AMERIKA Serikat telah menarik diri dari Kemitraan Transisi Energi yang Adil (Just Energy Transition Partnership/JETP), inisiatif senilai miliaran dolar yang bertujuan mempercepat Indonesia beralih dari batu bara ke energi bersih, demikian menurut pejabat dari kemitraan tersebut.
LANGKAH ini diambil setelah Washington memutuskan keluar dari Perjanjian Paris, menimbulkan kekhawatiran terhadap komitmen jangka panjang AS dalam agenda perubahan iklim global.
Meski demikian, pihak Indonesia menegaskan bahwa JETP tetap berjalan sesuai rencana, dengan dukungan dari mitra internasional lain.
“Ya, betul, mereka menarik diri,” kata Paul Butarbutar, Kepala Sekretariat JETP kepada BenarNews. “Namun, seharusnya ini tidak menjadi masalah karena negara-negara lain dalam International Partners Group masih berkomitmen mendukung JETP Indonesia.”
Paul juga mengatakan Jerman akan menggantikan AS sebagai pemimpin proyek JETP.
Seorang juru bicara Kedutaan Besar AS di Jakarta kepada BenarNews mengatakan, Menteri Keuangan AS Scott Bessent telah menarik AS dari International Partners Group dan JETP sesuai perintah eksekutif Presiden AS Donald Trump untuk memprioritaskan Amerika dalam perjanjian lingkungan internasional.
Kepergian AS memunculkan pertanyaan terkait pendanaan bagi target ambisius Indonesia dalam transisi energi, termasuk percepatan pensiun dini pembangkit listrik tenaga batu bara dan pengembangan energi terbarukan. Sebelumnya, AS telah menjanjikan jaminan untuk mempermudah akses Indonesia ke pinjaman dari Bank Dunia.
“Sementara ini, jaminan masih tetap berjalan karena perjanjian antara AS dan Bank Dunia telah ditandatangani tahun lalu,” ujar Butarbutar.
Butarbutar mengatakan total $1,1 miliar pinjaman yang sudah disetujui oleh mitra pemerintah, sementara itu ada hibah sebesar $230 juta. Total pinjaman dan hibah yang dijanjikan di bawah JETP sebesar $20 milyar.
Keputusan AS hengkang dari JETP terjadi di tengah pergeseran kebijakan luar negerinya terhadap perubahan iklim di bawah Presiden Donald Trump.
Sebelumnya, AS di bawah pemerintahan Presiden Joe Biden memainkan peran utama dalam perundingan dan pendanaan program transisi energi. Keputusan AS di bawah administrasi Trump untuk mundur dari JETP menimbulkan pertanyaan tentang seberapa besar komitmen negara itu dalam mendukung negara berkembang beralih ke energi bersih.
JETP, yang didukung oleh negara-negara anggota Kelompok Tujuh (G7) dan ekonomi maju lainnya, dirancang untuk membantu negara seperti Indonesia menghentikan penggunaan batu bara dengan imbalan bantuan finansial dan teknis. Indonesia, sebagai produsen batu bara terbesar keempat di dunia, dijanjikan pendanaan US$20 miliar dalam bentuk hibah, pinjaman lunak, dan investasi swasta guna mendukung transisi ini.
Utusan Khusus Presiden untuk Iklim dan Energi, Hashim Djojohadikusumo, mengatakan akhir Februari lalu bahwa Indonesia telah mendapat pemberitahuan mengenai keputusan AS untuk mundur dari JETP. Namun, menurutnya, program ini tetap berjalan dengan dukungan negara lain.
“Saya bertemu dengan delegasi pemerintah Jerman pekan lalu, dan mereka memberi tahu saya bahwa Jerman telah memutuskan untuk menggantikan AS sebagai anggota utama dalam kepemimpinan JETP,” kata Hashim dalam acara Indonesia Green Energy Investment Dialogue 2025 di Jakarta.
“Intinya, kita berbicara tentang janji sebesar US$20 miliar, tetapi realisasi pendanaannya masih sangat kecil,” ujar Hashim. “Namun, kami tetap optimis.”
