“Pantai utara Batam banyak dihuni oleh orang-orang dari Suku Bintan, yang disebut Orang Dalem. Bahkan oleh keturunan orang-orang yang datang dari Pahang pada zaman lalu. Pada masa yang lebih baru, kelompok dari keluarga bangsawan Bugis juga mulai tinggal di sana.”
…
“Ada juga beberapa orang Tionghoa yang lebih bijak. Mereka memilih untuk tinggal lebih lama di tanah rantau ini, memulai usaha dari skala kecil. Kemudian, secara bertahap melakukan transaksi yang lebih besar, sehingga mampu menghasilkan modal besar. Namun, pada akhirnya, mereka dan modalnya kembali ke Tiongkok.”
…
“… kita juga harus menyebutkan tentang pernikahan yang disebut nikah batin. Yaitu pernikahan yang tidak dilakukan secara resmi dengan pengakuan dari masyarakat atau agama. Pernikahan ini dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam dan tidak diakui oleh masyarakat. Tapi, masih dijalani sekelompok penduduk di Kepulauan Batam.” (J.G. Schot, Indische Gids – De Battam Archipel V – VII, 1882)
Oleh: Bintoro Suryo
PADA Catatan J.G. Schot bagian V – VII, yang dipublikasi pada dokumen Indische Gids tahun 1882, ia melampirkan peta pendukung tentang Kepulauan Batam. Sebuah wilayah yang menjadi area kerjanya sebagai seorang Controleur yang bertugas dari pulau Bojan.
Schot menyebut bahwa peta yang disusun, merupakan penyempurnaan dari peta sebelumnya yang dibuat oleh Kartografer Belanda, Alexander Edeling pada tahun 1820. Selain penyempurnaan yang dibuat Schot, peta Kepulauan Batam oleh Edeling, juga pernah dikonversi oleh J. Pijnappel dan dipublikasi pada 1857 dengan penambahan beberapa data baru.
Yang menarik dari peta Schot, ia telah menambahkan detil-detil kontur, titik-titik perkampungan penduduk hingga perkebunan, terutama di pulau utama Batam. Schot menambahkan berdasarkan data primer yang diperoleh selama melakukan perjalanan darat dan laut di pulau ini. Bukan hanya Batam, tapi juga pulau Rempang, Galang, Galang Baru bahkan hingga ke pulau Bulang (Boelang, pen.) dan Kepulauan Soelit.
Secara umum, ia menguraikan bahwa hubungan antara titik-titik perkampungan dan lokasi perkebunan (Kangka, pen) yang kebanyakan terletak di dalam hutan belantara, dilakukan melalui akses jalur laut alami setelah menempuh alur darat yang masih sangat sulit menuju pesisir pantai.
Selain itu menurutnya, tidak ada infrastruktur lain yang memudahkan penduduk yang tinggal di wilayah pedalaman pulau. Jalur darat yang ada di pedalaman, sebenarnya merupakan hutan belantara dengan jalur setapak kecil. Masih mungkin dilalui, namun dengan perjuangan yang lebih besar.
Seperti misalnya di pulau utama, Batam. Di antara kebun-kebun penduduk yang biasanya diupayakan oleh orang Tionghoa di tengah hutan. Schot melintasi alur setapak pada hutan yang lebat. Terkadang, perlu banyak bertumpu pada batang-batang pohon di sekitarnya yang akan menjadi sangat licin saat hujan turun. Ia kemudian menggambarkan alur darat setapak yang dilaluinya itu dalam bentuk garis putus-putus di dalam peta.

Tentang aktifitas orang Tionghoa di hutan-hutan Batam, bisa disimak pada artikel : “Tionghoa di Negeri Riouw”
Di pulau Batam, ia melakukan perjalanan berkeliling daratan yang sulit. Dari Batoe Hadji di seberang pulau Bojan, berjalan melintas hutan hingga menemui sebuah Kangka (perkebunan) di sekitar aliran sungai Langkai. Ia juga menyusuri wilayah perbukitan Senimba, kemudian memutar ke arah timur, menyusuri hutan bukit Ladi hingga sampai ke beberapa kampung penduduk di Teluk Tering/ Belian.
Dalam pengamatannya, penduduk di Batam masa itu, membuka area perkebunan di dalam hutan yang berdekatan dengan aliran sungai. Itu dilakukan untuk memudahkan akses menuju pesisir dan membawa hasil kebun. Juga untuk memudahkan pengairan irigasi. Seperti misalnya Kangka di sekitar sungai Tembesi, Kangka di sekitar sungai Doeriangkang, Assiamkang, Merendi atau Kangka di sekitar sungai Panas, sekitar Djodoe hingga Bengkong.
Baca : “Catatan J.G. Schot tentang Kepulauan Batam (Bagian I – IV)“
Schot menggambarkan aliran sungai dan anak-anak sungai di pulau Batam dalam garis-garis lurus dalam peta. Sementara jalur setapak perjalanannya di daratan Batam dan pulau-pulau utama lain, dalam bentuk garis putus-putus.
Pada catatan bagian V – VII ini, Schot juga banyak mengupas tentang kondisi penduduk di Kepulauan Batam dalam tinjauan sejarah hingga etnologi.
Silahkan disimak.
Bagian V
SEPERTI yang telah kita lihat, Kepulauan Batam tidaklah miskin kekayaan alam. Sebenarnya, kita mengharapkan adanya penduduk dengan kepadatan yang sesuai dengan kekayaan tanahnya tersebut. Namun, hal ini tidak terjadi. Kepulauan ini sepi penduduk dan dipenuhi hutan belantara.
Beberapa orang berpendapat bahwa pada zaman dahulu, kepadatan penduduk di sini pernah relatif tinggi. Itu tidak termasuk penduduk pendatang dari Cina. Kepadatan penduduk dikatakan menurun akibat pemerintahan yang buruk dari penguasa lokal.
Namun, dapat dipastikan bahwa otoritas penguasa lokal yang berpengaruh di pulau-pulau ini relatif sama dalam beberapa ratus tahun terakhir. Jika memang ada alasan untuk migrasi penduduk akibat pemerintahan yang buruk pada masa lalu, maka fenomena tersebut harusnya masih terjadi saat ini.
Namun, migrasi seperti itu tidak ada.
Yang terjadi adalah penduduk dari daerah tertentu, kadang-kadang pergi ke tempat lain selama lebih dari tiga bulan. Biasanya yang tinggal di pesisir. Namun, migrasi sementara ini disebabkan oleh berbagai aktifitas dan pekerjaan yang dijalani mereka di wilayah kepulauan ini.
Terutama mereka yang bekerja sebagai penebang kayu selama musim angin selatan. Atau, mereka yang mencari pendapatan dengan mengumpulkan agar-agar dan produk laut lainnya.
Di sini perlu diingat bahwa warga yang bekerja sebagai pengumpul agar-agar, biasanya hanya beraktifitas di sekitar perairan kepulauan ini saja. Jika harus tidak pulang, mereka biasanya tinggal di suatu tempat di wilayah perairan yang sama. Hanya penebang kayu yang kadang-kadang pergi hingga ke Johor selama beberapa waktu. Orang tua dan anak-anak biasanya tetap di kampung mereka untuk menjaga rumah dan pekarangan. Setelah musim selatan berakhir, penduduk kembali ke tempat tinggal mereka lagi.
Jadi, kemungkinan besarnya, jumlah dan kepadatan penduduk di Kepulauan Batam memang sedikit dari dulu. Kemungkinan ini menjadi kepastian jika kita memperhatikan dua keadaan berikut.
Pertama, kita tidak boleh melupakan bahwa penduduk yang sedikit di sini, memang tidak memiliki sarana dan pengetahuan yang diperlukan untuk membuat tanah menjadi produktif secara terus-menerus agar terus bisa diupayakan. Sementara aktifitas penangkapan ikan, seperti yang dijalani penduduk asli, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan penduduk jika jumlahnya besar. Karena kurangnya pertanian di wilayah ini, kepadatan penduduk juga relatif rendah. Mereka juga agak nomaden (meskipun dalam batas tertentu); warga pribumi di sini, kadang-kadang mengumpulkan produk hutan, kadang-kadang menangkap ikan, atau mencari cara lain untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Tak jarang, mereka juga melakukan aktifitas semacam perompakan dalam skala kecil.
