PADA Juli 1942, klinik Dr. Soeharto kedatangan pasien penting. Pasien itu adalah Ratna Juami, anak angkat Bung Karno yang hendak melahirkan anak pertamanya. Sejak dirawat, lahir, dan masa penyembuhan di klinik Dr. Soeharto, Ratna Juami dan anaknya sering dikunjungi Bung Karno.
Hampir setiap malam Bung Karno datang ke klinik Dr. Soeharto. Dari hanya menengok anak dan cucu, lama-lama ia menjadi tamu Dr. Soeharto. Hubungan mereka pun menjadi semakin dekat. Bahkan, Bung Karno menyebutnya sebagai “kawan seperjuangan yang akrab dan kawan sesungguhnya”. Klinik Dr. Soeharto bahkan dipakai untuk pertemuan-pertemuan rahasia.
“Berbahaya atau tidak, namun aku tetap mengadakan hubungan rahasia dengan gerakan-bawah-tanah. Kadang-kadang jauh tengah malam, pada waktu semua lampu sudah padam dan semua orang sudah menutup pintunya, aku mengadakan pembicaraan di klinik Dr. Soeharto,” kata Bung Karno dalam Bung Karno, Penyambung Lidah Rakjat Indonesia.
Dari Solo ke Batavia
Raden Soeharto lahir di Tegalondo, Surakarta pada 24 Desember 1908. Anak kedua dari pasangan R. Sastrosuyoso dan Hermina ini pernah bersekolah di Europese Lagere School (ELS) II Solo. Naik kelas 4 ia kemudian pindah ke ELS Madiun dan mondok pada sebuah keluarga di Madiun.
Sejak bersekolah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Madiun, Soeharto telah aktif sebagai anggota Jong Java dan Jong Islamieten Bond. Lulus MULO, ia kemudian masuk Algemeene Middelbare School (AMS) B dan lulus pada 19 Mei 1928.
Soeharto kemudian mendapat dua beasiswa dari pemerintah Belanda dan Tjandi Stichting di Geneeskundige Hoogeschool (GHS) Batavia yang sekarang menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Selama menjadi mahasiswa, Soeharto mondok di Indonesie Club (IC) di Jl. Kramat Raya 106 yang kemudian menjadi Gedung Sumpah Pemuda. Dari sinilah ia mengenal tokoh-tokoh pemuda seperti Adnan Kapau Gani, Abu Hanifah, Mohammad Yamin, hingga Amir Sjarifuddin.
“Meja makan pagi merupakan tempat kami berkumpul secara lengkap, dan sambil sarapan membicarakan berbagai hal yang aktual dalam gerakan kebangsaan,” kata Dr. Soeharto dalam memoarnya, Saksi Sejarah.
Setelah mendapat gelar Drs. Med. dan lulus ujian Semi Arts (sarjana dokter) pada 25 Mei 1935, Soeharto magang di poliklinik umum dan rumah bersalin di Pasar Senen yang dipimpin oleh Dr. Tumbelaka, seorang Inspecteur v.d. Dienst der Volksgezondheid (Departemen Kesehatan). Pada 14 April 1937, ia meraih gelar Doctor Medicinae Doctorem (DR atau MD).
Dr. Soeharto kemudian mulai membuka sendiri praktik dokter keluarga dan klinik bersalin di rumahnya di Jl. Kramat Raya No. 128.
Kenal Bung Karno
Pada masa pendudukan Jepang, praktik Dr. Soeharto mengalami kesulitan. Namun, berkat itu, ia justru menjadi lebih perhatian terhadap pengobatan jamu-jamuan yang banyak ia jumpai di Pasar Senen. Ia juga tertarik dengan pengobatan metode spiritual seperti penyembuhan ala sufi. Ia banyak belajar dari R.M.P. Sosrokartono, kakak R.A. Kartini.
Advertisement
Persalinan Ratna Juami pada 1942 di klinik Dr. Seoharto memang mendekatkannya dengan Bung Karno. Namun, hubungan mereka sempat vakum selama beberapa bulan hingga Bung Karno tiba-tiba datang untuk berobat.
“Tiba-tiba pada suatu hari di akhir tahun 1942 ia datang kepada saya hendak memeriksakan diri. Ia mengeluh, sudah beberapa hari merasakan nyeri pada pinggang dan mual,” kenang Dr. Soeharto.
Sejak itulah Dr. Soeharto kembali dekat dengan Bung Karno. Tak hanya dekat dengan Bung Karno, Dr. Soeharto juga dekat dengan Bung Hatta. Atas rekomendasi Bung Hatta, ia mendapat tugas pelayanan medis untuk peserta latihan pegawai negeri eselon satu hingga tiga se-Jawa di Jakarta, para murid calon guru bahasa, serta mengelola poliklinik untuk pengemudi becak Jakarta yang berjumlah hingga 6000 orang.
