“ADA terlihat seorang Belanda dengan topi panjang runcing dan kerucut yang sedang bersantai di depan sebuah kantor. Ketika ditanya apakah tuan Residen ada di kantor? Ia merespons dengan menguap, kemudian berbicara banyak.”
…
“Bandar Rhio ini, sebenarnya tidak berada di Pulau Bintang (Pulau Bintan, pen). Tetapi di sebuah pulau kecil bernama Rhio yang terletak berhadapan dengan pulau kecil lainnya, Piningat (Penyengat, pen).” (J.T. Thomson – A Glance at Rhio, 1846)
Oleh: Bintoro Suryo
SEORANG surveyor, sekaligus peneliti sejarah asal Inggris yang mengunjungi bandar Rhio (Riouw/Riau) di Tanjungpinang pada 1846, John Turnbull Thomson mendeskripsikan bandar yang saat itu merupakan ibukota residensi Riouw dengan detil. Catatan yang diberi judul “A Glance at Rhio” dan dipublikasi setahun kemudian, memberi kita gambaran tentang kondisi bandar Tanjungpinang masa itu.
J.T. Thomson diketahui juga merupakan seorang insinyur sipil dan yang memainkan peran penting dalam pengembangan infrastruktur awal di Singapura dan Selandia Baru pada abad kesembilan belas. Ia menjalani 28 tahun terakhir hidupnya di Selandia Baru, setelah sebelumnya, selama 15 tahun di Selat Melayu dan Singapura.
Banyak lokasi dan bangunan yang dideskripsikan di bandar Rhio masa itu, masih ada hingga kini. Itu memudahkan kita memahami catatannya. Seperti misalnya gedung residen Belanda yang kini menjadi gedung daerah dan kantor gubernur Kepulauan Riau, kawasan Pecinan di jalan Merdeka dan sekitarnya, atau Capel Kristen Protestan yang sudah berdiri sejak 1835 hingga sekarang di lokasi yang sekarang kita kenal sebagai jalan gereja.
J.T. Thomson, peneliti asal Newcastle Inggris, berada di bandar Rhio pada bulan juli 1846, setelah berlayar dari Singapura dengan menumpang kapal uap Hooghley milik perusahaan Hindia.
Catatannya penting bagi yang ingin tahu dan mendalami kondisi bandar Rhio saat itu serta sosial ekonomi dan politik-nya. Dokumen Thomson diterbitkan oleh Mission Press Singapore, 1847 sebagai bagian pada dokumen “The Journal of The Indian Archipelago and Eastern Asia”.
Simak tulisannya.
KAMI meninggalkan Singapura dengan kapal uap Hooghley milik Perusahaan Hindia menuju sebuah bandar tetangga yang dikelola Belanda, Rhio, pada pagi tanggal 1 bulan Juli 1846. Hari masih pagi saat kami melewati sebuah terumbu karang besar di sekitar selat Singapura. Terumbu karang besar ini, sering dilaporkan menjadi penghalang bagi para pelaut yang melintasi perairan ini. Tidak ada rambu atau bahkan menara suar untuk menandai posisinya. (J.T. Thomson menyebut terumbu karang besar itu sebagai Pan Shoal, sebuah terumbu karang besar yang berada di pulau Nongsa/ Puteri, pen)
Saat pagi hari berlalu, kami terus-menerus melihat banyak pulau bervegetasi hutan lebat yang menghiasi perairan tenang di selat pembagi wilayah Inggris dan Belanda ini. Hingga menjelang siang, kami akhirnya berlabuh di perairan di depan pulau kecil yang disebut pulau Piningat (Pulau Penyengat, pen.). Di hadapan pulau kecil itu, terlihat permukiman dan benteng Rhio.
Dari tempat berlabuh, kami tidak bisa tidak, mengagumi penampilan bandar yang rapi itu. Ada benteng pertahanan yang dibangun dengan sangat baik yang memahkotai wilayah ini di ketinggian. Dinding putihnya menonjol dari hijau rerumputan di sekitarnya.

