PRIA tua itu sedang duduk di depan rumah pelantarnya yang sangat sederhana. Tatapannya penuh ke arah laut di hadapan. Ia seperti tidak mendengar langkah kaki-kaki kami yang menjejak pelantar kayu untuk menghampirinya.
Oleh : Bintoro Suryo
“Assalamualaikum, pak Bakri ya?” tegur saya.
Ia menoleh, seperti bingung, tapi kemudian tersenyum ramah. Pria jelang 60 tahun itu kemudian mempersilahkan kami duduk di kursi-kursi yang ada di teras rumahnya.
“Iya, saya pernah menjadi kepala desa di sini, sampai tahun 2004. Selepas tu, desa ni berubah jadi kelurahan. Yang mimpin lurah”, katanya.
Bakri jadi kepala desa terakhir di pulau yang dulu lebih dikenal dengan sebutan Lobam Laut tersebut. Desa Air Raja yang sekarang berubah jadi kelurahan Air Raja, dulunya bernama desa Lobam Laut hingga tahun 1999.
“Kan tahun 1999 itu keluar undang-undang otonomi, kami yang sebelumnya bernama desa Lobam Laut dan masuk wilayah kecamatan Bintan Utara kabupaten Kepulauan Riau, dialihkan ke kotamadya Batam”, katanya menerawang, berusaha mengingat lagi jejak perjalanan waktu saat masih memimpin pulau kecil ini.
Peralihan tata pemerintahan itu menurutnya, sempat ditolak oleh warga di sini, termasuk dirinya. Mereka merasa lebih nyaman bernaung di bawah kecamatan Bintan Utara, kabupaten Kepulauan Riau (sekarang kabupaten Bintan, pen).
Hal itu tidak salah. Hampir seluruh aktifitas sosial, ekonomi hingga pendidikan warga di pulau ini, selalu berhubungan ke Tanjung Uban, bukan pulau Batam.
Beberapa alasan warga lainnya adalah karena kotamadya Batam, walau sudah terbentuk sejak awal tahun 1980-an, tapi relatif lebih banyak dijalankan oleh Badan Otorita Batam. Pembangunan Batam yang sangat pesat kala itu, juga dilakukan oleh Otorita Batam sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat, bukan oleh pemerintah kotamadya Batam.
Warga khawatir, perpindahan tata pemerintahan desa Lobam Laut kala itu, justeru membuat masyarakat di sini jadi semakin sulit.
“Yang paling terpikirkan itu soal pendidikan anak-anak di sini, pak. Sudah ada sekolah dasar yang dibangun sejak awal tahun 1990-an, itu menginduk ke kabupaten (Kepulauan Riau), begitu juga SMP-nya”, katanya.
Penolakan warga dan dirinya yang kuat saat itu, membuat pria ini sempat dipanggil oleh camat Bintan Utara kala itu, Tengku Muhtaruddin.
“Bakri, apa pasal kau tak nak begabung dengan kota Batam tu? Ini sudah aturan, desa awak tu masuk wilayah kotamadya Batam sekarang”, kata Bakri menirukan ucapan Tengku Muhtaruddin.
“Saya bilang ke pak Tengku, pak, desa Ngenang saja yang masuk ke wilayah kotamadya Batam sejak belasan tahun lalu (sejak kotamadya Batam didirikan tahun 1983, pen), kondisinya tak ada perubahan. Apatah lagi desa kami yang baru begabung?” kata Bakri beralasan.
Hal lain yang menimbulkan kerisauan hatinya, dengan beralih ke kotamadya Batam, cepat atau lambat, bentuk pemerintahan desa di sana akan segera berubah menjadi kelurahan. Itu berarti, Bakri harus siap menanggalkan jabatan yang didapat dari amanah permufakatan warga yang sudah diembannya sejak tahun 1993 silam.
“Kalau bicara gaji, tak lah pak. Saya jadi kepala desa, tetap saja cari ikan di laut untuk hidup. Saya ni kan asalnya memang nelayan,” ujarnya.
Bakri tahu, jawaban yang disampaikan ke atasannya, tidak akan merubah aturan yang baru dikeluarkan. Ia diminta segera berkoordinasi dengan pemerintah kotamadya Batam untuk segera bergabung dalam kecamatan Galang yang baru dibentuk sebagai kecamatan baru. Nama desa Lobam Laut pun kemudian berganti menjadi desa Air Raja.
