LINUS Pauling adalah salah satu manusia langka di dunia. Lahir pada 1901, tatkala berusia 21 tahun, ia memilih belajar kristalografi sinar-X, teknik dalam ilmu fisika yang dapat digunakan untuk memetakan susunan atom dalam kristal, alih-alih mengejar kemapanan ekonomi pasca-Perang I.
Hampir dua dekade kemudian, Pauling paham bahwa kristalografi sinar-X dapat digunakan pula untuk memahami bagaimana asam amino membentuk protein. Pemahaman ini menuntunnya menemukan double helix (ulir rangkap)–struktur yang dibentuk molekul-molekul asam nukleat sebagai pondasi utama deoxyribonucleic acid (DNA).
Meskipun menemukan doble helix, Pauling bukan penemu DNA. Adalah duo peneliti bernama Francis Crick dan James Watson yang menemukannya. Sayangnya, kisah Crick dan Watson bekerja untuk menemukan DNA dipengaruhi kesombongan institusi pendidikan yang teramat besar.
Sebagaimana dikisahkan Chris DiBona pada bagian pembukaan buku berjudul Open Sources: Voice from the Open Source Revolution (1998), Cambridge University sebagai tempat Crick dan Watson bekerja menutup rapat segala informasi penelitian DNA. Upaya ini dilakukan agar hanya Cambridge yang dapat menemukannya.
Murka atas ketertutupan informasi yang dilakukan Cambridge, Pauling bersiasat. Dibantu koleganya yang memiliki teman di Cambridge bernama Max Delbruk, Pauling mengumpulkan informasi tentang kerja yang dilakukan Crick dan Watson.
Akhirnya, dari informasi yang dikumpulkannya, beberapa bulan sebelum 1953 (tahun di mana Crick dan Watson mempublikasikan temuan tentang DNA), Pauling menjadi sosok yang pertama mengumumkan pada dunia bahwa DNA, pondasi utama makhluk hidup, telah ditemukan. Pengumuman yang sempat dibantah Crick dan Watson karena mengklaim bahwa kerja ilmiah mereka terkait DNA “belum lengkap”.
Pauling memutuskan mengumbar informasi tentang penemuan DNA karena menurutnya pengetahuan adalah milik umat manusia. Bagi Pauling, sains adalah “upaya open source” yang bertumpu pada proses penemuan dan verifikasi. Bagaimana mungkin verifikasi dilakukan oleh peneliti lain manakala penemuan tidak segera diumumkan?
Sikap dan kerja-kerja ilmiah inilah yang akhirnya membuat Pauling diganjar hadiah Nobel bukan hanya sekali, tapi dua kali. Sikap yang sama menuntun pasangan jurnalis dan politikus asal Finlandia, Anna dan Nils Torvalds, memberi nama “Linus” pada anaknya yang lahir pada 1969, Linus Torvalds.
Linus Torvalds, sebagaimana Linus Pauling, adalah salah satu sosok utama dunia yang menggaungkan bahwa teknologi bukan semata tentang dolar atau rupiah, tetapi alat yang dapat digunakan untuk mensejahterakan manusia. Kalau bisa, gratis!
Linus Torvalds dan Bill Gates: Dua Kutub yang Dipersatukan Satya Nadella
“JIKA 1998 dan 1999 merupakan tahun terburuk bagi Bill Gates karena kasus monopoli dan penundaan rilis Windows Me, 1991 merupakan tahun emas,” tulis Glyn Moody dalam buku berjudul Rebel Code: The Inside Story of Linux and the Open Source Revolution (2002).
Dirilis pada pertengahan 1990, Windows 3.0 sukses besar di pasaran hanya dalam tempo setahun. Diberengi kesuksesan ini, Microsoft merilis Visual Basic sebagai bahasa pemrograman yang memudahkan penciptaan aplikasi komputer.
Tak ketinggalan, hanya dalam beberapa bulan usai malam tahun baru 1991, Windows 3.1 berhasil menautkan nama Microsoft sebagai penguasa PC dengan mengalahkan Unix dan tentu saja, Macintosh.
Namun, di luar tahun terburuk dan terbaik bagi Gates itu, 1969 mendatangkan ancaman bagi Microsoft. Pada tahun itu, Linus Benedict Torvalds lahir. Dibesarkan keluarga jurnalis, Torvalds memulai kisahnya di dunia teknologi melalui komputer pemberian kakeknya.