Bandar Rhio ini, sebenarnya tidak berada di Pulau Bintang (Pulau Bintan, pen). Tetapi di sebuah pulau kecil bernama Rhio yang terletak berhadapan dengan pulau kecil lainnya, Piningat.
Namun begitu, bandar ini bergantung sepenuhnya pada produk yang dihasilkan pulau Bintang yang hanya dipisahkan selat sempit. Hasil kebun gambir dan lada dari pulau Bintang membuat denyut perekonomian bergerak di sini.
Pulau Bintang, yang terletak di jalur utama antara India dan Cina, tampaknya telah memiliki peran penting sejak dulu dalam aktifitas pelayaran. Beberapa pelabuhannya, menjadi tempat singgah para pedagang. Terutama pada musim badai angin timur laut di laut Cina Selatan. Pulau Bintang yang berhampiran dengan bandar Rhio ini, bahkan telah dicatatkan dalam perjalanan Marco Polo yang terkenal itu. Ia menyebutnya dengan nama Bentan. Sementara Singapura, bandar yang ramai saat ini, bahkan tidak disebutkan.
Bentuk pulau Bintang, tidak seperti namanya yang menunjukkan seperti sebuah ‘bintang’. Bentuknya lebih seperti bulan sabit. Sisi punggungnya berhadapan langsung dengan Laut Cina Selatan. Sementara sisi melengkung dan membentuk teluk, menjadi lokasi pelabuhan-pelabuhan tenang yang aman untuk disinggahi.
SETELAH mendarat di dermaga kayu, kami tiba di sebuah pemukiman orang Eropa yang tersembunyi dan tidak terlihat dari laut karena tersamar oleh pohon-pohon dan kebun kelapa. Di sini, ada kantor-kantor publik. Namun, suasananya sepi. Bagi warga Singapura, hal ini terlihat bertolak belakang dengan bandarnya yang ramai dan berkesan gaya Inggris.

Ini tengah hari. Di Singapura sangat ramai, tetapi di sini begitu sunyi. Anda tidak bisa membandingkan situasi di Commercial Square kami yang sibuk dengan bandar ini yang begitu sunyi.
Ada terlihat seorang Belanda dengan topi panjang runcing dan kerucut yang sedang bersantai di depan sebuah kantor. Ketika ditanya apakah tuan Residen ada di kantor? Ia merespons dengan menguap, kemudian berbicara banyak. Ia ternyata seorang pensiunan yang sekarang lebih banyak memilih untuk bersantai di bandar ini.

Kami kemudian memanfaatkan kesempatan untuk melihat-lihat situasi sekitarnya. Bandar ini, meskipun kecil, namun ditata dengan rapi dan teratur, khas Belanda. Rumah-rumah Eropa, yang tersembunyi di balik rimbunnya kebun jeruk, manggis, dan pohon buah tropis lain, memberikan kesan ceria.
Rumah Residen adalah bangunan yang indah yang fasadnya. Dihiasi dengan pedimen tebal dan didukung oleh kolom-kolom Doric Romawi. Hanya satu hal yang disesalkan oleh kami; bangunan indah ini seperti tersembunyi di balik rimbunan pepohonan yang ditanam rapat.

Benteng di atas bukit, bisa diakses melalui jembatan tarik yang membentang di atas parit kering yang mengelilingi bangunan itu. Benteng di bandar Rhio ini berbentuk persegi, dengan bastion di setiap sudut. Dibangun dari sisa-sisa benteng besar yang melindungi bandar Malaka. batu-batu dari sana, dibawa dengan kapal oleh Belanda sebelum tahun 1834.

Setelah memberikan hormat kepada Residen dan Asistennya, kami pergi untuk melihat wilayah pemukiman Pecinan dan penduduk asli. Dalam perjalanan, kami melewati kapel, sebuah bangunan kecil yang hampir merupakan replika miniatur gereja Protestan Malaka. Gaya arsitekturnya adalah gaya yang lazim di Belanda dan beberapa bagian Inggris pada masa 200 tahun yang lalu.