Kedua, kita harus memperhatikan bahwa kepulauan ini tidak pernah menjadi pusat kekuatan dan ibukota dari kerajaan Melayu yang berkuasa sejak zaman dulu. Seperti misalnya wilayah Singapura, Malaka, dan Johor yang sempat menjadi pusat kerajaan dengan bandar keramaian yang dibangun. Penduduknya banyak karena ada aktifitas lain seperti perdagangan yang diupayakan oleh penguasanya. Di Kepulauan Batam tidak pernah seperti itu. Bahkan pada zaman kekuasaan Bintan kuno, kepulauan Batam kemungkinan lebih sepi daripada saat ini. Wilayah ini hanya dianggap sebagai tempat berburu yang baik karena ditumbuhi hutan yang lebat. Sri Tri Buana dikatakan mengunjungi Tanjung Bemban di Batam untuk berburu. Namun, melihat kenyataan bahwa hampir seluruh pulau ini merupakan hutan belantara yang nyaris tidak berpenghuni, ia tidak melihat potensi lain. Ia justeru melihat potensi pada pulau di seberangnya, Singapura. kemungkinan besar karena ada penduduk yang lebih banyak di sana pada saat itu.
PENDUDUK Melayu, terutama suku laut, hidup dari hasil laut. Oleh karena itu, mereka bahkan kadang-kadang tinggal di atas perahu mereka secara terus-menerus. Berkelana melalui berbagai selat di kepulauan ini untuk mencari tempat-tempat yang kaya akan ikan. Mereka tidak memiliki keinginan untuk menetap di darat karena tidak ada gunanya membangun rumah yang harus ditinggalkan lagi. Mereka kemudian menjadi penduduk laut yang sebenarnya dan disebut sebagai Orang Laut. Terbiasa dengan berbagai bahaya dan kesulitan di lautan, serta hidup dalam kekurangan dan keterbatasan.
Mereka menjadi kasar dan keras hati, bahkan tidak segan-segan untuk melakukan perampokan dan pembunuhan untuk mendapatkan apa yang tidak dapat mereka peroleh dari penangkapan ikan. Orang suku laut menjadi momok bagi kapal-kapal perdagangan yang melintasi selat-selat di antara pulau-pulau di wilayah ini. Terutama di sekitar Selat Bolang, yang menjadi tempat banyak perampokan besar terjadi. Di perairan itu, Orang Laut menguasai dua wilayah, yaitu Selat di antara pulau-pulau Mengkada, Ana, dan Gelam di satu sisi, dan selat di antara Tjitjir, Bolang Kebam, dan Unduk di sisi lain.
Mereka terus-menerus berhubungan satu dengan lainnya. Jika ada kapal perdagangan yang datang dari selatan ke Selat Bolang, berita itu akan disampaikan ke Tjitjir. Orang Laut di Tjitjir kemudian bersiap-siap, sementara yang di Mengkada menunggu sampai kapal yang akan dirampok melewati mereka, kemudian memotong jalan dan mengikuti calon korban sampai ke kelompok perampok di Tjitjir. Hasil penjarahan yang didapat, kemudian dibagi bersama.
Penguasa lokal sebenarnya telah beberapa kali mencoba untuk menghentikan aksi perompakan oleh mereka. Namun perompakan tidak berhenti. Bahkan, seorang kepala perampok pernah bersembunyi di pulau Kucing di sekitar pintu masuk Selat Bolang Kanan. Di pulau itu, ia dan kelompoknya bersembunyi. Namun, tidak lama mereka berhasil diusir. Pemerintah pribumi atas permintaan pemerintah Belanda, kemudian memutuskan untuk menempatkan seorang kepala di pulau Buluh, dekat Selat Bolang, yang terletak di seberang Selat Bolang Kanan. Tugasnya untuk mengawasi dan mencegah perompakan berulang. Sejak itu, Selat Bolang menjadi lebih aman.
Perompakan laut juga dilakukan oleh Orang Laut di tempat lain, namun aktifitas mereka bisa dihambat, terutama karena pemerintah Belanda dan penguasa lokal sangat ketat mengawasi dan mencegahnya.
Sekarang, hampir tidak ada lagi Orang Laut yang berkelana dengan tujuan merampok, meskipun mereka masih disebut dengan nama itu.
BERDASARKAN sifat dan kondisinya, Orang Laut bermigrasi dari wilayah Semenanjung ke perairan ini pada masa lalu. Mereka bermigrasi pada waktu yang berbeda-beda. Oleh karena itu, timbul klasifikasi Orang Laut.
Struktur Sosial Orang Laut
BEBERAPA orang yang pindah pada saat yang sama karena alasan dan motif yang sama, bergabung erat dan tetap bersama. Mereka membentuk satu keluarga di bawah satu kepala. Keluarga-keluarga ini disebut Suku.
Dapat diasumsikan bahwa pada awalnya, suku-suku Orang Laut tidak bercampur. Masing-masing mereka memiliki wilayah sendiri. Namun kebutuhan membawa perubahan.
Pada zaman sekarang, percampuran dalam bentuk perkawinan antar suku juga terjadi. Namun, setiap orang masih tahu persis, dari suku mana mereka berasal, meskipun mereka telah menetap di tempat lain.
Perbedaan Status Sosial
DALAM kehidupan, terkadang terjadi pertengkaran antara suku-suku laut ini. Terutama karena klaim atas wilayah penangkapan ikan. Akibatnya, suku-suku yang memiliki lebih banyak anggota mulai mendapatkan keunggulan atas suku-suku lain yang lebih lemah. Ini menjadi dasar bagi adat atau kebiasaan tertentu.
Misalnya, jika seseorang menikahi seorang wanita, ia harus membayar mahar yang lebih besar atau lebih kecil, tergantung pada status suku ayah wanita tersebut.
Mahar untuk wanita dari Suku Galang, Sekana, dan Gelam adalah 44 real, sedangkan untuk wanita dari Suku Selat, Trong, Sugie, dan Tamboes adalah 30 real.
Suku-suku Orang Laut
ORANG Dalem, yang dianggap sebagai pengikut langsung penguasa pada zaman dulu, yang pindah dari semenanjung ke pulau-pulau di wilayah ini, ditempatkan pada tingkat yang sama dengan Suku Galang.
Orang Dalem sebenarnya berasal dari zaman yang lebih baru, dimana telah ada penduduk yang lebih lama mendiami wilayah ini, khususnya di pulau Bintan. Semua penduduk lain di wilayah ini, awalnya adalah Orang Laut asli. Kecuali mereka yang termasuk dalam Suku Bintan dan Suku Mepar di Kepulauan Lingga.
Orang Suku Bintan lama, dikatakan berasal dari Jawa dan menetap di Bintan pada awal supremasi kerajaan Jawa kuno. Sementara orang Suku Mepar di Lingga dikatakan berasal dari Trengganu.
Mahar dan Status Sosial
MAHAR untuk Suku Bintan adalah 8 tail emas (400 real), sedangkan untuk Suku Mepar adalah 7 tail emas (350 real). Semua suku Orang Laut yang tunduk pada kekuasaan Bintan disebut Rajat Bintan, sedangkan suku-suku di Lingga yang berada di bawah kekuasaan Megat Mepar disebut Rajat Mepar.
KAMI akan menjelaskan secara singkat tentang suku-suku yang berbeda dan bagaimana mereka tersebar di Kepulauan Batam. Suku Tamboes awalnya tinggal di Selat Panyabong antara Galang dan pulau-pulau Sembu, di mana masih ada kampung yang bernama Kampung Tamboes di sana. Mereka juga ditemukan di Selat antara Galang dan pulau-pulau Sembu, dan sekarang juga ditemukan dalam jumlah kecil di Sangla, salah satu pulau di selatan kepulauan ini. Suku Klong tinggal di pantai timur Bintan, dan sebagian besar pindah ke pulau tetangga yang kemudian dinamai Pulau Klong.
Suku-suku di Kepulauan Batam
PENDUDUK di pulau Mapor yang terletak lebih ke timur dianggap sebagai suku yang berdiri sendiri dan tampaknya tidak berhubungan dengan Suku Bintan, yang lebih banyak menetap di Teluk Bintan dan di antara pulau-pulau Kissik, Senggarang serta Tanjung Pinang.
Orang Bintan sendiri dibagi menjadi dua kelas, yaitu Bangsa Bukit Batu dan Bangsa Penaung.
Catatan J.G. Schot dalam perjalanan penelitiannya ke pulau Bintan, akan disampaikan pada artikel berbeda di situs ini.
