MASALAH relokasi warga di pulau Rempang serta rencana proyek Ecocity yang menjadi polemik panjang, mendorong komisi II DPR RI mengunjungi Batam beberapa hari kemarin.
Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia Tandjung, mendorong adanya sinkronisasi terpadu antara BP Batam dengan Pemko Batam dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi di pulau Rempang. Hal ini menyusul sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) Pulau Rempang atas nama BP Batam yang ternyata belum diterbitkan.
“Ada pekerjaan rumah yang tidak selesai atau koordinasi yang tidak terpadu antara BP Batam dengan Pemko Batam terkait persoalan Rempang ini. Selama ini BP Batam tidak memiliki HPL di Pulau Rempang, baru mau diurus,” ucap Doli kepada media saat kunjungan Kerja Spesifik Komisi II DPR RI ke Batam, dikutip Senin (2/10/2023).
“Nah ini kemudian yang menjadi persoalan, begitu tiba-tiba ada investasi dan membutuhkan status hukum yang jelas ditambah tiba-tiba adanya keterlibatan masyarakat di sana, ini yang kemudian timbul masalah,” sambungnya lagi.
Doli menekankan, percepatan pembangunan di Pulau Rempang memang harus terus berjalan. Tetapi harus mengutamakan hak dan kenyamanan warga negara yang harus dijaga.
Ia menegaskan, perlu juga adanya komunikasi yang intensif, dalam membangun dialog yang baik antara pemerintah dan masyarakat. Sehingga persoalan yang mengikutsertakan aksi kekerasan tidak perlu terjadi kembali.
“Memang pasti dimanapun pro dan kontra terkait relokasi selalu terjadi, tergantung pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah. Saya kira persoalan ini harus diselesaikan, ke depan Komisi II akan berkoordinasi dengan BP Batam melalui Komisi VI agar mereka bisa menyelesaikan pekerjaan rumah yang belum terselesaikan,” tegas Doli.
“Termasuk juga dengan teman-teman Komisi IV dengan KLHK terkait pengajuan perubahan status kawasan hutan yang juga menjadi program pembangunan yang sedang direncanakan di Pulau Rempang ini,” lanjutnya.
Sebelumnya, Kepala Kantor BPN Provinsi Kepri Nurhadi dalam laporannya menyebutkan, sampai saat ini pihaknya belum menerima permohonan HPL dari BP Batam pada lokasi pelepasan kawasan hutan yang rencananya akan menjadi program pembangunan Rempang Eco City.
“Kanwil BPN Provinsi Kepulauan Riau telah melakukan kegiatan Survei Pendahuluan di lokasi area prioritas seluas 2.000 Ha, namun belum bisa dilanjutkan karena penunjuk batas tidak dapat menunjukan semua patok yang sudah terpasang, masih terdapat patok yang belum terpasang secara tepat dan benar, dan situasi di lapangan, belum sepenuhnya kondusif,” katanya.
Terhadap pencadangan alokasi lahan atau rencana pengalokasian itu, sebelumnya Ombudsman RI juga melihat bahwa hal tersebut tidak sesuai ketentuan karena belum dikeluarkannya sertifikat Hak Pengeloaan Lahan (HPL) oleh Kementerian ATR/BPN kepada BP Batam.
Lembaga pengawasan itu menemukan adanya potensi maladministrasi yang dilakukan oleh Pemerintah Kota (Pemko) dan BP Batam pada rencana relokasi warga kampung adat di lokasi itu.
BP Batam sendiri telah mencadangkan alokasi lahan Rempang kepada PT Mega Elok Graha (MEG) kira-kira seluas 17.000 hektare yang akan dikembangkan jadi industri hilirisasi Rempang Eco-City. Di sana, direncanakan bakal menjadi kawasan industri, perdagangan, hingga wisata.
(ham)