Wilayah Pecinan di sini, dibangun di kedua sisi jalan melengkung, dan menyajikan kontras yang cukup besar dengan wilayah yang dihuni bangsa Eropa. Ada perhatian dan penanganan berbeda yang diberikan otoritas lokal bandar di sini. Berbeda dengan otoritas di Singapura dalam menangani wilayah.
Di wilayah pemukiman Pecinan, drainase-nya penuh dengan kotoran babi, bebek, dan angsa yang juga dibiarkan berkeliaran bebas. Sebelumnya, kami mendapat kabar bahwa secara umum orang Cina di Rhio ini lebih hormat terhadap orang Eropa daripada orang Cina di Singapura. Tetapi, pengamatan kami saat ini, tidak mengkonfirmasi hal itu.
Banyak orang Cina pengangguran di sini. Aktifitas perjudian juga diizinkan. Kami bahkan diberi tahu, otoritas pemerintah setempat bahkan memberlakukan pajak dan sewa lokasi judi. Tempat perjudian, semuanya berdampingan dan terbuka ke jalan.

Aktifitas perjudian di wilayah Pecinan ini membangkitkan rasa ingin tahu kami. Sesuatu yang hampir mustahil bisa dilakukan di Singapura, dimana polisinya sangat gigih memberantas hal seperti ini di wilayah pemukiman.
Tempat-tempat perjudian di sini sepertinya menjadi sesuatu yang umum. Para penjudi biasanya merupakan perokok opium yang sudah sangat kecanduan. Beberapa dari mereka bahkan ada yang menderita kusta. Wajahnya pucat, kadang-kadang diliputi kecemasan tentang nasib peruntungan mereka hari itu.
Catatan yang saya deskripsikan ini, mungkin dianggap berlebihan. Tapi kenyataannya, hampir semua orang Cina di pemukiman ini melakukan hal itu. Itu seperti membangkitkan gairah utama bagi mereka. Orang-orang dari semua lapisan kelas, memenuhi meja-meja judi. Penampilan alakadarnya, menandai bahwa mereka adalah orang-orang yang rusak, sampah bagi masyarakat lainnya. Mereka adalah kelompok pengangguran yang mencari peruntungan di meja judi sambil menghisap opium.
Ada pertentangan di kalangan masyarakat soal kebijakan pemerintah lokal di sini yang justeru mengutip pendapatan dari sumber ini.
Pertama, bagi yang tidak setuju menyebut bahwa dengan melegalkan aktifitas perjudian dan perdagangan opium, pemerintah lokal seperti sengaja merusak rakyatnya sendiri. Terutama mereka yang merupakan generasi muda. Kondisi itu menyebabkan demoralisasi umum pada rakyat.
Sementara kedua, bagi para pendukung pajak perjudian dan opium, mereka menyebut bahwa dengan diterapkannya pajak perjudian dan opium oleh pemerintah, secara langsung berarti pemerintah tidak menganjurkan hal itu.
Di tengah-tengah gedung pengadilan di bandar ini, tergantung sebuah lonceng besar. Di sebelah utara terdapat balei atau ruang audiensi, dan di dekat selatan terdapat apa yang diyakini sebagai rumah Raja.
Dari ruang audiensi ke rumah, membentang barisan penjaga ganda. Ada penduduk asli berpakaian seragam dan membawa senapan masing-masing. Yang lain mengenakan pakaian Melayu. Mereka membawa kayu yang dihiasi dengan rambut merah, yang disebut tombak.
Saat ini, Balei dipenuhi orang. Setelah upacara selesai, seorang pengantin laki-laki, seorang anak laki-laki berusia 14 tahun yang berpakaian kaya ala Melayu, diangkat di atas bahu orang-orang ke rumah. Ia ditemani oleh orang-orang penting yang terkait dengan Raja. Saat melewati barisan serdadu, dia disambut dengan hormat.
Selanjutnya, ada pengantin perempuan yang tertutup oleh tirai merah yang dipegang oleh kerangka, sehingga tidak terlihat dengan jelas sosoknya. Rombongan ini langsung diikuti oleh apa yang kami simpulkan sebagai kelompok ibu-ibu dari darah bangsawan. Penampilan mereka cantik, kulitnya cerah, dan gaya berjalannya khas. Itu menandakan bahwa mereka adalah mungkin para dayang-dayang kerajaan.
Kemudian datang kelompok-kelompok wanita dari segala jenis, muda dan tua, hitam, coklat, dan kuning. Berjumlah setidaknya enam atau tujuh ratus orang. Mereka berjalan dari ruang audiensi dan memenuhi rumah tempat tinggal bangsawan di sekitarnya. Kemudian, terdengar rentetan tembakan meriam oleh para penembak dari atas bukit.

