APLIKASI PeduliLindungi yang dijadikan syarat wajib melakukan kegiatan di tengah pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) memunculkan kecurigaan di kalangan masyarakat.
Tidak sedikit yang menduga jika pemerintah sebagai pengembang diuntungkan dari setiap orang yang mendownload.
Seperti diketahui, aplikasi PeduliLindungi dikembangkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Kementerian Kesehatan, serta BUMN melalui lisensi yang sah dari PT Telekomunikasi Indonesia Tbk.
Tujuannya untuk kepentingan pelacakan dan penghentian penyebaran COVID-19.
“Apakah anda tau berapa banyak kuota yang digunakan??? Berapa juta yang menggunakan aplikasi itu?? Apa tidak ada apa apanya???? Gitu aja sih,” kata akun @H*r*ndo*m*ni*u* dikutip detikcom, Jumat (10/9).
“(Dari) PCR aja bisa cuan, apalagi aplikasi,” sahut akun @*e*sy.
Berikut 3 fakta terkait aplikasi PeduliLindungi :
1. Pemerintah Tidak Monetisasi PeduliLindungi
CEO Digital Forensic Indonesia, Ruby Alamsyah mengatakan aplikasi buatan swasta memang dapat dimonetisasi dan akan mendapat keuntungan dari setiap orang yang mendownload.
Tetapi itu tidak berlaku bagi PeduliLindungi karena dari awal dikembangkan oleh pemerintah.
“Kalau aplikasi pemerintah apalagi seperti PeduliLindungi dengan fungsi utama surveilans kesehatan terkait pandemi, sudah seharusnya hanya fokus untuk melayani masyarakat bukan mencari untung dari masyarakat,” katanya.
Hal itu semakin diperkuat oleh penjelasan dalam website resmi PeduliLindungi di bagian kebijakan dan privasi data.
Di situ dijelaskan kewenangan pemerintah melalui aplikasi PeduliLindungi, salah satunya berbunyi “Data Anda tidak akan diserahkan atau disebarluaskan kepada pihak lain kecuali kepada instansi pemerintah yang saat ini ditunjuk dalam menangani pandemi COVID-19, atau karena ketentuan hukum”.
“Jadi kesimpulannya, baik pihak Kominfo sebagai pelaksana surveilans dan PT Telkom sebagai inisiator, developer awal tidak berhak melakukan monetisasi atas data surveilans kesehatan yang mereka peroleh dari PeduliLindungi tanpa persetujuan masyarakat/pemilik data,” imbuhnya.
2. Kriteria Aplikasi yang Bikin Cuan
Jika aplikasi yang bisa dimonetisasi, kata Ruby, biasanya sudah disampaikan dalam syarat dan ketentuan (term & condition/T&C;) di awal dan sudah mendapat persetujuan dari pengguna. Caranya yakni menampilkan iklan sesuai dengan profil pengguna tersebut seperti di Facebook, Instagram, Google, dan lainnya.
“Aplikasi komersil yang dalam T&C-nya; sudah menyampaikan hal-hal tersebut serta mendapatkan persetujuan dari pengguna (saat pengguna menerima dan setuju atas T&C; tadi),” tuturnya.
3. Wanti-wanti Kebocoran Data
Pakar Telematika R. Abimanyu Wachjoewidajat mengatakan keuntungan dari aplikasi bukan berupa uang, melainkan data pengguna berharga yang kemungkinan bisa dibocorkan.
“Kalau Apps benefitnya bukan dapat duit, tapi siapapun yang mempunyai data PeduliLindungi tersebut bisa punya keuntungan ekstra karena 3 data critical yang sangat laris yaitu nama, tanggal lahir, nomor ponsel dan NIK,” kata Abimanyu.
“Ini yang sangat rentan dan berisiko karena pengelolaan di Kominfo tidak proper perlindungan terhadap data massive. Jadi nanti buntut-buntutnya kalau ternyata bocor, Kominfo akan kembali berkilah, tetapi kemudian yang terlanjur menjadi korban adalah data masyarakat,” tambahnya.
(*/zhr)
Sumber: Detik