Kesepakatan JETP pertama kali diumumkan dalam KTT G20 Bali 2022, dengan dukungan dari kelompok International Partners Group (IPG) yang dipimpin oleh AS dan Jepang. Selain itu, negara-negara seperti Kanada, Denmark, Uni Eropa, Jerman, Prancis, Norwegia, Italia, Inggris, dan Irlandia juga tergabung dalam konsorsium ini.
Meskipun diharapkan menjadi model bagi transisi energi di negara berkembang, implementasi JETP menghadapi berbagai tantangan, terutama terkait mekanisme pendanaannya.
Salah satu isu utama yang mencuat adalah mayoritas pendanaan JETP berbentuk pinjaman, bukan hibah. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa skema ini justru akan menambah beban utang negara berkembang, alih-alih membantu transisi energi secara adil.
Indonesia masih sangat bergantung pada batu bara, yang menyumbang lebih dari 60% pasokan listrik nasional. Transisi menuju energi terbarukan bukan hanya membutuhkan pendanaan besar, tetapi juga komitmen politik yang kuat serta dukungan dari komunitas internasional.

Pengamat ekonomi energi Universitas Padjadjaran Yayan Satyakti mengatakan keputusan AS menarik diri jelas berdampak besar bagi Indonesia.
Salah satunya, kata dia, membuat target Indonesia untuk dekarbonisasi pada tahun 2030 menjadi tertunda.
PLN menargetkan bahwa emisi akan turun sebesar 67 MtCO2 (metrik ton setara karbon dioksida) dari 357 MtCO2 menjadi 290 MtCO2 pada tahun 2030 dengan bantuan JETP.
“Kemungkinan pencapaian pengembangan pembangkit terbarukan, sebesar 34% pada tahun 2030, juga tidak akan tercapai dan bisa molor,” ujar Yayan kepada BenarNews.
Selain itu, kata dia, upaya pemerintah untuk memensiunkan PLTU juga akan terhambat, sehingga berdampak dengan tidak tercapainya target Net Zero Emission pada tahun 2060.
“Administrasi Trump kurang concern terhadap pembiayaan terhadap JETP, karena toh tidak memberikan manfaat karena tidak memberikan dampak bagi ekonomi masyarakat AS,” tutur dia.
Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Media Wahyudi Askar mengatakan kepada BenarNews bahwa dana JETP sebenarnya sebagian besar berupa utang yang punya potensi menjadi beban fiskal dalam jangka panjang.
Meski demikian, kata dia, program ini tetap bermanfaat seperti mendorong investasi energi hijau, membuka lapangan kerja baru di sektor berkelanjutan, serta meningkatkan posisi Indonesia dalam agenda iklim global.
Tantangannya, menurut Wahyudi, adalah pada kecepatan pencairan dana, efektivitas implementasi proyek, serta potensi ketergantungan terhadap negara-negara donor dalam kebijakan energi nasional.
“Sekarang dengan struktur pemerintahan nasional yang sebagian menteri tidak kompeten dan minimnya prioritas untuk energi bersih, pasti akan jadi kendala. JETP malah bisa digeser ke proyek-proyek swasta yang juga orang-orangnya penguasa,” ujar dia kepada BenarNews.
Menurut Wahyudi, jika AS menarik komitmennya, maka ada risiko berkurangnya dana yang tersedia untuk menuju energi bersih serta ketidakpastian investasi.
Ia mengatakan bahwa selain Jerman, Jepang juga berkomitmen sebagai pihak yang mengambil alih kepemimpinan proyek, namun dengan pendekatan yang berbeda.
“Setelah krisis energi akibat perang Rusia-Ukraina, Jerman juga lebih berhati-hati dalam investasi globalnya,” ujar dia.
Sedang Jepang memiliki ketergantungan yang lebih besar pada batu bara dan gas, sehingga kemungkinan besar mereka akan lebih mendukung proyek gas alam atau biomass sebagai solusi transisi, tambahnya.
“Ini bisa bertentangan dengan tujuan awal JETP,” terang Wahyudi.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia Rolliansyah Soemirat mengatakan pihaknya belum menerima informasi soal mundurnya AS.
“Kita belum terima info apapun formal atau informal soal JETP,” ujarnya kepada BenarNews.
Nazarudin Latif dan Tria Dianti di Jakarta berkontribusi pada laporan ini.