Penyebaran Suku-suku
SUKU Ladi juga tinggal di Bintan. Namun, beberapa waktu lalu, sebagian besar suku ini dipindahkan dari Bintan ke Sugie di Kepulauan Batam, di mana mereka menetap di Soelit dalam sebuah kampung yang bernama Kampung Ladi. Orang Ladi di sana bekerja sebagai penebang kayu untuk kepentingan penguasa.

Kampung Lobam Possik di sisi utara pulau Lobam, dekat sudut barat daya Bintan Utara, sekarang dihuni oleh orang-orang dari Suku Sekanna dan Possik, keduanya berasal dari kelompok Lingga.
Suku Galang
SUKU Galang, yang sebelumnya merupakan suku yang paling suka merampok dan paling ditakuti, tersebar di pulau Galang dan Galang Baru, Karas, Rempang, Stoko, Temoyong, pulau-pulau di Selat Bolang hingga Selat Kantang saat ini. Mereka juga ada di kelompok pulau Gelam di sudut tenggara Bolang, pulau-pulau Serandjan dekat Tjembol, dan kelompok Rokan di sebelah barat Sangla-Doeri. Bahkan, hingga ke pulau Petjong, antara pulau Kapala Djerie dan Bolang.
Di pulau Buluh dekat Selat Bolang, penduduknya merupakan campuran dengan apa yang disebut Orang Dalem, yang berasal dari zaman ketika pemerintah lokal menempatkan seorang kepala di pulau itu untuk mengontrol penduduk dari suku Galang.
Penduduk Campuran
PULAU-pulau kecil di kelompok Tanjung Sau dan pantai tenggara Batam, khususnya Bagan dan Kassam, dihuni oleh penduduk campuran yang terdiri dari Orang Dalem, Orang Bintan, dan terutama Orang Sekanna.
Suku Selat mendiami kampung Senimba di Batam; Suku Gelam di pantai selatan kampung Gelam, Gading, dan pulau Djaloh. Suku Trong di pulau Trong. Suku Ketumbar di pulau-pulau sekitarnya dekat utara pulau Sugie (Soelit dan Pasei) dan seterusnya hingga Teluk Pergam dan Teluk Batu. Terakhir, Suku Sugie, yang terbagi menjadi Suku Sugie yang sebenarnya di pantai barat pulau dengan nama yang sama, dan pulau-pulau Bunto dan Pantjang-Pu; dan Suku Moro di Belukar, Sugie Bawa, Moro Besar dan Kecil.
Suku-suku di Sumatra dan Kepulauan Batam
SUKU Nam, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, menetap di sepanjang pantai Sumatra dari Danei hingga Gaoeng, dan dinamai demikian karena ada enam sungai utama di daerah tersebut. Sungai-sungai tersebut adalah Danei, Kateman, Mandah, Igal, Batang Tua, dan Gaoeng. Suku Sekanna, yang juga telah disebutkan sebelumnya, berasal dari Singkeh dekat Lingga.
SEPERTI yang telah disebutkan sebelumnya, berbagai suku secara bertahap bercampur dan tidak lagi eksklusif berada di wilayah asal karena adanya hubungan yang lebih baik antar kelompok. Hal ini terlihat dalam beberapa contoh percampuran penduduk.
Selain contoh yang telah disebutkan sebelumnya, kita dapat melihat di kampung Senimba di Batam. Selain penduduk Suku Selat, juga terdapat penduduk yang berasal dari Suku Bintan dan Suku Tamiang.
Sementara itu, pantai utara Batam banyak dihuni oleh orang-orang dari Suku Bintan, yang disebut Orang Dalem, dan bahkan oleh keturunan orang-orang yang datang dari Pahang pada zaman lalu. Pada zaman yang lebih baru, kelompok dari keluarga bangsawan Bugis juga mulai tinggal di sana.
Tentang kondisi masyarakat di Pantai Utara Batam masa lalu, bisa disimak pada artikel : “Pulo Nongsa dan Perairan Sekitarnya”.
Pengaruh Luar Dalam Percampuran Penduduk
PENGARUH luar juga berperan dalam perubahan komposisi penduduk di wilayah ini. Misalnya, perompakan menyebabkan unsur-unsur asing bercampur dengan penduduk lokal. Contohnya adalah di pulau Rempang, khususnya di kampung Buton, di mana suku Galang yang tinggal di pesisir di sana, memiliki ciri khas mata yang berbeda. Ada percampuran dengan wanita yang dibawa dari Siam.
Pengaruh Aceh hampir tidak terlihat, meskipun mereka pernah berada di wilayah ini dalam waktu lama. Namun, pengaruh Bugis lebih signifikan karena mereka terus menetap dan bercampur dengan penduduk asli.
Di Kepulauan Batam, pengikut bangsawan Bugis terutama menetap di pulau-pulau dekat Sambu dan Kasu, yang menyebabkan Suku Selat sedikit terdesak dari pulau-pulau di bagian Utara Kepulauan ini.
Suku Orang Darat
SUKU lain yang tidak berasal dari wilayah ini adalah Suku Orang Darat atau Orang Hutan. Menurut legenda, mereka berasal dari Lingga, meskipun mereka tidak pernah ditemukan di sana.
Legenda tersebut menceritakan bahwa Megat Mepar, kepala Suku Mepar di Lingga, pernah membawa bawahannya ke Trengganu dan ketika kembali ke Batam. Beberapa kerbau mereka menghilang di hutan. Ia kemudian memerintahkan beberapa bawahannya untuk mencari kerbau-kerbau tersebut. Tetapi, mereka tidak kembali dan diyakini menjadi nenek moyang Orang Darat di Batam.
Namun, jika melihat bahwa Orang Darat yang memiliki ketidaksukaan besar terhadap laut, faktor ini tidak dimiliki oleh Suku Mepar dan Rajat Mepar. Fakta lain yang membuat kesimpulan ini menjadi lemah adalah bahwa tidak ada Orang Darat di Lingga. Maka, kita dapat menyimpulkan bahwa suku ini tidak mungkin berasal dari Lingga. Mereka, mungkin berasal dari Trengganu atau wilayah lain, khususnya dari pedalaman, dan dibawa oleh Orang Mepar.
Di hutan-hutan Batam, Orang Darat kemudian membebaskan diri dari perbudakan yang dilakukan orang Mepar. Keyakinan ini diperkuat oleh laporan bahwa masih ada populasi liar serupa di pedalaman Trengganu saat ini.
Catatan : Dugaan J.G. Schot tentang asal usul suku Darat di pulau Batam, didasarkan analisanya dari legenda yang didengar. Sementara itu, beberapa puluh tahun sebelumnya, seorang Etnolog asal Inggris yang melakukan penelitian terhadap suku hutan di Batam dan sempat mewawancarai beberapa kelompok dari suku tersebut, mendapati fakta tentang asal usul mereka yang berasal dari pulau Sulawesi. Baca : “Mereka yang Bersumpah Jadi Terasing di Tanah Batam“
Kehidupan Orang Darat
ORANG Darat pertama kali menetap di Batam, dan kemudian sebagian dari mereka pindah ke Rempang. Mereka hidup berpindah-pindah di hutan dan jarang menetap lama di satu tempat. Mereka tinggal di gubuk-gubuk sederhana yang terbuka terhadap angin dan hujan, hanya dilengkapi dengan atap tanpa dinding. Untuk melindungi diri dari nyamuk, mereka membuat api yang berasap di sekitar tempat tinggal mereka menjelang malam, sehingga asapnya berfungsi sebagai tabir.

Mereka makan apa saja yang tidak beracun, dan beras dianggap sebagai makanan yang lezat yang tidak selalu mereka dapatkan. Terkadang, Orang Darat mencuri sedikit beras dari orang-orang Cina yang tinggal di dekat mereka. Mereka pandai memanjat dan menembakkan sumpit (semprit), dan hampir tidak pernah meleset. Mereka dikenal tidak peduli dengan kesopanan, suka minuman keras, dan juga tidak menolak opium pada zaman kemudian.
Hubungan dengan Pemimpin Lokal
SEKITAR enam puluh tahun yang lalu, Orang Darat bekerja untuk Batin Akir, ayah dari Batin Doe-Amat yang saat ini tinggal di kampung Senimba. Mereka diperintah untuk mengumpulkan produk hutan. Awalnya, mereka mematuhi perintah Batin Senimba sampai sekitar setahun yang lalu mereka memberontak. Menurut mereka, Batin saat ini mengambil beberapa gadis muda mereka sebagai gundik tanpa persetujuan mereka.