Ada juga konvoi berseragam yang membentuk lingkaran dan dipimpin oleh seorang penabuh gendang dan peniup seruling. Mereka mengenakan topi kerucut (tanjak, pen) yang mengkilap dan memulai gerakan lambat di sekitar lingkaran. Sang pemimpin yang membawa tongkat otoritas di tangannya, meskipun tidak memakai sepatu, terlihat memimpin konvoi ini dengan gagah.
Selanjutnya, dentang gong dan jeritan wayang Cina dimulai. Dengungnya yang sibuk masih terdengar lama setelah meninggalkan lokasi ini.
SAYA telah mengunjungi wilayah lain di Kepulauan Bintang ini pada kesempatan sebelumnya. Jadi, saya akan menuliskan sketsa singkat tentang kondisi di Pulau Bintang, di berbagai wilayah antara titik timur dan baratnya di sepanjang pantai utara, serta di sekitar bandar Rhio ini.
Secara geologis, dapat dikatakan bahwa kondisi geografis pulau ini hampir serupa dengan kondisi di bagian selatan Semenanjung Malaya.

Di sepanjang pantai utara dari Teluk Blangah ke Pulo Panjang, kontur wilayahnya terdiri dari granit, dengan butiran kasar yang mengandung sedikit mika. Di banyak tempat, ada batu-batu berukuran sangat besar, dan berdiri tegak dalam bentuk aneh dari laut. Terdapat di sekitar pantai Pulau Bulat dan Pulo Panjang.
Sementara di ujung barat pulau ini, ada sebuah batu persegi seperti piramida besar menjulang dari laut, setinggi sekitar 150 kaki dari permukaan laut.
Di titik timur pulau Bintang, batuannya banyak yang berlapis. Sulit untuk memutuskan jenisnya. Apakah berasal dari plutonik atau sedimen. Batu-batuan itu menonjol dari dasar laut, pada jarak beberapa mile dari pantai. Biasanya membentuk terumbu yang bisa berbahaya dan disebut Gosong Pilot.
Sementara bagian utara pulau, terdiri dari batuan granit, pusat di mana bandar Rhio berada. Bentuknya kadang berupa serpihan dengan derajat kekerasan yang berbeda. Batu-batuan itu tampaknya tidak mengandung fosil sejauh yang telah diamati, sehingga tidak banyak menarik perhatian dari ahli geologi. Tetapi jenis batu-batu ini biasanya ditambang untuk bahan bangunan.
Pulau Bintang, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, memiliki banyak tanjung yang menjorok ke laut. Sering kali juga ditemukan, ada teluk yang dalam dan muara lebar. Tidak ada sungai besar di sini. Beberapa teluk di sini, bahkan hampir memisahkan bagian pulau secara keseluruhan. Seperti misalnya teluk yang ada di sekitar Bandar Rhio ini. Teluknya meluas hingga ke arah gunung Bintang. Tinggi permukaan tanah umumnya rendah. Jarang melebihi 80 hingga 100 kaki. Seperti halnya dengan Singapura dan sebagian besar wilayah Johor.
Tanah di sini merupakan tanah liat yang berwarna kemerahan. Tidak cocok untuk budidaya tanaman secara umum kecuali gambir dan lada. Produksi Gambir dan Lada dari perkebunan di pulau ini juga mulai berkurang secara signifikan beberapa tahun belakangan. Orang-orang Cina yang biasanya mengupayakan jenis tanaman ini, telah banyak yang meninggalkan tanah yang telah rusak akibat penanamannya. Sebagai gantinya, mereka mulai membuka lokasi hutan sebagai perkebunan baru di pulau Batam dan wilayah sekitar Johor.
(*)
Penulis/ Videografer: Bintoro Suryo – Ordinary Man. Orang teknik, Mengelola Blog, suka sejarah & Videography.
Artikel ini diterbitkan sebelumnya di: bintorosuryo.com