Dr. Soeharto kemudian juga dipercaya sebagai Kepala Bagian Kesehatan Kantor Besar Putera (Pusat Tenaga Rakyat). Ia bertugas menyebarluaskan poster-poster tentang kebersihan, pembuatan sabun dengan minyak kelapa, dan pembuatan larutan abu dari pembakaran batang mangrove.
Sebagai dokter pribadi Bung Karno, Dr. Soeharto tentu harus mendampingi Bung Besar kemanapun dan menjadi saksi sejarah peristiwa-peristiwa penting. Ia misalnya, turut serta dalam pertemuan Bung Karno, Bung Hatta, dan Achmad Subardjo dengan Panglima Kaigun Laksamana Yaichiro Shibata di Bali.
Sebelum Proklamasi Kemerdekaan, pada 9 hingga 14 Agustus 1945 ia menyertai Bung Karno, Bung Hatta, dan Dr. Radjiman Wedyodiningrat terbang ke Dalat, Vietnam menemui Marsekal H. Terauchi.
“Dengan bekal kopor pakaian dan obat-obatan saya siap sedia berangkat untuk menyertai Bung Karno dan Bung Hatta dalam suatu gambling and desperate flight –penerbangan maut– ke luar negeri,” kata Dr. Soeharto.
Saksi Sejarah
Dr. Soeharto punya banyak peran pada 1945. Ia hadir dalam Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Pada 29 Agustus, ia dilantik sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Ia juga hadir dalam rapat raksasa di Lapangan Ikada pada 19 September 1945. Kemudian pada Oktober 1945, ia menjadi salah satu pendiri Yayasan Pusat Bank Indonesia yang diketuai Bung Hatta. Yayasan ini kelak menjadi BNI 46.
“Akhir Oktober 1945, usai sidang pleno KNIP ke II tanggal 16-17 Oktober 1945 di Balai Muslimin, Jl. Kramat 19, ia mengungsikan keluarganya ke Yogya, karena gangguan-gangguan serdadu NICA di daerah Kramat dan sekitarnya semakin meningkat,” tulis Dewi Kamaratih Soeharto dalam Dasawindu Dr. H.R. Soeharto.
Sejak 1948 sampai 1950, Dr. Soeharto sempat lumpuh dan dirawat oleh Prof. Dr. Slamet Iman Santoso. Ia sehat kembali pada 1950 dan diangkat sebagai Dokter Kepresidenan hingga 1966.
Selama itu, Dr. Soeharto terus menyertai Bung Karno kemanapun. Dari pelosok-pelosok daerah Indonesia hingga ke penjuru dunia. Ia bahkan turut menunaikan haji bersama Bung Karno.
“Ia pun turut tiga kali sebagai anggota delegasi yang dipimpin oleh presiden. Pertama, ke PBB tahun 1960 di mana presiden membawakan pidatonya berjudul To build the world anew. Kedua, ke Non Alligned Conference (NAC) di Beograd tahun 1961, dan ketiga, tahun 1964 ke NAC di Kairo,” tulis Dewi Kamaratih Soeharto.
Di samping itu, Dr. Soeharto juga memegang berbagai jabatan penting seperti aktif dalam DEIP (Dewan Ekonomi Indonesia Pusat) dan MUVI (Majelis Usaha Veteran Indonesia). Dr. Soeharto memprakarsai berdirinya Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan menjadi Ketua Umum PB IDI pada 1953–1954. Pada 1954, Dr. Soeharto memprakarsai berdirinya Ikatan Istri Dokter Indonesia (IIDI) dalam Muktamar IDI di Semarang.
Tak hanya urusan kedokteran, Dr. Soeharto pernah menjadi anggota Staf Ahli Front Pembebasan Irian Barat, dengan pangkat Kolonel Kehormatan pada 1957. Pada tahun yang sama, ia mendirikan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI).
Pada masa demokrasi terpimpin, Dr. Soeharto beberapa kali menjadi menteri seperti Menteri Muda/Menteri Perindustrian Rakyat, Menteri Perdagangan, Menteri Urusan Perencanan Pembangunan Nasional, hingga Menteri Koordinator Urusan Perencanaan Pembangunan Nasional.
Dr. Seoharto juga pernah menjadi anggota MPRS periode 1962 hingga 1967. Pada periode yang sama, ia menjabat sebagai Direktur Utama PT. Departemen Store Sarinah.
Usai pensiun, Dr. Soeharo kembali mambuka praktir dokter hingga 1978. Pasca pensiun dari dokter, ia menjadi anggota PB IDI, membina Kelompok Studi Dokter Keluarga, anggota Lions Club, hingga penasihat OISCA (Organization of Industrial, Social, Cultural Advancement).
Dr. Soeharto meninggal dunia pada 30 November 2000. Sepanjang hidupnya, ia telah menerima beragam penghargaan. Mulai pangkat Mayor Jenderal Kehormatan sampai Satyalencana Peristiwa Perang Kemerdekaan I. Bertepatan dengan Hari Pahlawan 10 November 2022, Dr. Soeharto ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo.
(*)
Sumber: historia.id