Sebagian dari mereka kemudian tunduk pada Intjik Tawi di pulau Buluh dan menetap di hulu Sungai Lekob di Batam. Orang darat di bawah Intjik Tawi sekarang tinggal di sebuah kampung di sana. Sebagian lainnya menetap di timur Batam, di sekitar hulu Sungai Merendi dekat kampung Bagan. Kelompok yang tinggal di sana mengakui Raja Mahmud Saleh/ Raja Muhammad yang tinggal di kampung Bagan, sebagai pemimpin mereka. Beberapa lainnya pergi ke pulau Bolang dan sekarang tinggal di hutan di Gunung Bolang.
Bagian VI
TIDAK ada dalam rencana kami untuk melakukan penelitian tentang kapan orang Tionghoa pertama kali tinggal di wilayah ini. Namun, kita dapat yakin bahwa Kepulauan Batam sebenarnya tidak termasuk daerah yang menarik bagi orang Tionghoa untuk menetap sebagai pedagang pada zaman dahulu. Tidak seperti yang terjadi di tempat lain. Misalnya di Bintan yang dikunjungi oleh pedagang-pedagang dari Tiongkok.
Kedatangan dan Peran Orang Tionghoa
ADA sebuah legenda yang dikenal oleh penduduk lokal dan orang Tionghoa di Bintan yang menyebutkan bahwa suatu ketika sebuah kapal dari Tiongkok terdampar di puncak Gunung Bintan. Pada saat itu belum menjadi sebuah gunung seperti sekarang. Di tempat kapal terdampar, kemudian muncul sebuah danau kecil yang terisi air. Jangkar yang dilemparkan, jatuh di tempat yang sekarang disebut pulau Terkoelai, di mana terdapat sebuah sumur yang indah. Rantai jangkar konon membentuk saluran air dari danau di Gunung Bintan ke pulau Terkoelai.
Legenda ini mungkin menunjukkan hubungan dengan orang Tionghoa sejak zaman dahulu, meskipun beberapa orang mungkin menafsirkan cerita ini sebagai bukti adanya aktivitas vulkanik yang menyebabkan terbentuknya Gunung Bintan, yang berarti gunung tersebut relatif muda.
Kedatangan Massal Orang Tionghoa
KEDATANGAN besar-besaran orang Tionghoa terjadi pada zaman sekarang, terutama setelah pendirian bandar Singapura baru oleh Inggris. Di mana pun ada pemukiman Melayu yang layak, pedagang-pedagang kecil Tionghoa akan datang dan menetap. Awalnya sebagai anak buah pedagang yang berada di Singapura. Setelah mendapatkan keuntungan yang cukup, mereka menjadi lebih independen dan berdagang untuk kepentingan sendiri, yang menghasilkan keuntungan yang lebih besar.
Sungguh menakjubkan melihat bagaimana imigran Tionghoa, pemilik toko kecil (kedai), setelah tiga, empat, atau lima tahun tinggal di wilayah ini. Mereka bisa mengumpulkan modal beberapa ratus dolar, meskipun mereka harus hidup di rantau, perlu membayar bunga pinjaman untuk modal usaha serta mengirim uang ke Tiongkok, untuk keluarga yang ditinggalkan. Setelah dirasa memiliki harta yang cukup, mereka biasanya akan kembali ke tanah leluhurnya.
Di Tiongkok, mereka hidup dari uang yang diperoleh tanpa melakukan kegiatan lain. Ketika uang habis, mereka meninggalkan negeri mereka lagi untuk mencari uang kembali di tempat lain.
Ada juga beberapa orang Tionghoa yang lebih bijak. Mereka memilih untuk tinggal lebih lama di tanah rantau ini, memulai usaha dari skala kecil. Kemudian, secara bertahap melakukan transaksi yang lebih besar, sehingga mampu menghasilkan modal besar. Namun, pada akhirnya, mereka dan modalnya kembali ke Tiongkok.
Sifat Orang Tionghoa sebagai Orang Asing
ORANG Tionghoa selalu menunjukkan dirinya sebagai orang asing yang tidak pernah terikat pada tanah atau negeri rantau yang memberi mereka kekayaan. Ini tentu berdampak negatif.
Seorang Batin/kepala pribumi memberikan penilaian yang tepat tentang orang Tionghoa di wilayah ini:
“Orang Tionghoa bisa disamakan dengan kawanan burung kluwang, dan negeri kita seperti pohon yang berbuah. Selama ada buah yang bisa dipetik, kawanan burung kluwang berdatangan; ketika buah habis, mereka pergi, meninggalkan kita untuk bekerja keras menumbuhkan kembali pohon itu sampai buahnya terlihat.”
Penilaian ini sangat tepat. Bagi pedagang Tionghoa, kita bisa memahami bahwa mereka memang tidak menetap di negeri asing. Kondisi yang sama juga umum terjadi pada mereka yang mencari kekayaan dari mengupayakan lahan sebagai perkebunan. Prinsip yang sama berlaku: “menghasilkan uang secepat mungkin dari tanah untuk memastikan kehidupan yang santai di Tiongkok.” Akibatnya, pengusaha pertanian Tionghoa di Batam, tidak terikat pada tanah dan tidak berinvestasi pada tanah tersebut, sehingga tanah menjadi rusak.
Ketika lahan hutan yang baru dibuka untuk pertanian, keuntungan besar bisa diperoleh dalam waktu singkat. Namun, mereka akan segera meninggalkan lahan tersebut begitu mendapati keuntungan yang diperoleh dan produktivitas hasil kebun sudah menurun. Mereka kemudian kembali ke negeri asal atau mencoba peruntungan di lahan baru lainnya di sini. Orang Tionghoa lain yang kemudian mengupayakan lahan kebun yang ditinggalkan, akan melakukan hal yang sama. Mereka akan menghemat biaya dengan mengurangi pengeluaran untuk pekerja yang harus membersihkan kebun dan atau menghilangkan alang-alang yang berbahaya bagi tanaman yang akan ditanam.
Kerusakan Lingkungan Akibat Pertanian Lahan
DENGAN cara ini, sebidang tanah yang baik bisa menjadi sangat tandus dalam waktu 10 hingga 15 tahun dan mulai menyebabkan kerugian. Namun, jika sebuah perusahaan memiliki lahan hutan yang cukup luas, maka perusahaan tersebut dapat bertahan relatif lama dengan membuka lahan hutan baru secara berkala ketika bagian yang sudah dibuka menunjukkan penurunan produktivitas.
Namun, hal ini tidak mengubah prosesnya secara keseluruhan. Akhirnya, tanah yang sudah tandus hanya akan menghasilkan alang-alang, dan dalam kasus terbaik, setelah sekitar dua puluh tahun, tanah tersebut akan ditumbuhi oleh hutan yang tidak terlalu tinggi, yang kemudian akan memiliki kesuburan yang cukup untuk memberikan keuntungan bagi petani yang baru dari orang Tionghoa lainnya selama beberapa waktu.
Mencoba membuat pengusaha Tionghoa di daerah ini memperlakukan tanah dengan lebih baik, menjaga hutan yang sangat penting untuk distribusi air yang merata, dan tidak membuka lahan di lereng gunung yang terlalu curam, adalah hal yang tidak mungkin. Mereka tidak mau diatur. Tanah dan hutan bukan milik mereka sendiri. Jika mereka bisa mendapatkan keuntungan, meskipun hanya untuk satu tahun, mereka puas.
Karena mereka sangat menginginkan momen untuk kembali ke kampung halaman dengan kekayaan, mereka tidak rela mengorbankan sebagian keuntungan mereka untuk perbaikan atau pemeliharaan tanah. Di mana pun ada peluang untuk mendapatkan keuntungan tanpa biaya besar, petani Tionghoa akan menetap.
Jumlah mereka akan meningkat dengan cepat. Dalam waktu singkat, mereka menciptakan situasi yang membuat pengamat dangkal bersorak-sorak tentang kemajuan wilayah ini dari produksi, perdagangan, dan kesejahteraan yang diupayakan oleh orang Tionghoa.
Namun, semua keindahan ini hanya bersifat sementara. Pada akhirnya akan berujung kekecewaan yang pahit. Pengamat yang cermat, biasanya sudah merasa sedih melihat tanda-tanda kemerosotan yang jelas di tengah-tengah kemakmuran semu ini.
Terutama ketika mereka menyadari bahwa segala sesuatu, termasuk apa yang sebenarnya menjadi hak tanah warga pribumi, dirampok oleh segerombolan orang yang dalam keadaan kelaparan, justeru di negeri mereka sendiri.