Ada masa transisi lima tahun bagi desa Air Raja sebelum akhirnya berubah sepenuhnya menjadi kelurahan. Bakri yang sudah menjabat sebagai kepala desa di sana sejak tahun 1993, diminta untuk mempersiapkan peralihan tata pemerintahan di desanya.
Masa peralihan lima tahun, jadi masa sulit baginya dan juga warga di pulau Air Raja. Koordinasi jadi lebih jauh. Termasuk soal pendidikan. Apalagi, sebagian besar warga di pulau itu sebenarnya merupakan transmigran asal pulau Jawa dan hasil bedol desa salah satu wilayah di Lobam, Bintan. Jumlahnya mencapai 280 KK.
“Sulit sekali kondisinya saat peralihan itu, ada dijanjikan gaji, tapi baru bisa diambil satu setengah tahun kemudian”, lanjutnya.
“Tahun 2004, desa Air Raja resmi berubah menjadi kelurahan Air Raja dan masuk ke wilayah kerja pemerintah kotamadya Batam. Saya kemudian diberhentikan secara hormat sebagai Kepala desa di wilayah ini”, katanya.
Sejak itu, ia menjalani hari-harinya sebagai nelayan, tanpa embel-embel Kepala Desa lagi.
BAKRI bukan warga asli pulau Air Raja. Ia datang ke pulau ini tahun 1991, bersama ratusan KK desa Lobam di pulau Bintan yang diikutkan dalam program nasional transmigrasi. Mereka dikategorikan sebagai transmigran lokal dan bergabung bersama kurang lebih 150 Kepala Keluarga (KK) transmigran asal pulau Jawa dan ditempatkan di pulau ini.
Saat itu, total ada 280 KK yang menempati pulau ini. Infrastruktur seperti rumah, jalan, sumber air bersih hingga lahan dan peralatan berusaha sudah disiapkan pemerintah.
“Jadi, desa di sini merupakan pemindahan dari desa lama kami di Lobam. Dinamakan desa Lobam Laut”, jelas Bakri.
Usia Bakri saat itu baru 23 tahun. Dua tahun kemudian, ia didaulat warga untuk menjadi kepala desa di wilayah ini. Belum ada fasilitas sekolah, namun infrastruktur sosial sudah disiapkan pemerintah sebagai bagian program transmigrasi yang dijalankan.
“Saya ni lahir tahun 1967, tapi baru mulai sekolah dasar tahun 1981. Dari desa saya di Lobam (Bintan, pen), ke Tanjung Uban, jaraknya 18 kilometer. Pulang pergi 36 kilometer. SMP pun saya bersekolah di Tanjung Uban.
Mengingat sulitnya mendapatkan akses pendidikan kala kecil, saat jadi kepala desa, Bakri berusaha mengupayakan agar bisa berdiri sekolah di pulau tempat tinggalnya yang baru ini.
“Alhamdulillah, SD berdiri awal tahun 90-an di pulau ini. Kemudian saya minta ke pak camat, agar kalau bisa, ada juga SMP kelas jauh dari Tanjung Uban di sini. Beberapa tahun kemudian berdiri. Guru-gurunya didatangkan dari Tanjung Uban bergantian, kami warga yang menjemput dan mengantarnya tiap hari”, kenang pria ini.
Sekarang, walau tidak lagi menjabat sebagai aparatur di desa yang berubah menjadi kelurahan itu, Bakri ikut bersyukur. Fasilitas pendidikan mulai tingkatan dasar hingga lanjutan atas, sudah ada di pulau Air Raja.
Hari-hari pria itu sekarang lebih banyak dihabiskan di laut.
(*)
Bersambung
Selanjutnya : Para Transmigran Yang Menghentikan Usaha Rumput Laut – Air Raja, Pulau Para Transmigran (3-Selesai)
Penulis/ Videografer: Bintoro Suryo – Ordinary Man. Orang teknik, Mengelola Blog, suka sejarah & Videography.
Artikel ini pertama kali terbit di : bintorosuryo.com