PULAU Batam merupakan sebuah pulau terbesar dari 329 rangkaian pulau di sekitarnya di wilayah Kepulauan Riau dengan luas 415 Km2.
Secara geografis, pulau ini berada di jalur lalu lintas pelayaran internasional Selat Melaka yang merupakan jalur perdagangan internasional paling ramai kedua setelah selat Dover Inggris.
Sebelum mendapat perhatian dari pemerintah pusat, pulau Batam yang terletak di sebelah selatan Singapura dan Malaysia ini, awalnya merupakan sebuah pulau berupa hutan belantara. Nyaris tanpa denyut kehidupan manusia. Penduduk aslinya lebih banyak tinggal di daerah pesisir pantai.
Dengan letak strategis, penduduk asli Batam dan sekitarnya lebih banyak menggantungkan kehidupan dari hasil laut dan kekayaan perkebunan. Sebagian ada yang dijual ke negeri tetangga Singapura.
Dari buku “Mengungkap Fakta Pembangunan Batam era Ibnu Sutowo – JB Sumarlin” disebutkan penduduk asli Batam adalah orang-orang Melayu. Mereka biasa dikenal sebagai orang Selat atau orang Laut. Ada juga yang dikenal dengan nama Tambus.
Mereka lebih banyak tinggal di pesisir. Bahkan ada yang masih berpindah-pindah menggunakan perahu. Penduduk ini paling tidak telah mendiami daerah ini pada masa kerajaan Temasek (Singapura, pen) sekitar tahun 1300 atau awal abad XIV.
Saat ini, suku Tambus tinggal di pulau Bertam, masih di sekitar Batam. Pada musim selatan, biasanya mereka masih bisa ditemui di sekitar pesisir laut pulau Batam. Sementara pada musim utara, mereka menetap di pulau Bertam karena tingginya ombak di laut.
Menurut catatan sejarah, pada masa kerajaan Temasek, wilayah ini masuk dalam kekuasaan kerajaan Sriwijaya yang berkedudukan di Palembang. Kendati begitu, terdapat juga kelompok-kelompik pendatang yang telah ratusan tahun mendiami pulau ini. Mereka adalah penduduk tempatan yang kebanyakan berasal dari suku Bugis yang menetap secara menyebar di sepanjang pesisir pantai. Di antaranya di wilayah Batu Besar, Teluk Mata Ikan, Sambau, Bakauserip, Tanjung Sengkuang, Tanjung Uma, Tanjung Pinggir dan Tanjung Riau.
Menurut buku “Almanak Sumatera” terbitan tahun 1996, jumlah suku Laut yang bermukim di Kepulauan Riau sekitar 3000 kepala keluarga (kk). Sementara yang bermukim di Batam diperkirakan berjumlah 300 kk. Mereka tidak menetap dan senantiasa mengarungi lautan luas.
Survei yang dilakukan pihak Koordinator Kegiatan Kesejahteraan Sosial (KKKS) Batam, mereka tersebar hingga ke perairan Inderagiri Hilir (Inhil), Inderagiri Hulu (Inhu), Kepulauan Riau dan Kepulauan Natuna.
Sensus dan Geliat Kehidupan Warga Batam
Survei statistik yang dilakukan tahun 1970, jumlah penduduk Batam sekitar 6000 jiwa. Bandingkan dengan saat ini yang sudah di atas 1 juta jiwa lebih!
Populasi itu dulu, tidak hanya yang berada di Batam saja. Tapi juga di pulau-pulau sekitar Batam seperti pulau Buluh, pulau Sambu dan Belakang Padang. Pada zaman itu, pusat keramaian memang lebih berpusat di Belakang Padang yang merupakan daerah kecamatan yang menjadi bagian kabupaten Kepulauan Riau (sekarang kabupaten Bintan, pen). Sementara pulau Buluh merupakan daerah setingkat kelurahan.
Masyarakat tempatan yang mendiami pesisir Batam pada masa itu, juga mendatangi kedua pulau di atas untuk urusan administrasi kependudukan.
Setahun kemudian, sensus yang dilakukan pada tahun 1971, jumlah penduduk Batam dan sekitarnya sudah mencapai 9446 jiwa. Mereka tersebar di pulau Buluh sebanyak 3434 jiwa, Patam 626 jiwa, Nongsa 3019 jiwa, Kabil 1241 jiwa dan Sei Beduk 1126 jiwa. Data sensus menyebut komposisinya terdiri dari 55,3 persen pria dan 44,7 persen wanita.
Seorang pengusaha nasional bernama Tong Djoe yang bermukim di Singapura memiliki catatan tentang jumlah penduduk dan kebutuhan 9 bahan pokok untuk wilayah Kepulauan Riau dan Batam.
Pada akhir dekade 70-an, dengan jumlah penduduk Batam dan sekitarnya yang telah mencapai 22.263 jiwa, kebutuhan pokok beras yang dibutuhkan mencapai 222.640 kg, garam 6.679 kg, gula 26.718 kg, minyak goreng 4.452 kg, ikan asin 11.132 kg, sabun cuci 66.722 batang, minyak tanah 133.584 liter, bahan tekstil kasar 267.268 meter dan batik kasar 44.526 meter.
Data itu dibuat Tong Djoe saat ia ditunjuk oleh pemerintah sebagai pengusaha yang melaksanakan tugas untuk menyalurkan bahan kebutuhan hidup bagi rakyat yang hidup di daerah terpencil di pulau-pulau kabupaten Kepulauan Riau. Tong Djoe membuat toko-toko terapung yang mendistribusikan barang-barang itu ke masyarakat.
(Seperti disarikan dari buku : “Mengungkap Fakta Pembangunan Batam era Ibnu Sutowo – JB Sumarlin”)
(dha)