RENCANA ambisius Indonesia menuju energi bersih menghadapi ketidakpastian baru seiring dengan keputusan Amerika Serikat untuk kembali keluar dari Perjanjian Paris.
BANYAK program transisi energi Indonesia bergantung pada kemitraan dengan negara-negara ekonomi besar, termasuk AS, yang selama ini berperan penting dalam pendanaan iklim global.
Namun, dengan Washington menarik diri, para ahli mengatakan bahwa aliran pendanaan penting bisa terhenti, dan akibatnya akan menghambat upaya penutupan pembangkit listrik tenaga batu bara dan pembangunan alternatif yang lebih bersih saat Indonesia berusaha mencapai emisi nol bersih pada 2050.
“Indonesia masih masuk sebagai negara berkembang sehingga terimplikasi terdampak oleh berkurangnya pendanaan. Terutama jika ada pengetatan. Dengan keluar dari Paris Agreement tidak ada rencana cukup untuk berkontribusi pada negara berkembang,” kata pakar perubahan iklim dari Universitas Indonesia Mahawan Karuniasa kepada BenarNews.
![](https://gowest.id/wp-content/uploads/2025/02/9daf0642-8cf4-49f1-b7e4-b6e6eba4adf4.jpeg)
Perjanjian Paris, yang diadopsi pada 2015, merupakan kesepakatan global bersejarah yang bertujuan membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5 derajat Celsius di atas level pra-industri.
Negara-negara penghasil emisi utama, termasuk AS, China, dan Uni Eropa, berjanji untuk mengurangi emisi gas rumah kaca serta mendukung negara berkembang dalam upaya iklim mereka.
Namun, perintah eksekutif Presiden Donald Trump bulan lalu yang kembali mengarahkan AS untuk keluar dari perjanjian memicu kekhawatiran atas kepastian komitmen tersebut.
Bagi Indonesia, yang merupakan eksportir utama batu bara, taruhannya sangat tinggi. Indonesia sangat bergantung pada batu bara tetapi telah berjanji untuk menghentikan pembangkit listrik tenaga batu bara secara bertahap dan beralih ke energi terbarukan.
Transisi ini memerlukan pendanaan besar, yang sebagian diharapkan berasal dari inisiatif internasional seperti Just Energy Transition Partnership (JETP), program senilai $20 miliar yang dipimpin oleh AS dan Jepang.
AS memiliki hubungan yang naik-turun dengan Perjanjian Paris. Pada 2017, Trump mengumumkan penarikan AS dengan alasan dampak ekonomi. Presiden Joe Biden kembali bergabung pada 2020, tetapi di bawah pemerintahan Trump saat ini, AS sekali lagi menarik diri.
Kali ini, kata Mahawan, situasinya berbeda karena dukungan publik dan Kongres, terutama dari Partai Republik, kini lebih kuat, ujarnya.
“Sehingga boleh jadi dampak ini berimplikasi lebih besar dibanding pada saat Trump menarik diri dari Paris Agreement di periode sebelumnya,” ujarnya.
Menurut Program Lingkungan PBB, AS secara historis menjadi penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia, bertanggung jawab atas 527 gigaton emisi karbon sejak abad ke-18.
![](https://gowest.id/wp-content/uploads/2025/02/3a7006e1-95b6-4050-9f31-55a8e1f853f7.jpeg)
Penarikan diri AS tidak hanya melemahkan upaya global dalam menghadapi krisis iklim tetapi juga menciptakan preseden yang mengkhawatirkan, kata Edvin Aldrian, peneliti iklim dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
“Amerika Serikat sebenarnya akan mempengaruhi politik dari berbagai negara. Itu yang dikhawatirkan. Apakah selain Amerika, Rusia dan dunia akan begitu juga. Jadi untuk masalah pengurangan emisi itu besar sekali pengaruhnya baik dari pendanaan maupun program yang ada,” kata Aldrian kepada BenarNews.
Iqbal Damanik, juru kampanye hutan di Greenpeace Asia Tenggara, memiliki kekhawatiran serupa.