Betapa berbeda keadaan kepulauan ini jika hanya sepersepuluh dari keuntungan yang diperoleh oleh orang asing tetap di sini untuk memelihara tanah dan mencegah kemerosotan ekonomi. Kita akan memiliki kesejahteraan yang stabil dan melihat banyak perusahaan pertanian yang produktif di mana-mana, bukan hanya melihat lahan-lahan yang terbengkalai dan dipenuhi alang-alang yang tidak berguna seperti sekarang ini.
Ketika orang Tionghoa meninggalkan lahan yang sudah habis kesuburannya, kesan yang didapatkan adalah seperti kawanan belalang yang telah memakan semua yang ada di lahan tersebut hingga gundul.
Dampak Positif dan Negatif dari Elemen Tionghoa
ELEMEN Tionghoa tidak menjadi berkah bagi pulau-pulau ini dari perspektif ini. Namun, mungkin suatu hari nanti akan terbukti bahwa, meskipun memiliki banyak sifat merugikan, elemen Tionghoa telah menjadi contoh yang baik bagi penduduk asli pribumi dalam beberapa hal.
Ketika kita melihat bagaimana orang Tionghoa bekerja keras tanpa lelah (selama mereka belum menjadi budak opium yang merusak), dan berusaha keras untuk memastikan kehidupan yang lebih baik, kita harus memberikan pujian untuk semangat mereka sampai batas tertentu.
Penduduk pribumi dapat belajar dari orang Tionghoa untuk bekerja dengan tujuan yang jelas dan menabung untuk hari tua. Meskipun orang Tionghoa hidup hanya untuk memiliki perak dan emas, kita mungkin merasa aneh bagaimana mereka kadang-kadang dengan mudah melepaskannya atau rela menanggung kerugian untuk hal remeh. Misalnya, kita melihat seorang Tionghoa berjudi. Ini biasa terjadi pada hari libur, seperti Tahun Baru Cina.
Mereka biasanya sangat bersemangat merayakan hari libur, terutama setelah melakukan perhitungan dengan majikannya (yang merupakan kebiasaan pada akhir setiap tahun) dan menyadari bahwa dia memiliki sejumlah uang yang cukup besar untuk seseorang yang meninggalkan China setahun yang lalu dengan tujuan menjadi kaya atau setidaknya tidak miskin. Namun, pada hari libur ini, dia tidak memikirkan tentang kembali ke kampung halaman.
Dia telah bekerja keras selama setahun untuk memiliki gulungan perak, dan sekarang dia ingin bersenang-senang. Dia suka berjudi karena bisa membuatnya kaya, dan siapa tahu? Mungkin tahun baru ini akan membawa keberuntungan baginya, setidaknya dia berpikir bahwa gulungan perak itu bisa menjadi dua, tiga, atau lebih banyak gulungan. Jadi, dia duduk di meja judi.
Tapi, oh sial! Pemain yang mungkin sudah bermimpi tentang keuntungan yang mudah ini melihat bahwa keberuntungan tidak berpihak padanya. Dia kehilangan potongan demi potongan, semua yang dia hasilkan dengan kerja keras selama setahun. Jangan pikir bahwa dia akan membuat keributan seperti penduduk asli atau mengambil uangnya kembali dengan paksa, atau menjadi gila dan akhirnya bunuh diri.
Tidak! Dia mungkin akan mengeluh selama beberapa menit, mencaci keberuntungan salah satu pemain lain, berdiri dan pergi dengan tenang. Keesokan harinya, Anda akan melihatnya bekerja lagi sebagai kuli dengan kantong beras di pundaknya, seolah-olah tidak ada yang terjadi, untuk menjadi kaya.
Namun, kadang-kadang, meskipun jarang, kerugian yang dialami bisa membuat orang Tionghoa kehilangan akal sehat dan menjadi tidak berguna bagi masyarakat dan hubungan. Lebih sering, jika kerugian itu sangat memberatkan, dia mencari penghiburan dalam pipa opium yang membuatnya melupakan kesedihannya, tetapi akhirnya menjadikannya budak racun yang mematikan itu.
Setelah itu, tidak ada lagi kerja keras, menabung, atau menjadi kaya; hanya selama dalam keadaan mabuk karena racun itu dia bermimpi tentang kekayaan, kampung halaman, dan berbagai kesenangan, dan mungkin tentang gunung opium yang bisa dia miliki dengan kekayaannya.
Selain kesedihan karena kehilangan uang, penyebab umum lain mengapa orang Tionghoa mulai menggunakan opium adalah sebagai berikut. Pertama, penyakit, terutama berbagai jenis nyeri. Sangat cepat bagi penderita untuk disarankan menggunakan pipa opium. Apakah itu membantu atau tidak sulit untuk dinilai, tetapi yang pasti adalah bahwa orang tersebut tidak akan meninggalkan pipa itu lagi, bahkan jika dia tidak lagi memiliki rasa sakit.
Pada awalnya, dia menggunakan opium untuk menghilangkan rasa sakit, kemudian untuk mencegahnya, dan akhirnya karena dia tidak bisa meninggalkannya lagi. Kedua, penyebabnya adalah kesopanan. Orang Tionghoa relatif sopan terhadap sesama Tionghoa; ketika ada tamu, dia menawarkan pipa opiumnya kepada tamu, dan tamu, meskipun tidak merokok opium, sering kali terlalu sopan untuk tidak mengambil beberapa tarikan.
Ini dianggap sebagai kompensasi; beberapa tarikan hanya untuk bersenang-senang! Apa masalahnya? Kemudian, tamu yang sama akan merokok seluruh pipa, dan akhirnya membeli pipa opium sendiri dengan asesoris; bukan untuk merokok sendiri, tetapi untuk sopan-sopan santun kepada teman-teman yang merokok opium, memungkinkan mereka untuk merokok. Ini adalah tahap terakhir.
Dia mungkin masih bisa bertahan untuk beberapa waktu, tetapi Anda bisa yakin bahwa racun itu, yang awalnya dikonsumsi dalam jumlah kecil hanya untuk bersenang-senang dan kesopanan, akan mulai bekerja dengan kuat, sangat menarik, sehingga dalam beberapa bulan, tamu yang tidak merokok opium itu akan berubah menjadi seorang pecandu opium.
Benar bahwa kadang-kadang dia menyesali hari ketika dia merokok pipa opium pertama kali, tetapi sekarang sudah terlambat, dia tidak lagi memiliki kekuatan moral untuk mencoba hidup tanpa opium.
Pengaruh Opium di Kalangan Tionghoa
PENYEBAB ketiga dan terendah adalah keinginan untuk meningkatkan kenikmatan semu. Seringkali, amoralitas dan opium berjalan beriringan. Namun, cukup tentang ini, kita tidak ingin membahasnya lebih lanjut. Kita juga tidak perlu menunjukkan bagaimana konsumsi opium merusak adat istiadat masyarakat, kemampuan kerja, dan kesejahteraan di daerah-daerah di mana itu cukup umum.
Di Kepulauan Batam, misalnya, di mana kita berani memperkirakan jumlah penduduk Tionghoa tetap tidak lebih dari dua ribu orang, lebih dari 60.000 tail opium dipreparasi dan dikonsumsi pada tahun 1880, atau langsung lebih dari 85.000 dolar, yang berarti delapan puluh lima ribu dolar dari modal masyarakat yang terbakar, sementara secara tidak langsung, sejumlah besar uang mungkin harus dihitung untuk kehilangan kemampuan kerja masyarakat, penurunan produksi, dan penurunan omzet yang mengikutinya.
Untuk mendapatkan uang, orang Tionghoa tidak akan segan-segan melakukan praktik yang tidak jujur atau baik. Dalam hal penipuan segala jenis, mereka telah menjadi cukup terkenal seiring waktu. Namun, dengan semua penipuan itu, keuntungan yang diperoleh masih lebih rendah dibandingkan dengan kebiasaan orang Tionghoa untuk menjadi pemberi pinjaman uang segera setelah mereka memiliki sarana untuk melakukannya.
Mereka memperoleh hak-hak istimewa yang sangat besar dan berlebihan terhadap penduduk asli dan bahkan terhadap sesama orang Tionghoa. Ketika mereka meminjamkan uang, itu selalu dengan syarat bahwa semua yang diproduksi oleh debitur harus dikirimkan kepada pemberi pinjaman dengan harga yang sangat rendah, sehingga keuntungan yang diperoleh pemberi pinjaman dari penjualan memastikan tingkat bunga yang tinggi, tidak hanya itu, tetapi bahkan setelah waktu yang relatif singkat, modal yang dipinjamkan dapat dianggap telah dibayar kembali.
