SEJAK konflik dimulai, Dewan Keamanan kesulitan bersikap satu suara karena Amerika Serikat beberapa kali menggunakan hak veto, begitu pula Rusia dan China. Resolusi yang tidak diveto Amerika Serikat, biasanya lewat abstain, tidak sampai menyerukan gencatan senjata permanen tanpa syarat.
Amerika Serikat, Rabu (20/11) memveto usulan Dewan Keamanan PBB untuk menyerukan gencatan senjata di Gaza, yang menurut Washington akan memperkuat Hamas. Resolusi tersebut menyerukan “gencatan senjata segera, tanpa syarat, dan permanen” dalam perang antara Israel dan Hamas, serta “pembebasan semua sandera segera dan tanpa syarat.” Namun, teks tersebut memicu kemarahan Israel.
Pejabat senior Amerika Serikat memperingatkan bahwa resolusi itu hanya akan “menguatkan Hamas yang tidak akan punya alasan untuk bernegosiasi.”
Duta Besar Israel untuk PBB Danny Danon menyebut resolusi itu sebagai “pengkhianatan.”
“Bagi kami, gencatan senjata harus dikaitkan dengan pembebasan sandera,” ujar Robert Wood, Wakil Duta Besar Amerika untuk PBB. “Itu adalah prinsip kami sejak awal dan tetap seperti itu.”
Perang dimulai dengan serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023, sebuah serangan lintas batas yang menewaskan 1.206 orang, sebagian besar warga sipil, menurut data resmi Israel yang dihimpun kantor berita AFP.
Kementerian Kesehatan di wilayah Gaza yang dikuasai Hamas melaporkan korban tewas akibat perang mencapai 43.985 orang, mayoritas warga sipil. PBB menganggap angka tersebut bisa dipertanggung jawabkan.
Dari 251 sandera yang diculik dalam serangan 7 Oktober, 97 di antaranya masih berada di Gaza, termasuk 34 orang yang dinyatakan tewas oleh militer Israel.
Hampir seluruh 2,4 juta penduduk Gaza telah mengungsi akibat perang yang memicu bencana kemanusiaan itu.
Gaza “Akan Menghantui”
Sejak konflik dimulai, Dewan Keamanan kesulitan bersikap satu suara karena Amerika Serikat beberapa kali menggunakan hak veto, begitu pula Rusia dan China.
“China terus menuntut ‘bahasa yang lebih kuat’,” kata pejabat Amerika Serikat, yang juga menuding Rusia “mengendalikan” negara-negara pengusul resolusi tersebut.
Resolusi yang tidak diveto Amerika Serikat, biasanya lewat abstain, tidak sampai menyerukan gencatan senjata permanen tanpa syarat.
Maret lalu, Dewan Keamanan menyerukan gencatan senjata sementara selama Ramadan, tetapi seruan itu diabaikan para pihak yang bertikai.
Pada Juni, badan beranggotakan 15 negara itu mendukung resolusi Amerika Serikat yang menawarkan rencana gencatan senjata bertahap dan pembebasan sandera, tetapi tidak berhasil.
“Kami menyesal Dewan Keamanan tidak bisa menyepakati kompromi bahasa yang diusulkan Inggris… Dengan bahasa itu, resolusi ini seharusnya disahkan,” kata Wood, perwakilan Amerika Serikat, setelah pemungutan suara.
Beberapa diplomat optimistis bahwa setelah kemenangan Donald Trump pada pemilu 5 November, Presiden Joe Biden akan lebih fleksibel di sisa masa jabatannya.
Mereka berharap pengulangan seperti Desember 2016, ketika pemerintahan Barack Obama mengakhiri masa jabatan keduanya dengan mendukung resolusi penghentian pembangunan permukiman Israel, pertama sejak 1979. Saat itu, Amerika tidak menggunakan hak veto, melanggar tradisi dukungan kuat bagi Israel.
Resolusi yang diveto Rabu menyerukan “akses bantuan kemanusiaan yang aman dan tanpa hambatan,” termasuk ke Gaza utara yang dikepung, serta mengecam upaya memblokade warga Palestina.
Delegasi Palestina di PBB menilai teks itu masih kurang tegas. “Nasib Gaza akan menghantui dunia untuk generasi mendatang,” kata Duta Besar Riyad Mansour.
Ia menegaskan Dewan Keamanan hanya bisa bertindak dengan menyerukan gencatan senjata segera tanpa syarat, sesuai dengan Bab 7 Piagam PBB.
Bab tersebut memungkinkan dewan mengambil tindakan untuk menegakkan resolusi, seperti sanksi, meskipun teks terakhir ini tidak menyebutkan opsi tersebut.
[th/ka]