“Ini yang ditakutkan kalau kebijakan ini akan ditiru oleh negara lain, maka target nol emisi akan semakin jauh dari jangkauan,” kata dia.
Menurut dia, kebijakan AS di bawah Donald Trump dapat mengarah pada penghapusan sejumlah peraturan lingkungan yang ada.
“Seharusnya, Indonesia menagih janji yang lebih besar terhadap negara maju tersebut untuk mewujudkan target perubahan iklim. Bukannya mengikuti langkah mereka,” ujar dia.
Keraguan pun muncul terkait masa depan JETP.
Utusan Presiden Bidang Iklim dan Energi, Hashim Djojohadikusumo mengatakan program JETP merupakan program gagal karena belum ada satupun dana yang dikucurkan pemerintah AS melalui program tersebut.
“Banyak omong ternyata. Hibah $5 miliar dalam $20 miliar itu ternyata nggak ada,” ujar dia dalam acara ESG Sustainability Forum 2025 di Jakarta, Jumat.
Amerika Serikat, kata dia, tercatat sebagai emiter terbesar dengan 13 ton karbon per kapita per tahun, di atas China yang menghasilkan 7 ton per tahun, sementara Indonesia hanya 3 ton per kapita.
“Amerika ini merupakan pencemar terbesar kedua setelah China. Mereka tidak mau mematuhi perjanjian internasional. Kenapa negara lain termasuk Indonesia harus mematuhinya?” tanya Hashim.
Terlebih, kata dia, negara berkembang diminta mengurangi emisi meskipun emisi mereka jauh lebih kecil daripada negara maju. “ Rasa keadilannya di mana. Kita hanya 3 ton sementara mereka 13 ton tapi kita yang menutup pembangkit listrik tenaga uap,” kata dia.
Ia menambahkan bahwa Prabowo tidak berencana untuk menutup semua pembangkit listrik batu bara pada 2040, menyebutnya sebagai “bunuh diri ekonomi.”
![](https://gowest.id/wp-content/uploads/2025/02/4ef99e92-c7eb-4e1d-9f43-b339ca4c6559.jpeg)
Fabby Tumiwa, direktur eksekutif Institute for Essential Services Reform, membantah klaim Hashim bahwa JETP telah gagal.
“Pendanaan JETP tidak diberikan dalam bentuk bantuan langsung tunai, melainkan melalui berbagai skema dari masing-masing negara IPG, antara lain hibah, bantuan teknis , ekuitas, dan pembiayaan melalui kerjasama bilateral maupun multilateral, serta pembiayaan komersial pada proyek,” kata dia kepada BenarNews.
Berdasarkan data IESR, hingga Desember, negara pendonor telah mengucurkan hibah dan TA sebesar US$230 juta untuk 44 program, sementara US$ 97 juta untuk 11 program masih dalam proses persetujuan.
Meskipun ada ketidakpastian, Indonesia tetap berkomitmen pada target iklimnya, kata juru bicara kepresidenan Philips J. Vermonte.
“Kita mencari titik tengah keseimbangan antara komitmen untuk memitigasi perubahan iklim. Di sisi yang lain kita juga ada tanggung jawab juga yang besar untuk menjaga dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Dan mungkin salah satunya itu bisa dilakukan melalui perkebunan, pertanian, ekonomi dan perdagangan,” kata Philips dalam Bincang BenarNews beberapa waktu lalu.
Bhima Yudhistira, direktur Center for Economics and Law Studies, mengatakan Indonesia harus mencari sumber pendanaan iklim di luar AS.
“Indonesia harus mencari partner baru untuk mendorong kerjasama transisi energi, salah satunya Timur Tengah,” kata Bhima dalam diskusi akhir Januari lalu.
Namun, Edvin dari BRIN tetap optimistis bahwa Indonesia bisa mencapai target iklimnya.
“Kita cari partner kerjasama baru. Indonesia itu bukan hanya tergantung sama Amerika. Jadi kita bisa juga sama China, Jepang, Uni Eropa kan berteman baik juga,” kata dia.