Selain itu, pemberi pinjaman juga memiliki hak untuk menyediakan semua kebutuhan hidup debitur, dan sekali lagi, barang-barang itu dicatat dengan harga yang lebih tinggi dari biasanya, sehingga pemberi pinjaman memastikan keuntungan dengan dua cara. Sekarang, kita mungkin berpikir bahwa setelah jangka waktu tertentu, rekening harus seimbang, tetapi setelah pemeriksaan lebih dekat, ternyata tidak demikian.
Bagaimana pemberi pinjaman, yang telah memperoleh keuntungan besar, menghitung? Dia hanya menambahkan bunga majemuk pada apa yang dia pinjamkan dan nilai dari apa yang dia sediakan, sementara hal yang sama tidak dilakukan untuk nilai apa yang dikirimkan oleh debitur. Oleh karena itu, sering terjadi bahwa pemberi pinjaman mengklaim telah mengalami kerugian, karena meskipun dia meminjamkan sejumlah uang, sekarang utang, setelah dikurangi apa yang dia terima kembali, tidak berkurang, bahkan meningkat menjadi hampir dua kali lipat, sementara biasanya setelah pemeriksaan lebih dekat, jelas bahwa pemberi pinjaman yang disebut tidak beruntung itu telah menerima kembali sejumlah uang yang setelah dikurangi pinjaman, masih menyisakan total keuntungan 100, kadang-kadang 300 persen, dan kadang-kadang bahkan lebih.
Karenanya, fenomena aneh bahwa kita dapat menemukan orang Tionghoa yang selalu mengeluh tentang bisnis yang buruk, kerugian, dan sebagainya, namun mereka semakin makmur, mengirimkan lebih banyak uang ke China, memperoleh lebih banyak properti tetap. Bahkan pada malam sebelum hari ketika mereka yang meninggalkan China sebagai orang miskin sekarang akan kembali ke sana dengan dompet penuh, kita sering mendengar mereka mengatakan bahwa mereka tidak mengalami apa-apa selain kerugian.
Orang Tionghoa memiliki keengganan alami terhadap segala sesuatu yang menyerupai pajak dan terkait dengan pajak. Mereka juga tidak pernah memiliki perasaan baik terhadap pemerintahan yang memungut pajak dan mengawasi mereka. Kita harus memahami ini dengan benar – orang Tionghoa tidak melihat ada yang salah dengan pajak itu sendiri, tetapi mereka keberatan jika mereka, sebagai orang asing, tidak dibebaskan dari pajak.
Oleh karena itu, wajar saja jika mereka mencoba dengan berbagai cara untuk menghindari pajak, meskipun upaya ini sering kali tidak berhasil. Namun, itu tidak berhenti di situ. Ketika orang Tionghoa sebagian mendapatkan keinginannya, dia segera menginginkan lebih. Orang Tionghoa yang jarang puas, yang awalnya mencoba menghindari pajak, kemudian berusaha melepaskan diri dari kontrol pemerintahan pribumi atau Eropa.
Mereka kemudian membentuk apa yang disebut negara dalam negara dengan sangat cepat. Dan dalam banyak kasus, federasi Tionghoa seperti itu bisa menjadi sangat berbahaya bagi tatanan yang mapan, tidak perlu lagi dibuktikan. Dorongan untuk membentuk perkumpulan, termasuk yang bersifat politik, untuk mendapatkan lebih banyak pengaruh atau kemerdekaan, adalah sifat bawaan dari elemen Tionghoa.
Dalam hal ini, orang Tionghoa telah membawa ini lebih jauh daripada mungkin bangsa lain mana pun.
Persekutuan Dagang Tionghoa dan Pengaruhnya
PERSEKUTUAN dagang biasa yang dapat kita lihat terbentuk setiap hari, berubah, dan bubar memiliki tujuan perdagangan murni dan sangat mendorong persaingan. Kadang-kadang, mereka bahkan berdiri berhadapan satu sama lain seperti tidak mengizinkan satu sama lain untuk eksis. Banyak contoh dapat diberikan untuk menunjukkan betapa sering pemerintah kita berhutang pada persaingan perdagangan ini ketika pajak naik tidak seperti yang diharapkan.
Namun, di sisi lain, celaka! Jika persekutuan ini, karena mengalami kerugian atau mendapatkan keuntungan yang lebih rendah, menjadi bijak dan bergabung menjadi satu badan perdagangan besar yang tahu cara menetralisir atau mencegah semua persaingan. Kita dapat mengalami perubahan cepat dan kejutan besar dalam hal ini.
Berikut adalah contoh. Misalnya, akan ada pelelangan dalam beberapa hari. Bahkan pada hari sebelum momen penting ini, Anda dapat mengetahui betapa banyak kongsies yang tidak mengizinkan satu sama lain untuk eksis. Situasi sangat tegang, dan Anda sudah berpikir bahwa pajak tidak akan turun. Tidak turun? Naik! Ya, naik sangat tinggi!
Nah, hari itu tiba; sebuah tawaran diajukan. Anda sekarang mengharapkan bahwa kongsies yang berbeda tidak akan membiarkan satu sama lain tetap diam, mereka akan saling mengungguli satu sama lain semakin tinggi. Namun, Anda menunggu sia-sia. Setelah penundaan lama, tawaran kecil diajukan; lagi setelah waktu yang lama, tawaran kedua yang sedikit lebih tinggi, dan seterusnya.
Akhirnya, pemberian hak harus dilakukan dengan jumlah yang lebih rendah dari pajak tahun sebelumnya. Orang-orang saling menatap dan tidak mengerti. Namun, segera menjadi jelas ketika terungkap bahwa perwakilan kongsies yang berbeda adalah penjamin satu sama lain.
Ternyata, pada malam sebelum pelelangan, semua peserta masih membahas masalah ini dan menganggap lebih menguntungkan untuk bergabung, menghilangkan persaingan, menurunkan pajak, dan dengan demikian memastikan keuntungan yang lebih besar. Beberapa tawaran yang berbeda selama pelelangan dilakukan oleh penyewa baru atau penjaminnya atau atas perintah mereka, untuk tidak memberi kesan bahwa mereka bermain-main dengan pemerintah, karena semuanya sudah diputuskan secara diam-diam.
Namun, ini sebenarnya yang terjadi. Elemen Tionghoa merasa kuat tidak hanya karena kombinasi perdagangan biasa yang dilakukan oleh orang Tionghoa di antara mereka sendiri, tetapi juga, dan lebih kuat lagi, karena perkumpulan politik rahasia mereka.
Perkumpulan ini, yang awalnya didirikan di China setelah kerajaan itu ditaklukkan oleh Tartar, dengan tujuan mengakhiri dominasi Tartar, tampaknya telah menjadikan diri mereka sebagai musuh kekuatan yang mapan sehingga, bahkan di luar China, di mana tidak ada alasan yang dapat dibayangkan untuk perilaku seperti itu, mereka tampaknya berusaha untuk bebas dari pengawasan pemerintahan pribumi maupun Eropa.
Pemerintahan pribumi harus menghadapi kesulitan karena orang Tionghoa tidak peduli dengan hak-hak para bangsawan maupun penduduk Melayu. Mereka sering menolak membayar pajak. Di beberapa tempat, mereka bahkan memaksa penduduk pribumi untuk meninggalkan tanah yang telah mereka olah, seperti misalnya di Tjëmbol, dan khususnya di distrik Soengeikoho, di mana penduduk melihat tanah mereka yang digunakan untuk pertanian padi, diambil alih menjadi pertanian gambir orang Tionghoa.
Kekacauan umum muncul sehingga, untuk mengakhiri hal ini sebanyak mungkin, diperlukan dan tetap diperlukan peningkatan jumlah pejabat pemerintahan Eropa yang mencolok di daerah-daerah ini. Namun, masih sering terjadi bahwa pajak tidak dibayar, tanah diambil tanpa izin dari pemilik pangeran, dan kayu ditebangi atau dihancurkan secara diam-diam.
Perkumpulan yang paling banyak diwakili di sini adalah Ghi Hin dan Ghi Hok, yang sangat iri satu sama lain dan terus-menerus, jika mungkin, bersaing untuk keunggulan, kadang-kadang bahkan dengan cara berdarah. Belum lama ini, Battam Timur dapat menyaksikan pertarungan berdarah antara kongsi-kongsi ini, yang berakhir dengan kekalahan total salah satu pihak.
