD yang rendah.
“Saya kira ini kemunduran demokrasi kita. Pilkada langsung adalah bagian dari agenda reformasi untuk mengembalikan demokrasi ke rakyat,” tambahnya.
Penelitian dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) 2023 menunjukkan bahwa partai politik dan DPR/DPRD merupakan lembaga yang memiliki tingkat kepercayaan publik terendah, dengan hanya 7% kepercayaan terhadap partai politik.
Firman Noor, peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menilai alasan efisiensi yang diajukan Prabowo terkesan tidak berdasar karena demokrasi adalah proses yang panjang dan harus melibatkan partisipasi jutaan orang.
“Terdengar aneh karena ingin serba murah dan cepat. Meski terkesan efisien, belum tentu mewakili akar rumput yang begitu banyak. Bisa jadi, efisiensi itu tidak sejalan dengan kehendak rakyat,” kata Firman.
Firman menegaskan bahwa demokrasi harus memberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam memilih pemimpin sesuai dengan persepsi rakyat.
“Jika dipersingkat seperti ini, yang dikhawatirkan adalah pembajakan hak rakyat oleh elit politik tertentu, yang tidak sejalan dengan konstitusi kita,” tambahnya.
Firman juga mengaitkan usulan Prabowo dengan sistem pemerintahan Orde Baru, yang meskipun efisien, sering kali tidak melibatkan rakyat.
“Ini cenderung elitisme, dan pada akhirnya bisa mengarah pada otoritarianisme baru,” ujarnya.
Indonesia mulai menerapkan pemilihan kepala daerah langsung pada 2005 berdasarkan Undang-undang nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Titi Anggraini, pengajar fakultas hukum di Universitas Indonesia, mengingatkan bahwa perubahan sistem pemilihan menjadi langsung pada 2005 dilatarbelakangi oleh praktik politik uang dan jual beli dukungan yang tinggi pada masa sebelumnya.
“Pada saat itu juga terjadi protes dan keberatan warga karena calon yang dipilih oleh DPRD sering kali tidak mewakili aspirasi masyarakat,” kata Titi.
Muhammad Rifqinizamy Karsayuda, anggota DPR dari Partai Nasdem, mengatakan usul agar kepala daerah tidak lagi dipilih oleh rakyat akan dipertimbangan dalam revisi paket undang-undang terkait politik.
“Bagi Komisi II DPR RI, hal ini menjadi penting sebagai salah satu bahan untuk kami melakukan revisi terhadap omnibus law politik,” kata Rifqi seperti dikutip Kompas, Senin.
“Kita harus mencari formula yang tepat agar korupsi dan money politics tidak beralih ke partai politik dan DPRD, agar traumatik politik kita berdasarkan ketentuan UU 22 Tahun 1999 tentang pemerintah daerah yang dulu mengamanatkan pemilihan gubernur, kabupaten, dan kota di DPRD itu tidak lagi terjadi karena dulu diwarnai oleh premanisme politik dan politik uang di berbagai tempat,” kata Rifqi.
Evaluasi menyeluruh
TITI menilai perlu ada evaluasi menyeluruh terhadap Pilkada 2024, karena meskipun rakyat memilih langsung, pengaruh partai politik dalam pencalonan tetap sangat besar.
“Golput tinggi karena pemilih merasa tidak terwakili dan kecewa dengan calon-calon yang diusung partai. Kedaulatan rakyat semakin tersandera dan masyarakat makin tidak memiliki posisi tawar,” ujar Titi.
Titi juga menyoroti buruknya penegakan hukum dan demokrasi dalam partai politik yang menyebabkan tingginya politik uang dan kurangnya integritas dalam penyelenggaraan pemilu.
“Pembentuk UU seharusnya fokus pada revisi UU Pilkada untuk menyelesaikan masalah politik uang, lemahnya penegakan hukum, dan integritas partai politik serta penyelenggara pemilu,” kata Titi.
“Efisiensi juga bisa dilakukan tanpa harus mengembalikan pemilihan langsung menjadi pemilihan DPRD, salah satunya dengan pengaturan transparansi dana kampanye secara serius dan efektif.”
Hal serupa disampaikan oleh Kepala Departemen Politik Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes, yang mengatakan bahwa wacana ini perlu didiskusikan lebih lanjut terkait efisiensi atau justru menimbulkan masalah baru.
“Mengembalikan pemilihan ke DPRD belum tentu menyelesaikan masalah, karena proses nominasi calon bisa dikuasai oleh elite politik, ekonomi, dan oligarki. Masyarakat akan kehilangan hak memilih dan prosesnya justru bisa lebih mahal,” ujar Arya.
Menanggapi hal ini, juru bicara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Chico Hakim, menyatakan bahwa sistem pilkada saat ini adalah yang terbaik dan mengubahnya menjadi sistem DPRD akan merugikan demokrasi.
“Kami harap Pak Presiden bisa berpikir ulang. Demokrasi itu ada biaya, tapi pemimpin yang dipilih rakyat adalah hal yang dibutuhkan,” kata Chico.
“Yang perlu dibenahi bukanlah sistemnya, tapi insan politiknya—baik politisi maupun penguasa. Kita harus berbenah dan meninggalkan politik uang, penyalahgunaan anggaran, dan penyalahgunaan kekuasaan,” tambahnya.
Namun demikian seorang karyawan swasta yang tinggal di pinggiran Jakarta, Dwi Irawati, 45 tahun, mengatakan bahwa pemilihan kepada daerah di tangan DPRD dapat mengurangi konflik dan polarisasi politik yang telah menodai pemilu baru-baru ini.
“Bahkan dengan pemilihan langsung, kami tidak benar-benar tahu siapa saja kandidatnya,” kata Dwi kepada BenarNews, “ada begitu banyak potensi konflik, terutama dengan semua saling tuding yang menimbulkan isu-isu sensitif seputar suku, agama, dan ras.”