Pada usia lima tahun, sang kakek memberikan Torvalds Commodore Vic-20 microcomputer. Meskipun sering dianggap sebatas “kalkulator canggih”, Torvalds percaya Commodore Vic-20 keterlaluan canggihnya jika hanya digunakan sebagai kalkulator.
Berbekal keyakinan itulah Torvalds mulai mengulik Commodore Vic-20 dengan mempelajari Basic. Masalahnya, Basic adalah bahasa pemrograman yang setara dengan “C”. Untuk memerintah komputer, Basic yang ditulis manusia memerlukan “penerjemah” atau “jembatan” agar dipahami komputer.
Namun, meskipun Commodore Vic-20 “keterlaluan canggihnya”, Commodore Vic-20 kerepotan menjalankan aplikasi bikinan Basic dengan hanya menggunakan prosesor bertenaga 1 megabita. Torvalds muda akhirnya memilih mempelajari assembly language, sebuah pondasi bahasa pemrograman rumit yang bisa langsung memerintahkan hardware komputer–tanpa “penerjemah” atau “jembatan” (assembler) apapun.
Berbekal pengetahuan tentang assembly language, Torvalds menolak membeli komputer-komputer “ramah pengguna”, seperti komputer berprosesor Intel yang dirancang untuk menjalankan Basic secara sempurna.
Tatkala harus melakukan upgrade, ia memilih Sinclair QL, komputer yang dianggap “mainan” sebagai pengganti Commodore Vic-20. Dari Sinclair QL, Torvalds keranjingan membuat aplikasi komputer menggunakan assembly language.
Kegiatan yang dilakukan, menurut pengakuan Torvalds sendiri, “karena tidak ada aplikasi yang saya inginkan dibuat dan dijual perusahaan apapun.”
Kegiatan inilah yang menggiring Torvalds menimba ilmu komputer di Helsinki University di Finlandia. Selama kuliah, ia juga bergabung dengan “Spektrum”, klub yang didirikan para mahasiswa geek untuk belajar matematika, fisika, dan kimia di luar jadwal perkualiahan.
Tatkala menimba ilmu di Helsinki University, Torvalds bertemu dengan sosok aneh bernama MicroVAX, komputer yang menggunakan Unix sebagai sistem operasinya–baca: bukan Windows atau Macintosh. Sistem operasi ini diciptakan oleh Ken Thompson dan Dennis Rictchie saat bekerja untuk Bell Labs pada tahun ketika Torvalds lahir.
Dalam catatan sejarah, Unix termasuk sistem operasi tertua dan dirancang untuk dapat bekerja secara sederhana nan efisien. Torvalds jatuh cinta pada Unix. Masalahnya, pada tahun Torvalds bertemu Unix, Unix telah berkembang dengan melahirkan banyak turunan sistem operasi.
MicroVAX sendiri menggunakan varian Unix bernama Ultrix. Di luar sana juga terdapat AIX (Unix yang dibuat oleh IBM), HP-UI (Unix yang dibuat Hewlett-Packard), dan lain sebagainya. Sialnya, berbagai varian Unix tersebut tidak tersedia secara gratis, alias dijual dengan harga mahal.
Yang tak dikira Torvalds, pada tahun ketika ia menemukan Unix, seseorang bernama Richard Stallman telah memulai organisasi sekaligus gerakan bernama Free Software Foundation alias GNU Project. Gerakan ini ia mulai sebagai reaksi atas konsep proprietary software atau perangkat lunak berbayar yang source-code-nya dirahasiakan.
Baginya, praktik semacam itu “antisosial dan tak beretika”. Stallman, peneliti pada MIT Artificial Intelligence Lab, dalam bab “The GNU Operating System and the Free Software Movement” yang termuat dalam buku berjudul Open Sources: Voice from the Open Source Revolution (1998), menyebut proprietary software hanyalah upaya perusahaan menggasak duit sebanyak-banyaknya dari masyarakat dan membuat teknologi sulit diakses kalangan tak berpunya.
Melalui proprietary software pula perusahaan teknologi hendak membungkam kritik masyarakat dari software buatan mereka. Sebab, dengan menutup source-code, masyarakat tak akan mengerti bagaimana software bekerja dan dengan alasan yang sama masyarakat tidak memiliki pilihan untuk mengotak-atik software yang dibelinya agar dapat bekerja lebih baik. Padahal, bagi Stallman, software yang membuka source-code dan dijual dengan murah, terlebih gratis, adalah “pondasi paling dasar dalam kehidupan bermasyarakat”.
Baca selengkapnya artikel ini di https://tirto.id/gfhg (*)
Sumber : tirto.id