Setelah waktu itu, di Kepulauan Batam, Ghi Hin hampir secara eksklusif menjadi penguasa situasi, sehingga dalam beberapa hal, kedamaian dapat dianggap terjamin. Di tempat lain, seperti di Karimun dan Bintan, kedua perkumpulan dapat memiliki kekuatan yang cukup seimbang, yang menyebabkan bentrokan berulang kali.
Di mana pun banyak orang Tionghoa menetap, mereka memaksa setiap pemerintahan untuk melakukan pengawasan yang ketat dan banyak upaya. Elemen Tionghoa tidak dapat dianggap sebagai sesuatu yang benar-benar diinginkan. Ini lebih banyak menyebabkan kerugian daripada kebaikan.
Bagian VII
MESKIPUN agama Islam harus dianggap sebagai agama yang dominan di sini, kita tidak dapat berbicara tentang masyarakat Muslim yang sebenarnya, seperti halnya di banyak tempat lain. Pengaruh Islam di sini tampaknya memiliki pengaruh yang sangat kecil, kadang-kadang hampir tidak ada, pada sifat penduduk. Penduduk asli memiliki sedikit sifat Muslim. Bahkan kepala suku pribumi sendiri sering bersaksi bahwa rakyat mereka sebenarnya adalah orang-orang yang tidak beriman, orang-orang kafir.
Agama Islam dan Pengaruhnya
BIASANYA, menjadi Muslim di sini berarti melakukan sunat dan tidak makan daging babi. Berdoa lima kali sehari dan berpuasa. Hal-hal serupa lainnya tidak terlalu diperhatikan. Bahkan tampaknya beberapa penduduk Muslim di sini, tidak memiliki gagasan tentang Al-Quran. Misalnya, seorang Melayu dari Suku Galang, selama penyelidikan, ketika ditanya apakah dia berani bersumpah dengan Al-Quran di atas kepalanya, menjawab bahwa dia tidak tahu apa itu.
Tentu saja, ini menimbulkan keheranan dan kekecewaan besar di antara beberapa kepala suku dan terutama di antara Imam. Mereka yang tahu tentang Al-Quran, banyak yang memiliki sedikit rasa hormat terhadap kitab suci tersebut. Seperti sumpah yang disebutkan di atas. Mereka bisa bersumpah palsu tanpa rasa takut atau penyesalan terhadap agama yang diyakini.
ORANG Darat atau Orang Hutan masih sepenuhnya kafir; mereka tidak melakukan sunat dan makan semua hal yang dianggap najis oleh Muslim, seperti babi, ular, katak, dan semua yang ada di hutan yang tidak dianggap berbahaya. Beberapa di antara mereka memiliki rasa takut yang saleh (atau hormat) terhadap berbagai roh (antu), yang mereka bedakan menjadi roh baik dan jahat.
Nama umum untuk antu mereka adalah antu sépa. Namun, sebagian besar Orang Darat tidak peduli dengan antu, dan kita dapat mengasumsikan bahwa banyak di antara mereka, jika tidak sebagian besar, tidak memiliki gagasan tentang agama atau ibadah apa pun.
Mereka lebih mengandalkan antu kuno mereka daripada Allah dan Muhammad seperti penduduk muslim.
Di kalangan penduduk yang muslim sendiri, banya yang jarang mendatangi rumah-rumah ibadah. Hanya ketika para bangsawan atau perwakilannya hadir di tempat ibadah, kehadiran pada hari Jumat menjadi sedikit lebih baik. Namun, ketika mereka pergi, banyak penduduk yang merasa bebas untuk mengabaikan kewajiban agama.
Sebaliknya, semua orang sibuk dengan antu, poeaka, dan hal-hal serupa. Sementara antu adalah nama umum untuk roh, poeaka lebih merujuk pada roh yang melindungi area tertentu atau jenis manusia, hewan, atau tanaman tertentu. Misalnya, poeaka hutan adalah roh hutan yang menjaga kayu dan kadang-kadang membuat hutan tidak dapat ditembus atau menghukum mereka yang melanggar dengan penyakit dan kadang-kadang kematian.
Kadang-kadang, hanya satu pohon tertentu yang dianggap suci. Di dekat kampung Gara, di pulau Loemba, kita dapat melihat pohon yang indah, sangat tinggi dan menarik bagi penebang kayu. Yang paling mencolok adalah bahwa semua pohon besar lainnya di sekitarnya telah ditebang, sehingga sepertinya pohon ini adalah satu-satunya yang tersisa.
Namun, menjadi jelas bagi kita bahwa pohon ini istimewa. Di sinilah tempat tinggal roh pelindung Gara dan Loemba, dan dia telah menyelamatkan pohon ini. Karena sudah tiga kali orang mencoba menebangnya, dan setiap kali penebang yang melakukannya meninggal. Setelah itu, tidak ada yang berani menyentuh pohon itu lagi.
Kasus lain yang menunjukkan betapa cepat dan mengerikan balas dendam antu dapat terjadi diceritakan tentang batu ikan di pulau Boelang. Ini dapat ditemukan di muara Sungai Boelang dan dihubungkan oleh sebuah jalur batu sempit dan dangkal dengan sebuah pulau kecil yang memanjang. Berikut adalah asal-usulnya.
Ada beberapa nelayan yang berburu duyung ( sapi laut) di sebuah sampan, yang tampaknya berada di bawah perlindungan khusus antu. Duyung itu, tidak tahu jalan keluar, masuk ke Sungai Boelang, tetapi dikejar juga. Ketika nelayan sudah dekat, mereka melemparkan tombak yang mengenai duyung itu.
Segera sampan dan nelayan diubah menjadi sebuah pulau sebagai hukuman, tombak dan tali menjadi batu — dan juga duyung itu — mungkin untuk memberikan contoh yang jelas dan lengkap. Namun, ada juga yang kurang superstitious yang menjelaskan bahwa batu itu diberi nama batu ikan karena dulu nelayan Boelang memiliki kebiasaan membersihkan ikan mereka di tempat ini pada saat air surut, yang cukup luas untuk ukuran batu ini.
Kepercayaan Terhadap Roh Leluhur/ Hantu (Antu)
JIKA seseorang ingin mendapatkan sesuatu yang dilindungi tanpa cedera, mereka harus berusaha mendapatkan perkenan antu atau poeaka sebanyak mungkin, dan ini dilakukan dengan menawarkan sedikit makanan lezat atau beras atau hal lainnya. Untuk alasan yang sama, kita sering melihat keranjang anyaman daun kelapa yang dihiasi dengan jumbai-jumbai yang terbuat dari daun kelapa yang sama, berisi sedikit beras, ikan kering atau udang, dan beberapa kerang, digantungkan pada kèlong (jebakan ikan).
Jika seseorang menggantungkan ini pada kèlong, hampir pasti bahwa banyak ikan akan tertangkap di dalamnya. Penempatan kèlong baru juga sering kali bergantung pada mimpi yang disebabkan oleh antu ini atau itu. Seseorang ingin membuat kèlong, sudah memiliki semua bahan yang dibutuhkan, tetapi masih belum tahu di mana harus meletakkannya.
Pada suatu malam, dia bermimpi bahwa seekor makhluk, kadang-kadang dalam bentuk manusia yang baik, kadang-kadang dalam bentuk yang kurang enak dipandang, tetapi dengan mata besar yang sangat menyala, datang kepadanya dan memberitahukan bahwa dia harus meletakkan kèlongnya di area karang tertentu. Pagi hari, segera setelah dia bangun atau bahkan pada malam itu juga, dia langsung pergi ke tempat itu dan mulai bekerja secepat mungkin.
Kadang-kadang, ternyata kèlong itu menangkap banyak ikan secara kebetulan, dan kasus ini tidak pernah dilupakan. Namun, berapa kali mimpi tidak diikuti oleh hasil yang baik tidak akan diperhatikan oleh siapa pun. Kami ditunjukkan sebuah kèlong di area karang di ujung Tanjung Pinggir yang ditempatkan karena mimpi seperti itu.
Kebetulan, usaha itu menguntungkan, dan pemiliknya umumnya dibenci karena keberuntungan yang diberikan oleh antu kepadanya. Dan bahwa makhluk yang muncul dalam mimpinya tidak lain adalah antu yang tinggal di ujung Tanjung Pinggir adalah pendapat umum.
Kadang-kadang, antu juga tampaknya memilih tempat-tempat yang kurang terkenal karena kejahatan yang dilakukan di sana. Pulau Koetjing, misalnya, di Selat Bolang-Kanan, yang terdiri dari bukit yang cukup tinggi dan pernah menjadi basis benteng seorang bajak laut yang menyebabkan banyak kerusakan, menjadi tempat yang terkutuk setelah pengusiran kelompoknya.
Sejak saat itu, pulau itu menjadi tempat tinggal antu jahat yang mengusir setiap manusia dengan kalajengking besar yang mereka miliki atau yang mereka tiru. Kemungkinan besar, kata mereka, antu-antu itu sebagian adalah jiwa-jiwa jahat dari perompak dan pembunuh yang dibunuh yang kembali ke tempat tinggal lama mereka.
Kalajengking dan Mitosnya
KALAJENGKING, dalam kepercayaan masyarakat lokal, digambarkan memiliki ukuran yang sangat besar dan menakutkan. Mereka percaya bahwa hewan ini dapat menjadi manifestasi dari antu atau roh jahat yang menguasai tempat-tempat tertentu.
Pengaruh Antu terhadap Manusia
ANTU dapat menyebabkan banyak kejahatan dan penyakit pada manusia. Jika seseorang melihat antu, maka perlu dilakukan ritual untuk menenangkan antu tersebut. Dalam salah satu contoh, sebuah kampung menjadi panik ketika seseorang melihat antu hitam yang tinggi di depan rumahnya. Antu tersebut masuk ke dalam rumah dan keluar melalui pintu belakang. Masyarakat kemudian melakukan ritual dengan memberikan persembahan kepada antu tersebut untuk menenangkan dan menghilangkan pengaruh jahatnya.
Penyakit dan Pengobatan
MASYARAKAT lokal percaya bahwa penyakit disebabkan oleh antu yang ingin memakan jiwa atau “njana” seseorang. Untuk menyembuhkan penyakit, mereka melakukan ritual dengan memberikan persembahan kepada antu tersebut, seperti makanan atau barang lainnya, dengan harapan antu tersebut akan puas dan meninggalkan orang yang sakit.
Ada juga ritual “mënobat” yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan antu. Ritual ini melibatkan tarian dan musik, dan orang yang melakukan ritual tersebut akan dimasuki oleh antu yang menyebabkan penyakit. Setelah antu tersebut puas, orang yang sakit diharapkan akan sembuh.
Kesulitan dalam Menghentikan Ritual
MESKIPUN ada larangan dari pemerintah Islam untuk melakukan ritual tersebut, namun banyak masyarakat yang masih melakukannya. Bahkan, ketika ada perwakilan pemerintah Islam di kampung tersebut, ritual masih dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Ritual Lainnya
ADA juga ritual lainnya yang dilakukan untuk mencegah penyakit atau kejahatan. Misalnya, ritual “lantjang” yang dilakukan untuk mengusir antu yang menyebabkan penyakit menular. Dalam ritual ini, sebuah perahu kecil dibuat dan diisi dengan persembahan untuk antu tersebut. Antu tersebut diharapkan akan mengambil persembahan tersebut dan meninggalkan masyarakat.
Ritual Mengusir Antu
SELAIN apa yang telah disebutkan sebelumnya tentang cara mengusir antu, kita juga harus menyebutkan efek baik yang diharapkan dari membuang garam ke dalam api. Tidak hanya antu yang diusir, tetapi juga diyakini bahwa jika garam dibakar di dalam rumah saat badai, maka rumah itu tidak akan tersambar petir. Membakar garam untuk mencegah atau mengusir penyakit tidak dilarang, tetapi membakar garam saat badai dilarang. Beberapa orang mengklaim bahwa Hassan dan Hoessin, putra-putra Ali, juga menggunakan pembakaran garam.
Kramat dan Legenda
KITA juga dapat menambahkan informasi tentang kramat di Tandjong Ontjang dan Bojan, serta asal-usul Selat Kantang.

Asal-usul kramat Tandjong Ontjang, tidak sepenuhnya jelas. Beberapa orang percaya bahwa seorang Said dari Mekkah dimakamkan di sana, tetapi penghormatan terhadapnya tidak sepenuhnya sesuai dengan hal ini. Selain itu, bagian Tandjong yang dikenal sebagai kramat sangat berbatu sehingga tidak mungkin ada makam di sana. Namun, diyakini bahwa jika seseorang mengalami badai dan berjanji untuk memberikan penghormatan kepada kramat Ontjang, maka mereka akan selamat.
Kramat Bojan
KRAMAT Bojan berasal dari seorang pria dari Bawean yang sedang dalam perjalanan ke Mekkah. Ia berhenti sementara waktu di daerah yang sekarang dikenal sebagai pulau Bojan. Ia dikisahkan mengambil kepiting yang dilindungi oleh antu.
Akibatnya, pria itu meninggal. Untuk menghindari balas dendam antu, kru kapal menguburkan pria itu di pulau tersebut. Jika seseorang memberikan penghormatan kepada makamnya, maka mereka akan mendapatkan perlindungan dari antu yang memiliki kekuatan untuk mencegah penyakit dan kecelakaan.
Legenda Selat Kantang
LEGENDA Selat Kantang menceritakan tentang Raja Prang yang memiliki ayam jantan yang sangat kuat dan hampir tidak terkalahkan. Ayam jantan itu kemudian kalah dalam pertarungan, dan Selat Bolang Ketjil menjadi dangkal dan kering. Sejak itu, kemakmuran Bolang juga hilang.
Nikah Batin
DI akhir bab ini, kita juga harus menyebutkan tentang pernikahan yang disebut nikah batin, yaitu pernikahan yang tidak dilakukan secara resmi dengan pengakuan dari masyarakat atau agama. Pernikahan ini dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam dan tidak diakui oleh masyarakat. Tapi, masih dijalani sekelompok penduduk di Kepulauan Batam.
Catatan
MELALUI kebaikan Bapak H. von Rosenberg, kami dapat menambahkan nama ilmiah dari spesies hewan yang disebutkan dalam tinjauan fauna di Kepulauan Battam.
- Kera atau monyet: Cercopithecus cynomolgus
- Siamang hitam lengan panjang: Hylobates syndactylus
- Tëkah ekor panjang: Hylobates leuciscus
- Trenggiling: Manis javanica
- Tikus besar: Mus decumanus
- Tupai: Sciurus vittatus dan Sciurus insignis
- Kancil: Moschus javanicus
- Babi hutan: Sus verrucosus
- Burung hantu: Bubo minor
- Burung hantu besar: Bubo javanensis
- Elang: Haliastur indus, Haliastur leucogaster, Circaëtus bacha, Astur trivirgatus
- Parkit: Palaeornis longicaudus
- Parkit kecil: Psittacula incerta
- Burung murai: Turdus mindanensis
- Burung enggang: Buceros albirostris
- Raja udang: Dacelo coromanda
- Burung udang: Alcedo minor
- Burung jalak: Gracula javanensis
- Burung kecil: Nectarinia lepida
- Burung layang-layang: Hirundo rustica
- Burung dara: Ptilopus jambu
- Burung pergam: Carpophaga aenea
- Burung rawa: Carpophaga bicolor
- Burung merbok: Turtur tigrina
- Burung puyuh: Hemimodius pugnax
- Burung bangau: Artea typhon
- Burung ibis: Tantalus faecinellus
- Itik laut: Anas coromondeliana
- Burung camar: Sterna affinis
Koreksi
- “Zeezwaluvv” seharusnya dibaca “zwaluw” (burung layang-layang)
- “Dikhuidige bruinvisch” seharusnya dibaca “walvischachtige” (paus)
Peta
- Jalur setapak pada peta ditandai dengan garis putus-putus, bukan garis lurus.
(*)
Catatan : Wilayah Kepulauan Batam yang dideskripsikan oleh J.G. Schot pada masa itu meliputi pulau-pulau utama dan penyangga. Mulai dari kelompok Batam – Rempang – Galang – Galang Baru, kelompok Bulang (termasuk Sambu, Belakangpadang dan pulau-pulau kecil di sekitarnya), hingga kelompok kepulauan Soelit (Tjombol, Sugi, Tjitlim) dan Kateman di pesisir pantai Timur Sumatera.
Selanjutnya : “Catatan J.G. Schot Tentang Kepulauan Batam (Bagian VIII)“
Penulis/ Videografer: Bintoro Suryo – Ordinary Man. Orang teknik, Mengelola Blog, suka sejarah & Videography.
Artikel ini diterbitkan sebelumnya di: bintorosuryo.com